Kembalikan Harga Diri yang Hilang

Minggu, 29 Desember 2013 – 09:34 WIB
Pakaian adat Bugis Makassar. Getty Images

jpnn.com - MAKASSAR -- Ciri khas masyarakat Bugis-Makassar yang menjunjung tinggi budaya malu terus tergerus. Padahal, budaya inilah yang menjadi karakter kunci dalam mengangkat martabat masyarakat. Dalam pergumulan sosial, harga diri yang hilang itu perlu dikembalikan.

Budayawan, Ishak Ngeljaratan menyebut budaya malu ini bersayap pada dua esensi utama.  Pertama, malu karena melakukan perbuatan salah. Kedua, malu karena tidak melakukan perbuatan kebajikan. Varian kedua menurut Ishak, adalah varian paling tinggi karena mengandung unsur kreasi positif yang diterjemahkan kemanfaatan pada lingkungannya.
           
"Koruptor itu senyum-senyum karena merasa tidak salah. Artinya, malu itu muncul jika merasa salah atau tidak melakukan perbuatan baik. Nah, ini yang hilang. Tidak lagi dipegang dalam kehidupan sehari-hari," kata Ishak pada diskusi kebudayaan di Studio Mini Redaksi Fajar Lantai 4 Gedung Graha Pena Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (28/12). Diskusi ini bertajuk, "Mengukuhkan Jati Diri, Merawat Perbedaan, Menyongsong 2014."

BACA JUGA: Lonjakan Penumpang di Merak Diprediksi Hari Ini

Hal lain yang menggelitik dalam konteks budaya luhur masyarakat Bugis-Makassar juga terlihat dari semakin rendahnya kebanggaan pada kesenian daerah. Generasi muda menurut Ishak, lebih gemar dan tertarik secara sangat histeria dengan budaya luar yang masuk ke Indonesia.

Padahal kata dia, ciri atau eksistensi jati diri masyarakat Bugis-Makassar justru berada pada karakter lingkungannya. Saat melupakan karakternya, maka pada saat yang sama eksistensinya dipertanyakan. "Belum lagi perbedaan yang masih diperuncing. Bukankah perbedaan yang bisa membuat kita kuat," tambahnya.

BACA JUGA: Pantura Lumpuh Dua Jam

Yudistira menyebut ada yang justru aneh dalam pola komunikasi kebudayaan selama ini. Salah satunya, pada setiap kampanye kebudayaan sebatas untuk mendukung kegiatan pariwisata. Selain esensi kebudayaan yang tidak masuk di tengah masyarakat, juga penikmat kebudayaan tersebut tidak jelas.

"Kalau bicara kegiatan-kegiatan seni, saya lihat cukup giat dalam beberapa tahun belakangan ini. Baru-baru ini, bahkan ada pidato kebudayaan di Gedung Kesenian Makassar. Cuma belum sesuai dengan apa yang diharapkan," ucap Yudistira yang terakhir kali bertugas di RRI Bengkulu.

BACA JUGA: Kapolres Pusing Ditanya Soal Kecelakaan Maut Probolinggo

Oleh karena itu, dia berharap pada 2014 nanti ada semacam gerakan kebudayaan yang bisa dilakukan secara berkelanjutan. Sekalipun, sampai saat ini belum terlihat adanya wacana politik kebudayaan. Padahal, 2014 nanti disebut sebagai tahun politik. "Budayawan harus muncul, karena yang terlihat sekarang lebih banyak pakar politik dan pakar hukum," sebutnya.

Pada diskusi ini juga dikupas tentang langkah konkret yang harus dilakukan kaum pencinta kebudayaan. Salah satunya, dengan mengakarkan budaya Bugis-Makassar ini pada lingkungan pendidikan. Menurut Dr. Syarifuddin Jurdi, M.A, kurikulum pada perguruan tinggi  perlu dimasukkan tentang budaya ini.

Terlebih saat ini, budaya meniru dengan dunia luar dinilai menjadi momok yang mengancam nilai-nilai keluhuran bangsa.  Masyarakat Indonesia, bahkan menggiring dirinya sendiri pada posisi lemah dengan menasbihkan negara luar atau bangsa barat sebagai perwujudan masyarakat maju.

"Tahun 2014 nanti, isu-isu politik harus diimbangi wacana kebudayaan. Kampus-kampus harus membuat kurikulum yang mengukuhkan identitas. Soalnya, banyak mahasiswa yang tidak tahu lagi identitas nasionalnya, apalagi identitas lokalnya," kata  dosen Universitas Islam Negeri Makassar yang fokus mengkaji kurikulum berbasis budaya ini.

Budayawan, Dr.A.Halilintar Lathief, M.Pd yang memandu dialog itu menggarisbawahi perlunya gerakan berkelanjutan  untuk mengawal tahun politik (2014) dengan menggiatkan kegiatan-kegiatan kebudayaan. Halil menyebut istilah "ati macinnong" (hati yang bening) yang perlu dimiliki untuk mengawal tahun 2014 agar tidak merusak karakter kemanusiaan kita. Melalui lembaga yang dipimpinnya, Rumah Budaya "Baruga Nusantara", Halil (sapan akrab Halilintar Lathief), bahkan siap memberi referensi hasil-hasil penelitian kebudayaan yang terkait dengan nilai-nilai karakter bangsa.

H.M.Dahlan Yusuf pun menyambut baik. Terutama soal nilai-nilai karakter yang semakin memprihatinkan. Ia mencermatinya dari sisi agama.  Katanya, agama ialah akhlak mulia dan budi pekerti yang baik. Peserta diskusi ini pun mendukung pernyataan Ishak, "Saya sangat setuju yang dibilang Pak Ishak, bahwa mari kita merebut kembali harga diri yang hilang," kata Dahlan. (fajar)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kecelakaan Maut di Probolinggo, Pantura Lumpuh Dua Jam


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler