Kekuatan Massa Dianggap Cara Alternatif Intervensi Proses Hukum

Selasa, 30 Mei 2017 – 18:44 WIB
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan 71 menggelar seminar dengan tema 'Intervensi Proses Hukum dengan Menggunakan Mobilisasi Massa' pada Selasa (30/5). Foto: Fathan Sinaga/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) angkatan 71 menggelar seminar dengan tema 'Intervensi Proses Hukum dengan Menggunakan Mobilisasi Massa' pada Selasa (30/5). Pembicara utama dalam agenda ini adalah Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dan Koordinator Staf Ahli Kapolri yaitu Irjen Iza Fadri.

Yunarto mengatakan aksi massa umumnya berhubungan dengan kepentingan individu atau kelompok yang punya afiliasi politik. Biasanya, kata dia, aksi massa juga dipicu atas panggilan sekelompok orang yang sengaja mengolah isu tersebut.

BACA JUGA: PNS Diminta Tidak Tambah Cuti Lebaran!

"Akhirnya mereka bersatu dengan ormas yang punya kepentingan yang sama. Antitesis yang sama terhadap hal yang tidak disukai," kata pria yang akrab disapa Toto itu di PTIK, Jakarta Selatan.

Motif dari pergerakan massa ini pun, kata dia, tak lepas dari dua aspek. Jika ditelusuri, setiap pergerakan massa, pasti didompleng dengan kepentingan materi dan elite politik.

BACA JUGA: Ustad Alfian Tersangka, Begini Pesan Teten Masduki

“Motif umum adalah follow uang dan orang-orang yang seperti ingin menjadi pemimpin. Ini motifnya," tegas dia.

Toto juga menjelaskan, aksi massa biasanya kerap terjadi lantaran rendahnya rasa percaya masyarakat terhadap penyelenggara badan negara. Kemudian, masyarakat menilai adanya aturan yang tidak berjalan sesuai koridornya.

BACA JUGA: Layanan Transportasi ke Bandara Soetta Bertambah

"Peradilan di luar pengadilan bukan fenomena baru. Protes juga kini bisa lewat aksi massa, media massa, dan kini media sosial," kata dia.

Dia mencontohkan, tidak pernah ada kasus mobilisasi massa besar terjadi di KPK. Hal ini karena kepercayaan masyarakat terhadap KPK tinggi. Bahkan yang ada massa bukan mengintervensi, melainkan memberi dukungan.

"Mobilisasi massa biasanya masyarakat kurang melihat aturan berjalan. Pada kondisi seperti itu aksi massa lebih sering terjadi," kata dia.

Sementara itu, Iza Fadri memastikan bahwa polisi harus berpegang pada hukum tapi tetap memegang asas hukum equality before the law.

"Begitu pula ada yang melakukan mobilisasi massa untuk mengintervensi proses hukum, penyidik harus independen. Tidak terpengaruh dengan adanya pengerahan massa tersebut," kata dia.

Lebih lanjut, kata dia, Polri pun dalam menghadapi massa mengedepankan pendekatan persuasif dibanding koersif. Yakni melalui negosiasi lebih dulu, namun bila terjadi kekacauan Polri bakal lakukan langkah penegakan hukum.

"Intinya Polri tetap profesional dalam pelaksanaan tugasnya. Seberapa banyak massa yang dikerahkan tak akan mempengaruhi proses penyidikan masus yang sedang ditangani Polri," bebernya.

Dia menyakinkan bahwa penyidik Polri tak bisa diintervensi dan dipengaruhi siapapun termasuk mobilisasi massa.

"Apabila massa melanggar aturan, maka Polri lakukan penegakan hukum sesuai aturan hukum yang berlaku,” ujarnya.(mg4/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Khawatir, TNI Pasti Belajar dari Kasus Masa Lalu


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler