jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan mitigasi masyarakat adat yang terdampak pandemi Covid-19.
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Kemendikbudristek Sjamsul Hadi mengatakan mitigasi dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan pemetaan yang komprehensif mengenai dampak pandemi Covid-19 kepada masyarakat adat.
BACA JUGA: Program Bangkit Makin Diminati, Kemendikbudristek & Google Getol Lahirkan Startup
Laporan ini digali dari para pendamping dan anggota masyarakat adat di lapangan selama pandemi Covid-19.
"Masyarakat adat seringkali memiliki akses terbatas terhadap fasilitas kesehatan modern, seperti rumah sakit, klinik, dan puskesmas,” jelas Sjamsul Hadi dalam bincang ruang adat dan budaya secara virtual, Selasa (15/2).
BACA JUGA: Ultah, Babinsa Kopda Marthen Waromi Dapat Kado Istimewa dari Masyarakat Adat di Merauke
Terlebih, kata Sjamsul, masyarakat adat juga harus menghadapi tekanan ekologi, konflik lahan hingga kehilangan sumber daya utamanya.
Minimnya ketersediaan dan akses terhadap fasilitas dasar kesehatan, penyebarluasan disinformasi terkait pandemi, hingga distribusi vaksin yang tidak merata, makin menambah kerentanan masyarakat adat.
Namun, lanjutnya, di luar persoalan ketimpangan struktural, secara alamiah masyarakat adat telah memiliki sistem pertahanan sendiri dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.
“Laporan ini mencatat beberapa praktik isolasi, menjaga jarak, dan karantina wilayah yang bersumber dari pengetahuan lokal masyarakat adat,” kata Sjamsul.
Sementara, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan dalam strategi penanganan dampak pandemi terhadap masyarakat adat, sangat penting memerhatikan latar belakang (kekhususan/keragaman) di setiap wilayahnya.
Dia menekankan pentingnya mendokumentasikan pengetahuan dan praktik yang dilakukan masyarakat adat.
Hilmar menambahkan penanganan berbasis karakteristik khusus masyarakat adat ini akan mendorong penanganan pandemi yang lebih berkeadilan.
Terutama, bagi yang telah memiliki kerentanan sebelum pandemi Covid-19 untuk mendapatkan prioritas penanganan.
"Masyarakat adat yang masih tertutup dan telah memiliki sistem pengendalian internal kuat sebaiknya tidak diganggu oleh kedatangan orang luar yang justru akan merusak pertahanan alamiah mereka” jelas Hilmar.
Di sisi lain, lanjutnya, laporan merekomendasikan pentingnya pemetaan yang lebih sistematis dan berkala untuk memotret situasi masyarakat adat di Indonesia.
Pandemi Covid-19 ini menunjukkan pentingnya pendataan yang akurat sehingga bisa diambil langkah-langkah tepat sesuai situasi dan kebutuhan masyarakat adat yang beragam.
Masyarakat adat, katanya, dengan warisan turun temurun telah memiliki mekanisme dan bekal menghadapi pandemi.
Misalnya, dengan pengetahuan yang memastikan ketahanan pangan dan pengobatan tradisional.
Hilmar menjelaskan segala pengetahuan itu penting untuk dicatat dan didokumentasikan, seperti menghadapi situasi pandemi saat ini.
"Masyarakat adat harus menjadi bagian normal baru yang disusun berdasarkan praktik dan pengalaman konkret di akar rumput dan dihidupi oleh filosofi bahwa manusia merupakan bagian dari alam," pungkas Hilmar. (esy/jpnn)
Redaktur : Boy
Reporter : Mesya Mohamad