jpnn.com, JAKARTA - Perkembangan pesat teknologi membawa dampak besar terhadap penyebaran paham atau ideologi alternatif di ranah digital yang dilakukan oleh gerakan Islam.
Mereka membingkai hal itu untuk mempengaruhi masyarakat muslim di media sosial dan juga situs-situs tertentu.
BACA JUGA: Makna Hari Pahlawan Bagi Wamenag Zainut, Indonesia Unggul dan MenduniaÂ
Hal ini mengemuka dalam bedah buku “Kontestasi Ideologi Politik: Gerakan Islam Indonesia di Ruang Publik Digital” hasil karya Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa'adi yang diselenggarakan Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Kamis (10/11).
Buku itu merupakan hasil penelitian Wamenag Zainut untuk memenuhi persyaratan meraih gelar doktoral atau S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
BACA JUGA: Wamenag Zainut Tauhid: Indonesia Bisa Jadi Pemimpin Dunia Islam yang ModeratÂ
"Setelah dianalisis ternyata menunjukkan bahwa kemunculan ruang digital telah mengakibatkan demokratisasi dan fragmentasi otoritas keagamaan serta mempertajam kontestasi serta polarisasi ideologis antargerakan Islami dan organisasi Islam arus utama di Indonesia," tutur Wamenag Zainut
Dia melanjutkan kontestasi dan polarisasi tersebut terjadi akibat sangat terbukanya ruang digital yang memfasilitasi gerakan Islamis untuk memproduksi dan mendistribusikan wacana ideologi politik alternatif di luar batasan sempit lembaga formal dan politik elektoral.
BACA JUGA: Di Seminar UIM, Wamenag Dorong Perguruan Tinggi Islam Lakukan Transformasi Digital
Ketiadaan saluran kelembagaan formal dan pembatasan akses politik elektoral tidak menghalangi kelompok Islamis untuk menjadi politis dan memengaruhi masyarakat dan negara.
"Meskipun pemerintah berupaya membatasi struktur peluang politik kelompok-kelompok Islamis, sebagaimana tercermin dalam kebijakan pembubaran HTI dan FPI,” kata Zainut.
Di sisi lain, dalam dinamikanya wacana ideologi politik alternatif yang diproduksi dan didistribusikan oleh kelompok islamis di ruang publik digital cenderung memperoleh daya tarik kelas menengah muslim perkotaan yang tengah dilanda gelombang titik balik agama.
Sementara itu, wacana ideologi politik dominan yang diproduksi dan didiskusikan oleh organisasi Islam arus utama mendapatkan penerimaan luas di kalangan masyarakat santri dan masyarakat muslim moderat.
Organisasi Islam utama, yakni NU dan Muhammadiyah sama-sama membingkai ideologi politik yang mereka yakini dengan menggunakan bahasa, simbol, dan identitas keagamaan dan memasarkan hal itu kepada warganet muslim dengan menggunakan media dan budaya populer secara kreatif dan produktif.
"Tentu ini memperkuat penelitian sebelumnya bahwa perkembangan teknologi media modern telah mengakibatkan pluralisasi kontestasi dan juga fragmentasi otoritas keagamaan," ujarnya.
Hal itu sejalan dengan penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Surakarta bahwa internet menjadi medium paling ampuh dalam menyebarkan paham radikal atau ektremisme.
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa website yang berisikan konten radikal cenderung lebih dominan dan populer bagi masyarakat dibandingkan situs yang dikembangkan NU dan Muhammadiyah.
Selain itu, narasi yang dibangun oleh kelompok Islamis telah memengaruhi di ruang publik dan bahkan mengubah persepsi sebagian masyarakat muslim terhadap Pancasila dan NKRI.
"Namun, penelitian tersebut cenderung melupakan satu fakta bahwa mayoritas umat Islam yang diwakili oleh organisasi arus utama yakni NU dan Muhammadiyah sampai saat ini masih berpegang teguh pada konsensus yang menempatkan Pancasila dan NKRI, sebagai dasar dan bentuk negara yang final," tegasnya.
Buku karya Zainut ini dibedah oleh Guru Besar Hukum Islam bidang Fikih Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Wakil Ketua MPR RI Asrul Sani, Direktur Eksekutif Indo Barometer Qodari, dan Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad