jpnn.com - Muhamad Lugina keluar dari zona nyaman sebagai karyawan salah satu BUMN, kini memilih menjalankan bisnis sendiri. Berdagang beraneka ragam karya rajutan dilakoninya.
NATHEA CITRA SURI, Mataram
BACA JUGA: Santi Berkelamin Ganda, Operasi, Menikah, Melahirkan
Seperti biasa, kemarin (5/11) ribuan warga tumpah ruah di Jalan Udayana, Mataram, NTB, menikmati hari tanpa kendaraan alias car free day (CFD).
Warga membaur menjadi satu. Ada yang bersepeda, berjalan kaki, bersantai bersama keluarga, atau menikmati kuliner.
BACA JUGA: Wawan Gunawan Makan Paku agar Bisa jadi Presiden
Di tempat tersebut ratusan pedagang kaki lima (PKL) menjajakkan dagangannya. Mereka membuka lapak di sisi kanan dan kiri Jalan Udayana, mulai dari depan Imigrasi hingga ujung taman Udayana.
Salah satunya adalah Muhamad Liguna. Dia bukan PKL biasa. Liguna merupakan owner Dedara Krocet Handmade, sebuah toko yang menjual kerajinan tangan.
BACA JUGA: Dua Perempuan Ini Pahlawan Pendidikan Warga Suku Anak Dalam
“Mari silakan Mbak,” kata Liguna menyambut Lombok Post (Jawa Pos Group).
Pria bertubuh tinggi tersebut tampak ramah melayani para ibu-ibu hingga pria dewasa, yang sibuk bertanya tentang kreasinya.
Saat itu, dia memajang beragam kerajinan rajutan. Mulai dari sepatu hingga tas.
“Usaha ini sudah berjalan lima tahun. Awalnya hanya kecil-kecilan,” ungkapnya sambil berusaha menyegarkan tenggorokannya dengan sebotol air kemasan.
Sambil duduk di atas bahu jalan, pria yang akrab disapa Ogi tersebut menceritakan kisahnya. Dia mengaku, awalnya hanya berjualan rajutan dalam bentuk gantungan kunci.
Belakangan karena banyaknya permintaan, dia mulai membuat benda rajutan lainnya seperti sepatu hingga tas.
Dia menjual hasil karyanya itu di tokonya. Lalu mencoba mempromosikannya melalui media online, termasuk menjualnya di arena CFD ini.
Hasil rajutannya Ogi sangat berkualitas. Buktinya saja, beberapa karyanya sampai menembus pasar Australia hingga Amerika.
“Alhamdulillah, ini semua karena kerja keras saya bersama istri. Kami bangun usaha ini dari nol, hingga bisa seperti sekarang,” imbuhnya sambil tersenyum.
Ogi sendiri awalnya hidup mapan sebagai seorang karyawan sebuah BUMN di Kota Mataram. Belakangan dia memilih berhenti dan membuka usaha sendiri.
Awalnya Ogi mencoba menjadi seorang pedagang sayur di salah satu pasar tradisional di Kota Mataram.
“Saya tidak malu kok, pernah menjadi pedagang sayur,” ungkapnya.
Di tahun 2012, Ogi dan istri iseng-iseng mencoba membuat karya dari rajutan. Saat itu belum banyak orang menghasilkan benda dari rajutan.
Memang tidak sembarangan orang bisa membuat karya rajutan, karena membuatnya butuh kreatifitas dan kesabaran yang tinggi.
Usaha ini pun berkembang. Ogi lantas berfikir bagaimana membuat satu brand asli Mataram, yang tidak kalah dengan kreasi asli suatu daerah.
“Misalkan saja seperti Joger dari Bali, ataupun kreasi kreatif lainnya yang ada di Indonesia,” tuturnya.
Ogi sendiri belajar merajut dari sang istrinya. Selama empat bulan dia dengan tekun belajar merajut dari nol.
Selama belajar merajut, Ogi mengaku ada dua hal yang harus dilakukan oleh setiap perajut pemula. Pertama, kesabaran. Dan kedua fokus.
“Agar semakin pandai merajut, saya belajarnya saat malam hari. Kalau saya belajarnya siang, takutnya diledekin,” jawabnya sambil tertawa.
Sembari belajar dia mencoba menjual hasil kreasinya. Saat itu sederhana, hanya berupa gantungan kunci dan boneka kecil.
Belakangan dia berfikir bagaimana membuat rajutan yang tidak hanya bisa dijadikan hiasan, tapi juga bisa dimanfaatkan pemiliknya.
“Lalu saya dan istri membuat rajutan sepatu bayi, dan berkembang membuat rajutan sepatu orang dewasa,” bebernya.
Untuk membuat kerajinan tersebut, dia hanya membutuhkan benang polyster, jarum rajut, dan alas sepatu. Agar rajutannya berkualitas, bahan yang dipilih adalah bahan yang berkualitas.
Untuk membuat kerajinan rajut ia tidak membutuhkan waktu lama. Rata-rata barang yang dirajutnya, dijual dengan harga antara Rp 50 ribu hingga 280 ribu.
Dalam merintis usahanya, dia mengaku kerap mendapat rintangan. Bahkan saat dia mengutarakan niat berhenti bekerja sebagai karyawan, keluarganya langsung menentang. Namun karena keinginannya memiliki usaha sendiri begitu kuat, dia tidak bergeming.
Demikian halnya saat dia menjual hasil rajutannya, beberapa orang justru mencemoohnya. Bahkan menilai apa yang dilakukannya tidak wajar.
Keluar dari zona nyaman sebagai karyawan dan memilih berkeringat membuka usaha sendiri yang belum jelas keuntungannya.
“Banyak yang cemooh, tapi saya ingat sekali kata-kata mantan pimpinan saya. Beliau berkata, jangan kejar martabat, cari martabak dulu baru cari martabat,” kelakarnya.
Kini kerja kerasnya membuahkan hasil. Dia memiliki banyak pelanggan. Bahkan barang kerajinannya sudah menembus pasar luar negeri.
“Terakhir dikirim ke Darwin, Australia. Target saya menjual kerajinan ini ke Jepang,” tandasnya. (*/r3)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ogah Cari Lowongan Kerja, Jus Kulit Pisang Laris Manis
Redaktur & Reporter : Soetomo