jpnn.com - PENGORBANAN Zainul Abidin Kelian (49) sebagai guru, bersama 4 pengajar lainnya di pelosok Maluku, tepatnya di kampung suku Kelian, Kabupaten Seram Timur sangat mengagumkan. Wajar jika Zainul mendapat penghargaan Setya Lencana dari negara.
Sudah 19 tahun, Zainul mengabdi sebagai guru SD maupun madrasah. Selama itu pula, pahit manisnya menjadi guru telah dirasakannya. Dimulai dari fasilitas sekolah yang tidak pernah lengkap karena jarak kampung puluhan kilometer dari perkotaan.
BACA JUGA: Kisah 11 Guru yang Bikin Presiden Jokowi Berlinang-linang
"Murid-murid kami harus bersabar karena fasilitas yang minim. Kami tidak bisa seperti anak-anak sekolah di kota yang pratikum dengan alat modern. Kami pakai alat-alat tradisional yang ada saja," tutur Zainul pada JPNN.
Alam pun menjadi salah satu tempat bagi murid Zainul belajar. Semua dilakukan manual. Pelajaran biologi, ya keluar dari kelas dan mempelajari langsung semua yang bisa dipelajari dari alam. Jangan harap pula pelajar Zainul bisa mengenal ilmu lain lewat internet, karena kata ayah empat anak tersebut, tidak ada sinyal internet apalagi telepon di kampungnya.
BACA JUGA: Alat Pendeteksi Kantuk Karya Siswi Purwokerto Diincar Perusahaan Tambang
"Kalau ada yang telepon saya tidak masuk, berarti saya ada di kampung saya. Tidak ada sinyal sama sekali," kata Zainul sambil tertawa kecil.
Zainul mengaku, bangunan sekolah tempatnya mengajar cukup memadai dan layak untuk para murid. Tapi tidak dengan fasilitas lain. Di perpustakaan sekolah hanya ada buku-buku pengayaan. Buku pelajaran hanya ada untuk panduan guru. Para siswa tidak semua mendapatkan buku pelajaran karena persediaan terbatas. Di sekolah itu, hanya ada 79 siswa.
BACA JUGA: Kisah Mengharukan Guru Pedalaman, Rela Pinjam Uang Demi Bertemu Jokowi
Satu kelas maksimal terisi 11 sampai 12 orang. Tapi, bahkan tak ada buku pelajaran yang cukup untuk menjadi panduan mereka belajar.
"Kami juga masih pakai buku kurikulum 2006. Di tempat lain sudah kurikulum 2013," sambung Zainul.
Siswa di sekolah itu tidak dipungut biaya. Orang tua hanya sempat diminta dana Rp 100 ribu untuk memperbaiki gerbang sekolah. Namun, belum terkumpul semuanya dana itu. Ditambah jarak kampung itu yang jauh membuat sulit menyediakan bahan-bahan bangunan untuk perbaikan.
"Alhamdulilah masyarakat di kampung saya sadar pendidikan juga penting jadi anak-anak tetap disekolahkan," imbuhnya.
Letak sekolah yang terpencil juga membuat para guru seperti Zainul kesulitan mengurus administrasi yang berhubungan dengan profesi mereka. Jalanan rusak dan jarang ada kendaraan umum yang datang. Alhasil, untuk mengambil gaji ke kota, Zainul dan teman-temannya harus berjalan kaki sejauh 25 kilometer.
"Kami jalan lewat pesisir pantai 25 km. Kira-kira satu hari jalan kaki. Kecuali kalau ada kapal kecil yang kebetulan lewat ya kami numpang. Kalau ramai bayar 100 ribu. Kalau cuma sendiri numpang bayar 500 ribu," tutur Zainul.
Di sekolah itu, hanya ada lima guru yang mengajar bersama Zainul. Kebanyakan berasal dari Seram Timur. Mereka adalah Nujun Kelian sebagai kepala sekolah, Nurza Kelian yang juga adik Zainul, Hasnawati Voth, dan Nurhuda Kelian.
Ditambah penjaga sekolah Abdullah Kelian. Semuanya juga mengalami yang dirasakan Zainul. Setelah menerima penghargaan ini, Zainul mengharapkan pemerintah terus memperhatikan pendidikan di wilayah pelosok dan terpencil. Penghargaan itu juga dipersembahkannya untuk teman-teman gurunya, para siswa dan keluarganya yang berbangga hati ia bisa bertemu Presiden Joko Widodo.
"Jadi guru bukan cita-cita saya. Tapi saya ingin anak-anak di kampung saya bisa sekolah juga. Mudahan-mudahan semua guru punya semangat yang sama. Semoga Pak Jokowi dan Pak Anies (Mendikbud) bisa majukan pendidikan," tandas Zainul. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Lukisan di Ruangan Bung Karno yang Tak Pernah Bergeser dari Tempatnya
Redaktur : Tim Redaksi