jpnn.com - LEWAT perantara suara, ekspresi, dan gerak tubuh, dongeng yang disampaikan Jeeva Raghunath selalu gampang dipahami anak-anak yang menjadi audiens.
----------------
BACA JUGA: Zhang Xiao Jia, Guru Musiknya Pengusaha Papan Atas Surabaya
ANDRA NUR OKTAVIANI, Jakarta
---------------
BACA JUGA: Pulau Ndana, Bagian Terluar Indonesia, Dulu Tentara Australia Sering Singgah, Kini Dijaga Marinir
SIANG itu penampil dan penonton seperti berbicara dalam bahasa yang sama. Tiap kali Jeeva Raghunath mendongengkan bagian yang lucu, anak-anak yang menjadi audiens selalu merespons dengan tawa.
Padahal, di auditorium Museum Nasional pada awal November lalu (1/11) itu, Jeeva mendongeng dalam bahasa Inggris. Sebaliknya, para bocah berusia rata-rata di bawah delapan tahun yang menontonnya berasal dari sekitar Jakarta yang bahasa ibunya tentu saja Indonesia.
BACA JUGA: Cerita Guru dari Pedalaman Maluku, Ambil Gaji Harus Jalan Kaki 25 Km
“Jack ini malas sekali. Kerjanya makan, tidur, makan, tidur,” tutur Jeeva dengan disertai ekspresi mimik dan bahasa tubuh yang menunjukkan kemalasan Jack yang disambut gelak para bocah.
Perubahan intonasi Jeeva tiap kali berganti peran juga sangat membantu anak-anak memahami cerita bertajuk Jack itu. Suara berat dan kasar kala menjadi ayah Jack dan nada manja saat memerankan Jack
“Jack malas sekali, ya. Aku harus melakukan sesuatu untuk mengubah sikapnya,” tutur Jeeva menyuarakan ayah Jack.
Di atas panggung, Jeeva yang menjadi salah seorang pengisi Festival Dongeng Internasional Indonesia (FDII) 2015 itu memang ditemani seorang penerjemah.
Si penerjemah sebenarnya juga sudah berusaha sama ekspresifnya dengan Jeeva. Namun, tetap saja terjadi semacam distorsi adegan atau alur cerita dari saat Jeeva bertutur sampai ketika diterjemahkan si translator.
Para penonton pun akhirnya tetap lebih terfokus kepada Jeeva ketimbang si translator. “Saya tidak menyalahkan penerjemah, tapi dari pengalaman saya, malah sebetulnya tidak perlu penerjemah. Bahasa bukan kendala dalam mendongeng,” tutur Jeeva kepada Jawa Pos seusai pertunjukan.
Jam terbang perempuan India kelahiran 5 April 1956 itu memang sangat tinggi di jagat perdongengan. Alumnus Madras University tersebut sudah berkeliling total ke 17 negara, menjadi “trubadur” alias tukang cerita.
Jeeva sudah menulis tujuh buku dan menerjemahkan lebih dari 60 buku cerita. Malli dan Gadagada Gudugudu adalah contoh karyanya sendiri. Lalu, hasil terjemahannya, antara lain, Priya’s Day dan Pavo Kavo.
Kepala tim kreatif serial Bommi and Friends itu telah pula menggelar workshop storytelling di berbagai negara. Di Indonesia, Jeeva sudah beberapa kali menggelar pertunjukan. Tiga tahun terakhir, dia tidak pernah absen menghadiri FDII. Untuk edisi tahun ini, selain Jeeva, pendongeng asing yang juga tampil adalah Sheila Wee (Singapura) dan Ng Ko Keong (Malaysia).
Ketertarikan Jeeva pada dongeng muncul dan baru bisa direalisasikan menjadi karya saat dia mulai bekerja pada Tulika Publisher pada 1998. Itu pun sebenarnya terjadi karena ketidaksengajaan.
Saat ditawari bekerja di perusahaan penerbitan tersebut, Jeeva awalnya disodori posisi marketing. Namun, suatu ketika, saat bagian penerjemah sedang kosong, Jeeva kebagian tugas membantu mengalihbahasakan buku cerita Priya’s Day karya Cathy Spagnoli dari bahasa Inggris ke Hindi.
Berdasar pengalamannya berkeliling ke belasan negara, Jeeva menemukan bahwa suara, ekspresi, serta gerak tubuh menjadi semacam lingua franca yang mengatasi bahasa verbal.
Jeeva mengatakan, berdasar pengalamannya, bahasa sama sekali bukan kendala dalam mendongeng. Mendongeng dari satu negara ke negara lain membuat Jeeva memahami betul bahwa bahasa bukan alat komunikasi yang utama dalam dongeng. Ada juga suara, ekspresi, serta gerak tubuh yang membantu menggambarkan kisah yang dibawakan.
Sheila Wee menambahkan, hal penting lain adalah koneksi antara pendongeng, dongeng yang akan dibawakan, dan audiens. Caranya, si trubadur harus tahu audiensnya untuk menentukan dongeng mana yang akan dibawakan dan bagaimana cara menyampaikannya.
“Beda usia dan segmen tentu beda juga dongeng dan cara mendongengnya,” kata Sheila.
Mengutip Jack Zipes, penulis buku The Great Fairy Tale Tradition: From Straparola and Basile to the Brothers Grimm, secara universal, dongeng tradisional di seluruh dunia memang ditalikan berbagai kemiripan tema, alur, dan karakter. Tokoh protagonisnya, misalnya, biasanya punya teman misterius atau pemberi hadiah magis. Sedangkan sosok antagonis umumnya berupa tukang sihir, monster, atau peri jahat.
Kembaran Cinderella, cerita rakyat dari Eropa, misalnya, bisa ditemukan di Mesir, Korea, Filipina, bahkan Indonesia. Cerita rakyat Jawa Ande-Ande Lumut, contohnya, punya kemiripan tema dengan kisah yang di Italia dikenal dengan nama Cenerentola tersebut.
Jadi, tak mengherankan kalau dongeng yang dibawakan Jeeva siang itu pun menjadi gampang dipahami anak-anak yang menonton. Samar-samar anak-anak tersebut mungkin pernah mendengarnya, dalam versi yang lain, dari dongeng yang dibacakan di tempat tidur.
Trik Jeeva lainnya untuk menggaet hati audiens adalah memasukkan celetukan-celetukan dalam bahasa lokal. Di sebuah bagian dongeng Jack yang menceritakan si Jack disuruh sang bapak mencari ayam jago, Jeeva tiba-tiba nyeletuk,”Ya, ayam jago.”
Sebenarnya dia hanya mengulang ucapan si penerjemah. Namun, toh celetukan spontan tersebut langsung disambut tawa lepas para bocah yang menonton.
Menurut Jeeva, trik seperti itu memang punya efek menyenangkan bagi para penonton. “Wow, itu bahasa kita. Mereka lalu merasa senang sekaligus makin bersemangat untuk mendengarkan dongeng,” ucapnya.
Jeeva bercerita, seorang teman pendongengnya sangat serius menggunakan trik tersebut tiap kali akan tampil. Dia selalu meluangkan waktu untuk mempelajari bahasa lokal jauh-jauh hari.
Jeeva mengaku tak serajin itu. “Aku menirukan bahasa lokal yang aku dengar saja. Lalu, gunakan itu saat pertunjukan. Hahaha,” katanya.
Jeeva melihat dongeng di Indonesia sudah berkembang melebihi ekspektasi. Sudah banyak komunitas dan para pendongeng yang aktif memberikan edukasi mengenai dongeng.
Baik ke orang tua, guru, maupun anak-anak yang menjadi target utama. Hasilnya bisa dilihat dari perhelatan FDII. Dari yang awalnya hanya membaca cerita kini sudah bisa disebut benar-benar mendongeng.
“Para pendongeng yang stand by di booth dongeng sudah semakin lihai. Ekspresi, suara, serta gerak tubuh mereka sudah jauh lebih menarik,” katanya. (*/c10/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah 11 Guru yang Bikin Presiden Jokowi Berlinang-linang
Redaktur : Tim Redaksi