Kemenag: UU Cipta Kerja Pangkas Proses Sertifikasi Halal 

Selasa, 01 Desember 2020 – 23:10 WIB
Kementerian Agama RI. Foto: Twitter @Kemenag_RI

jpnn.com, JAKARTA - Sekretaris Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Lutfi Hamid mengungkapkan, Undang-undang Cipta Kerja memberikan banyak kemudahan dalam berbisnis. Selain itu ada sejumlah pasal yang terkait tugas dan fungsi Kementerian Agama, salah satunya berkenaan penyelenggaraan jaminan produk halal (JPH). 

"Undang-undang Cipta Kerja hadir dengan fleksibilitas peraturan perundang-undangan, memberikan penyederhanaan perizinan berusaha dan proses bisnis," kata Muhammad Lutfi, Selasa (1/12).

BACA JUGA: Masa Depan Nasib Pengembangan Riset dan Teknologi juga Bergantung dari UU Cipta Kerja

Dalam kaitannya dengan Jaminan Produk Halal, undang-undang ini juga memberikan banyak implikasi positif, di antaranya percepatan layanan sertifikasi halal, fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal bagi UMK, penataan kewenangan, kepastian hukum, dan mendorong pengembangan ekosistem halal di Indonesia.

Menurut Lutfi, ada 22 pasal UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang JPH yang mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, terdapat penambahan 2 pasal baru. Kesemuanya meliputi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Proses Bisnis Sertifikasi Halal, Kerja Sama BPJPH, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Auditor Halal, Penyelia Halal, Peran Serta Masyarakat, Sertifikat Halal, Label Halal, Self Declare, dan Sanksi Administratif. 

BACA JUGA: UU Cipta Kerja Bantu Kebangkitan Sektor Properti di Indonesia

Lutfi mencontohkan, berdasarkan UU JPH, proses sertifikasi halal produk dalam negeri membutuhkan waktu 97 hari kerja. Sementara sertifikasi halal produk luar negeri selama 117 hari kerja. Dengan UU Cipta Kerja maka proses sertifikasi halal dipangkas menjadi 21 hari kerja. Pemangkasan waktu itu meliputi semua proses bisnis layanan sertifikasi halal yang dilakukan di BPJPH, LPH, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Lutfi juga menegaskan, sejumlah terobosan pada UU Cipta Kerja, termasuk self declare, sama sekali tidak menghilangkan substansi kehalalan produk. Di dalam proses sertifikasi halal, MUI juga tetap berperan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa halal.

BACA JUGA: TII Yakin UU Cipta Kerja Bisa Mengatasi Persoalan Ekonomi di Indonesia

Self declare atau pernyataan halal oleh pelaku UMK tersebut harus memenuhi kriteria yaitu menggunakan bahan baku no risk dan bahan pendukung yang sudah pasti kehalalannya. Selain itu, proses produksi yang sederhana yang dijalankan oleh pelaku usaha UMK juga harus memenuhi aspek kehalalan. 

Adapun sertifikasi halal bagi UMK dapat digratiskan melalui berbagai fasilitas pembiayaan, di antaranya APBN/APBD, pembiayaan alternatif untuk UMK, pembiayaan dari dana kemitraan, bantuan hibah pemerintah atau lembaga lain, dana bergulir dan tanggung jawab sosial perusahaan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa UU juga membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi peran serta masyarakat dalam penyelenggaran JPH melalui Ormas Islam. Di antaranya adalah untuk mendirikan LPH, penyiapan Auditor Halal, Penyelia Halal, sosialisasi dan edukasi mengenai JPH, pendampingan dalam proses produk halal, publikasi bahwa produk berada dalam pendampingan, pemasaran dalam jejaring ormas Islam berbadan hukum, serta pengawasan terhadap penyelenggaraan JPH.

"Seluruh komponen bangsa baik pemerintah, MUI, masyarakat/ormas Islam dan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, secara sinergis dapat membangun ekosistem jaminan produk halal di Indonesia sesuai peran dan fungsinya masing-masing," bebernya.(esy/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler