Keluarga Besar Purna Adhyaksa: Jaksa Agung Sebaiknya dari Internal Kejaksaan

Senin, 22 Juli 2019 – 07:05 WIB
Gedung Kejaksaan Agung RI. Foto ilustrasi: dokumen JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Jabatan Jaksa Agung sangat strategis dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, Presiden harus memilih sosok jaksa agung yang mumpuni dalam hal penegakan hukum, khususnya mengerti mengenai seluk-beluk kejaksaan.

“Keluarga Besar Purna Adhyaksa mengharapkan Jaksa Agung pada kabinet 2019-2024 mendatang berasal dari pejabat karier atau mantan pejabat Kejaksaan,” kata mantan JAM Pidsus Kejagung Sudhono Iswahyudi saat diskusi bertajuk “Kriteria Jaksa Agung yang Dikehendaki Keluarga Besar Purna Adhyaksa” yang digelar Koalisi Indonesia Negara Hukum di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (21/7).

BACA JUGA: Jatah Posisi Jaksa Agung Bisa Saja untuk NasDem Lagi

Menurut Sudhono, Jaksa Agung hendaknya figur yang telah mendalami dan memahami kondisi institusi Kejaksaan, baik sebagai institusi maupun perilaku personel-personel Kejaksaan.

"Kejaksaan itu punya kultur yang spesifik yang tidak dipunyai instansi lain. Dan yang tahu itu adalah orang-orang yang mendalami di Kejaksaan itu. Figur Jaksa Agung seperti itu yang diharapkan,” kata Sudhono.

BACA JUGA: Calon Komisioner KPK Harus Berpengalaman Bidang Hukum Minimal 15 Tahun

Pembicara diskusi bertajuk “Kriteria Jaksa Agung yang Dikehendaki Keluarga Besar Purna Adhyaksa” yang digelar Koalisi Indonesia Negara Hukum di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (21/7). Foto: Dok. JPNN.com

BACA JUGA: Sudhono Usulkan Persyaratan Ideal Calon Jaksa Agung

Sudhono menjelaskan Jaksa Agung itu seharusnya pejabat karier, sama dengan Kapolri atau Panglima TNI yang dari karier karena tugas penegak hukum itu tugas profesional. Sama dengan dokter dan tenaga-tenaga ahli spesifik lainnya.

Saat ini, di internal Kejaksaan Agung ada banyak pejabat yang memiliki potensi bagus sebagai Jaksa Agung.

"Saya tidak perlu menyebutkan nama. Tetapi banyak pejabat Eselon I, mantan-mantan jaksa yang masih muda yang punya kualitas bagus. Yang pasti Jaksa Agung adalah mereka yang memahami kultur Kejaksaan baik mantan jaksa maupun yang masih menjabat," paparnya.

Menurut Sudhono, Jaksa Agung dalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh bidang eksekutif atau legislatif.

"Jaksa Agung mempunyai single authority yang mengendalikan penegakan hukum. Mulai dari penyidikan, ketika di pengadilan dan menentukan hukuman-hukuman yang akan dijatuhkan," katanya.

Dia bahkan menyebut mestinya jaksa yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pertanggungjawabannya kepada Jaksa Agung, bukan dikendalikan oleh KPK.

"Karena itu jaksa karier yang paling memenuhi syarat utama sebagai Jaksa Agung," katanya.

Mantan Direktur Penyidikan Kejagung Chairul Imam menambahkan, selain HM Prasetyo, di era Orde Baru ada Jaksa Agung dari Golkar yakni Marzuki Darusman dan dari LSM Marsilam Simanjuntak. Namun, diakuinya saat itu secara kinerja tidak cukup baik.

“Kita tahu bagaimana keberadaannya. Karena itu, Presiden kami harapkan dalam memilih Jaksa Agung hendaknya menyerap aspirasi kalangan internal Kejaksaan," tuturnya.

Menurut Chairul, sebaiknya Jaksa Agung bebas dari politik praktis untuk menghindari konflik kepentingan.

