Sebuah forum yang diadakan oleh kelompok mahasiswa PhD di University of Melbourne, Australia, Rabu malam (26/10), membahas adanya kekhawatiran penggunaan isu identitas yang semakin kencang dalam kehidupan berpolitik di Indonesia.
Forum bulanan bernama Indonesia Forum kali ini menampilkan dua pembicara, yakni Dr M Najib Azca dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Noor Huda Ismail, kandidat PhD dari Monash University.
Tema yang diangkat adalah Mitologi Pribumi, menanggapi pidato pertama Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang menggunakan istilah 'pribumi'.
BACA JUGA: Pejalan Kaki Dengan HP Berbahaya Bagi Keselamatan Jalan
Dr M Najib Azca (kiri) dan Noor Huda Ismail (kanan) di Forum Indonesia.ABC: Sastra Wijaya
Dalam pemamparannya, Najib mengatakan politik dengan menggunakan isu identitas semakin kencang terasa sejak pemilihan presiden 2014 lalu yang terus berlanjut hingga pemilihan kepala daerah (pilkada) Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
BACA JUGA: ELL: Lima Cara Meningkatkan Sendiri Kemahiran Berbahasa Inggris
"Isu-isu menggunakan agama, asing, dan komunis menjadi efektif sebagai sarana komoditi politik saat ini," jelas Najib yang juga lulusan Australian National University (ANU).
Menurutnya, mengkotakkan identitas dengan memilih kata pribumi, seperti yang dilakukan oleh Anies adalah sebuah pragmatis politik. Pragmatis politis dalam bahasa sederhana adalah upaya menjadikan politik sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Najib menambahkan di Indonesia, menggunakan isu agama adalah salah satu cara mudah dan efektif untuk memobilisasi politik.
BACA JUGA: Skema Ganti Rugi Nasional Korban Pelecehan Seksual Anak
"Penggunaan isu politis menjadi fenomena yang serius saat itu, meski ini belum bisa dijelaskan secara rasional," kata Najib yang sedang berad di Melbourne untuk melakukan riset kolaborasi dengan University of Melbourne.
"Orang melakukan politik tidak lagi secara rasional, tetapi emosional ditambah dengan memanfaatkan sosial media dan digital."
Najib menambahkan fenomena lain yang menguat di Indonesia adalah munculnya gerakan kelas menengah yang menyalurkan aspirasinya lebih secara emosional.
"Dikhawatirkan politik identitas ini akan terus digunakan hingga pemilihan presiden di tahun 2019 mendatang."
Ia juga menjelaskan bagaimana pengaruh identitas ini bisa menggiring individu menjadi tidak toleransi terhadap kelompok lain yang berbeda, hingga secara kolektif akan dianggap sebagai hal yang lumrah.
"Dalam kasus Anies saat pilkada, ia memang tidak menjanjikan penerapan hukum syariah untuk kelompok Islam, tetapi ia menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menciptakan imajinasi bahwa kelompok mereka merasa terwakili," jelasnya.
Tapi menurutnya menarik saat melihat pilkada di daerah-daerah yang pernah mengalami konflik, dimana justru ada upaya menggabungkan dua identitas berbeda.
"Ada kearifan lokal, seperti di Ambon misalnya, yang justru tidak menggunakan isu identitas sehingga memasangkan calon pemimpin yang berbeda agama, Islam dan Kristen, ini bisa dilihat apakah memiliki potensi untuk menjaga perdamaian?" Perayaan Cap Gomeh yang digelar di Bandung.
Foto: Adnan Ali, Flickr/adnanalley, Common creative Transformasi gerakan radikal ke politik
Sementara itu Noor Huda lebih banyak menjelaskan soal radikalisme dalam kaitannya dengan intoleransi akibat adanya pemilahan identitas.
"Harus dilihat orang menjadi radikal itu karena apa?" ujar Noor Huda yang juga pembuat film dokumenter 'Jihad Selfie'.
"Tetapi harus diingat, dan ini yang selalu disalahartikan oleh banyak pemerintahan di negara-negara dunia bahwa radikalisme tidak selalu berhubungan dengan terorisme."
Menurutnya untuk melakukan kekerasan atau teror, seseorang tidak selalu lewat radikalisme.
Sebagai bagian dari penelitiannya, ia telah menjumpai dan mewawancarai orang-orang yang pernah atau hendak bergabung sebagai pejuang di negara lain, seperti di Suriah.
"Saya pernah berbincang dengan mereka, ada yang menjadi teroris karena sejak kecil ingin bergabung dengan militer, dan ia bukanlah orang yang taat beragama."
"Ada pula diantara mereka yang ingin naik ke tingkat yang lebih tinggi, karena narasi yang ditawarkan oleh pejuang Suriah seolah menjadikan mereka sebagai pahlawan."
Menurut Noor Huda ada beberapa kelompok yang melihat dan menjadikan Islam sebagai cara untuk mendapatkan identitas dan berpolitik untuk menyalurkan aspirasinya, meski pada awalnya mereka tidak mempraktikkan ajarannya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak Warga Australia Dukung Larangan Imigrasi Terhadap Muslim