Polisi berhasil mengungkap kelompok baru yang ikut menunggangi aksi masa pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta. Kelompok ini berusaha menciptakan martir dalam aksi massa itu dan juga berencana membunuh 4 tokoh nasional. Kelompok bersenjata api:Polisi tangkap 6 tersangka yang diperintahkan membunuh 4 tokoh nasional dan pemimpin lembaga surveyKelompok ini ikut aksi unjuk rasa 21 Mei di Bawaslu dengan membawa senjata apiSalah satu senjata yang digunakan dilengkapi teleskop, memperkuat dugaan adanya sniper dalam kerusuhan 21-22 Mei 2019

BACA JUGA: Kapal Induk Australia Dibuntuti Militer China di Laut China Selatan

Aparat kepolisian berhasil menangkap kelompok yang terdiri dari 6 orang yang dari proses penyelidikan diketahui berencana melakukan pembunuhan terhadap 4 tokoh nasional dan seorang pemimpin lembaga survey.

Kadiv Humas Mabes Polri, Muhammad Iqbal mengatakan kelompok ini merencanakan aksi pembunuhan tersebut sejak oktober 2018 atas perintah seseorang.

BACA JUGA: Curhat Muslim Australia Soal Puasa Ramadan

"Pada 1 oktober 2018, tersangka HK menerima perintah dari seseorang untuk membeli dua pucuk senjata api (senpi) laras pendek di Kalibata. Seseorang ini, pihak kami sudah mengetahui identitasnya. Sedang didalami,' " kata Iqbal dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (27/5/2019).

"Sekitar bulan April 2019, terdapat juga perintah lain melalui tersangka AZ untuk membunuh seorang pimpinan satu lembaga survey dan tersangka itu sudah beberapa kali mensurvey rumah tokoh itu dan tersangka ER sudah mendapat uang sebesar Rp5 juta," tambah Muhammad Iqbal.

BACA JUGA: Paus Fransiskus Samakan Aborsi dengan Menyewa Pembunuh Bayaran

Polisi tidak merinci siapa keempat tokoh yang menjadi target sasaran kelompok ini namun ditegaskan kalau mereka adalah pejabat negara tapi bukan Presiden.

Sementara keenam tersangka diduga adalah pelaku kejahatan professional dan sudah berpengalaman menggunakan senjata api.

Mereka telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kepemilikan senjata api ilegal dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara. Photo: Para tersangka dengan membawa senjata api ikut berbaur dengan massa aksi 22 Mei untuk menciptakan martir dalam aksi tersebut. (ABC: Dicky Martiaz)

Kronologi rencana pembunuhan

Dalam pemaparan kronologis aksi kelompok ini terungkap tersangka HK menjalankan perintah pembunuhan itu dengan membeli 4 pucuk senjata dari tersangka lainnya dan kemudian diserahkan kepada dua rekannya yang bertindak sebagai eksekutor.

Untuk aksinya tersebut, HK diketahui telah menerima transfer uang sebesar Rp150 juta dari pemberi perintah.

Pada aksi massa tanggal 21 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu RI di Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat, HK dan kawan-kawan turut hadir membaur dengan massa aksi dan bertujuan menciptakan korban sebagai martir agar terjadi kerusuhan.

"Tersangka HK dengan membawa 1 pucuk senpi beserta tim turun ke depan bercampur dengan massa aksi pada 21 mei untuk melakukan aksinya dengan massa aksi lainnya. " kata M. Iqbal.

Dalam rilis itu polisi menunjukan barang bukti berupa senpi rakitan yang diduga senjata organik illegal yang didapat dari seorang tersangka perempuan.

"Senjata ini ada teleskopnya jadi diduga kuat emang ingin menghabisi dari jarak jauh walau rakitan ini efeknya luar biasa." kata Muhammad Iqbal.

Polisi juga menemukan barang bukti sebuah rompi anti peluruh bertuliskan polisi. Sehingga polisi juga sedang mendalami motif kelompok ini untuk membentuk citra bahwa polisi melakukan kekerasan terhadap massa aksi. Photo: Aksi massa menolak hasil pemilu 22 Mei 2019 di depan kantor Bawaslu RI ditunggai kelompok ketiga. Sudah tiga kelompok berhasil diidentifikasi polisi. (ABC: Dicky Martiaz)

Sementara itu, Polri menyatakan hingga kini pihaknya masih menelusuri keterkaitan antara senjata yang dimiliki kelompok ini dengan kasus tewasnya sejumlah korban dalam kerusuhan pada 22 Mei 2019 lalu yang saat ini ditangani tim pencari fakta bentukan Polri bersama sejumlah lembaga independen lainnya.

Dalam pemaparannya Muhammad Iqbal kembali menegaskan bahwa kelompok ini bukanlah peserta aksi damai, tapi mereka adalah pelaku kejahatan kerusuhan.

Kelompok ini juga berbeda dari 2 kelompok lainnya yang sudah diungkapkan polisi sebelumnya yakni kelompok preman bayaran dan kelompok teroris yang hendak menunggangi aksi massa untuk menjalankan aksi jihadnya.

"Kelompok ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Menkopolhukan dan Kapolri sebelumnya, fakta hukumnya beda, tersangkanya beda dan senjata apinya juga beda dan berarti ada 3 kelompok penunggang gelap. Bisa jadi masih ada kelompok lain yang belum berhasil kami tangkap dan identifikasi." tambahnya.

Pasca kerusuhan aksi massa 21-22 Mei 2019, selain mengungkap 3 kelompok penunggang aksi massa menolak hasil pemilu 2019 ini, polisi juga telah menangkap 442 tersangka perusuh lainnya. Hingga saat ini polisi masih menyelidiki keterkaitan para perusuh dengan kelompok-kelompok tersebut. Temuan Komnas HAM dukung temuan Polri Photo: Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Ahmad Taufan Damanik sambangi korban kerusuhan 22 Mei yang terkena peluru tajam di RSCM Jakarta (23/5/2019). (Suara.com/Fakhri)

Sementara itu, Komnas HAM mendesak agar polisi segera mengungkap siapa dalang dibalik kelompok-kelompok yang menunggangi aksi massa 21-22 Mei 2019.

Apalagi kerusuhan ini telah memakan korban, ratusan warga luka-luka dan 8 orang meninggal dunia. Korban tewas diketahui terkena peluru tajam.

Komisioner Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan temuan sementara yang diperoleh lembaganya sedikit mendukung temuan yang dipaparkan oleh kepolisian.

"Salah satu korban remaja yang kami wawancarai, tangannya tertembak peluru tajam. Dia bilang dia tidak tahu dari mana datangnya peluru itu. Dan ini berbeda dengan keterangan korban lainnya yang tertembak peluru karet. Mereka mengaku melihat langsung pasukan yang menembaki mereka ketika pecah kerusuhan ada aksi bakar mobil." katanya.

"Ini menguatkan indikasi memang ada sniper seperti yang dikatakan Kapolri. Polisi harus cari siapa sniper itu dan kelompok mana yang menembakan peluru tajam," katanya.

Komnas HAM telah menerima berbagai aduan dari organisasi masyarakat (ormas) pascaperistiwa kerusuhan pada 21 dan 22 Mei 2019. Sebagian besar, pengaduan berkaitan dengan dugaan tindakan kesewenang-wenangan aparat kepolisian.

Komnas HAM menolak bergabung dengan tim pencari fakta kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang dibentuk polisi. Sebaliknya Komnas HAM membentuk tim khusus sendiri untuk mengusut peristiwa kekerasan tersebut.

"Bukan kami tidak bersedia tapi UU yang memayungi kami tidak memungkinkan untuk itu, makanya kami membentuk tim khusus sendiri. Kami juga melibatkan pihak lain dan pakar yang berpengalaman dalam hal ini," Kata Ahmad Taufan Damanik.

Simak berita menarik lainnya dari situs ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gerakan Anti Feminis Menguat di Indonesia

Berita Terkait