"Itu yang selama ini menjadi salah satu kendala di Kejaksaan. Oleh karena itu mengapa seorang jaksa itu harus pindah-pindah tugas ya agar tidak terlibat konflik kepentingan dengan teman sendiri, apalagi soal konflik politik,” tuturnya.

Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Puspenkum) Kejagung Barman Zahir menambahkan seorang Jaksa Agung setidaknya memiliki enam tugas yakni pembinaan, intelijen, pidana umum, pidana khusus, pengawasan, dan datun (perdata dan tata usaha negara).

“Apakah bisa orang luar sebagai Jaksa Agung? Belajar satu tahun belum tentu bisa. Dan menjadi Jaksa Agung itu bukan saatnya untuk belajar anatomi Kejaksaan, it's too late (sudah terlambat). Yang tahu anatomi Kejaksaan hanya orang Kejaksaan sendiri, tidak bisa orang lain. Pemilihan personel di Kejaksaan itu tidak bisa asbun (asal bunyi), tapi tidak tahu permasalahan," tuturnya.

Barman mengatakan bahwa di internal Kejaksaan banyak pejabat yang memiliki potensi baik sebagai Jaksa Agung.

“Kami tak akan menyebut nama, banyak. Pokoknya yang sudah eselon 1, jujur, berintegritas tinggi, tidak macam-macam. Sebagai mantan humas saya tahu," katanya.

Tokoh Nonparpol

Praktisi Hukum Petrus Selestinus mengatakan posisi Jaksa Agung memiliki peran yang sangat besar terhadap penegakan hukum di Indonesia. Jaksa Agung harus menjadi representasi negara dalam menjalankan tugasnya dan tidak bisa diintervensi dari pihak manapun. Termasuk dari partai politik (parpol). Karena itu, Jaksa Agung sebaiknya berasal dari luar parpol agar tidak ada kepentingan parpol dalam menjalankan tugasnya.

Menurut Petrus Selestinus, selama ini Jaksa Agung dari periode ke periode lebih fokus pada kerja-kerja teknis soal penuntutan, penyidikan dalam berbagai kasus hukum. Padahal, seharusnya Jaksa Agung lebih fokus menjalankan tugas-tugas besar penegakan hukum.

Petrus juga menekankan agar jabatan Jaksa Agung tidak berasal dari parpol sehingga penegakan hukum yang dilakukan bukan penegakan hukum yang diintervensi kepentingan parpol.

“Akhirnya Kantor Kejaksaan sekarang warnanya biru, besoknya merah. Seharusnya Jaksa Agung itu lahir dari Gedung Bundar (Kejaksaan Agung) dan direkomendasikan Gedung Bundar," ucap Petrus dalam diskusi yang dipandu oleh Juliaman Saragih, itu.

Menurut Petrus, saat ini sejumlah parpol sudah menyiapkan kader atau tokoh-tokoh tertentu untuk diusulkan kepada Presiden Terpilih menjadi Jaksa Agung periode 2019-2024.

“Ini partai-partai sudah siapkan jago-jagonya. Nanti dari Keluarga Besar Purna Adhyaksa perlu untuk menyampaikan sosok-sosok yang layak dari internal Kejaksaan supaya Presiden tidak saya pilih," katanya.

Menurutnya, peran Jaksa Agung sebenarnya jauh di atas Menko Polhukam. Karena itu, jika ada persoalan hukum, seorang Jaksa Agung harus muncul terdepan.

Menurutnya, dalam lima tahun era pemerintahan Jokowi, masyarakat sangat merindukan peran Kejaksaan Agung sebagai garda terdepan penegakan hukum.

“Jaksa Agung kita ini mengerdilkan diri. Seorang Jaksa Agung itu harus melevelkan diri setara dengan Presiden. Tak boleh membungkuk-bungkuk di hadapan Presiden. Dia itu partner, jangan di bawah Presiden. Makanya perlu Jaksa Agung itu sebulan sekali ketemu Presiden membahas persoalan hukum," katanya.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Langkah Pansel Gandeng BNPT - BNN Usut Rekam Jejak Calon Pimpinan KPK Dinilai Tepat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler