jpnn.com - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri ikut menyoroti kasus kematian Afif Maulana, remaja 13 tahun yang ditemukan tewas mengenaskan di bawah Jembatan Kuranji, Kota Padang.
Pihak LBH Padang yang mendampingi keluarga korban sebelumnya menemukan indikasi Afif tewas diduga akibat dianiaya oknum polisi dari Direktorat Sabhara Polda Sumbar saat patroli aksi tawuran.
BACA JUGA: LBH Padang Datangi Komnas HAM, Minta Lakukan Investigasi Mendalam Kasus Kematian Afif Maulana
Nah, Reza dalam analisisnya juga mengingatkan pihak kepolisian yang menangani kasus itu berpijak pada fakta dan pembuktian, bukan hanya keterangan-keterangan.
"Untuk kesekian kalinya saya ingatkan, keterangan disimpulkan psikologi forensik sebagai barang yang paling potensial merusak pengungkapan fakta," ujar Reza, Selasa (25/6).
BACA JUGA: Sentil Kapolda Sumbar soal Kematian Afif Maulana, LBH Padang: Berhenti Membuat Pembohongan Publik
Dia lantas memberi contoh pada pengujian saintifik untuk proses pembuktian. Misalnya, hasil autopsi sebagai basis utama pemberkasan.
Selain itu, pria yang pernah mengajar di STIK/PTIK itu juga mengingatkan Kapolda Sumbar Irjen Suharyono berhati-hati dalam memberi keterangan kepada publik terkait kasus kematian Afif yang diduga dianiaya polisi.
BACA JUGA: Afif Maulana Tewas Mengenaskan, LBH Padang Ungkap Momen Polisi Tendang Motor Korban
"Kapolda juga perlu ekstra hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Pernyataan yang terkesan defensif akan sangat berisiko dinilai sebagai cara menutup-nutupi kesalahan sejawat (Silence Wall, Curtain Code)," tuturnya.
Menurut Reza, sangat baik jika Polda Sumbar menginisiasi eksaminasi gabungan dengan melibatkan representasi masyarakat.
"Ini dibutuhkan untuk menjembatani komunikasi dengan publik," ujar penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu.
Reza menyampaikan salah satu hal yang perlu dieksaminasi adalah kemungkinan implicit bias. Akibat implicit bias, polisi bisa punya kewaspadaan bahkan kecurigaan eksesif terhadap situasi tertentu.
Misalnya, begitu melihat kerumunan orang di malam hari, polisi langsung mengasosiasikannya sebagai ancaman bahkan bahaya.
Tambahan lagi jika di situ ada benda-benda yang dianggap dapat mencederai bahkan mematikan, proses berpikir personel bisa terjun bebas ke level instinktif, yaitu fight to survive.
"Perilaku brutal dapat muncul dalam situasi sedemikian rupa," kata sarjana psikologi dari UGM Yogyakarta itu.
Reza menyarankan agar ke depan, pada patroli, interogasi, dan situasi-situasi lainnya yang berpotensi diwarnai benturan antara polisi dan masyarakat, tiap personel harus dilengkapi body camera.
Mengacu studi, katanya,body camera mampu menekan agresivitas personel.
Selain itu, body camera juga bermanfaat untuk menyanggah opini keliru masyarakat serta menyediakan bukti untuk kepentingan audit investigasi internal.
"Pada situasi operasi terbuka (bukan intelijen), label nama dan atribut kepangkatan personel harus terlihat. Rompi tidak boleh menutup label nama tersebut," kata Reza.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam