Kemenkes: Bedakan Sertifikasi Halal Mamin dan Farmasi

Kamis, 21 November 2013 – 21:35 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengingatkan untuk tidak menggabungkan aturan sertifikasi halal produk farmasi dengan produk makanan-minuman (mamin). Pasalnya, hingga kini belum ada negara yang menerapkan aturan sertifikasi halal dalam hal obat-obatan .

"Kemenkes berharap agar RUU Jaminan Produk Halal (JPH) ini tidak diterapkan dalam dunia farmasi. Karena di seluruh negara tidak ada yg menerapkan hal itu. Bahkan Arab sekalipun, masalah obat-obatan tidak masuk dalam sertifikasi halal mereka," tegas Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Maura Linda Sitanggang, dalam keterangannya kepada media, Kamis (21/11).

BACA JUGA: Agung, Priyo dan Ade, Diminta Siap-siap Gantikan Ical

Dia berharap pemerintah dan dewan memperhatikan hal itu dalam proses pembahasan RUU JPH. Linda menuturkan, Kemenkes sendiri memang pernah diajak untuk membahas rancangan undang-undang itu. Namun sudah sejak satu tahun ini Kemenkes tidak diikutsertakan.

"Sudah tidak pernah diajak lagi, karena tidak pernah ada dapat undangan. Tahun lalu kita masuk tim. Terakhir ikut panja sama DPR," ujar Linda.

BACA JUGA: Mudahkan Proses Perkara, Hapus P19 dan P21

Sebagai kementerian yang berhubungan dengan industri farmasi dan obat-obatan, dia berharap sertifikasi halal produk makanan dan obat dipisahkan.

"Harus dipisahkan antara penerapan halal di farmasi dengan penerapan halal pada makanan dan minuman," tegasnya.

BACA JUGA: JK: BI dan KSSK Harus Jelaskan Soal Century

Sebelumnya anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Demokrat Muhammad Baghowi, meminta pengesahan RUU JPH ditunda dahulu alias tidak dipaksakan.

Menurut dia, ada lebih banyak masalah jika RUU ini disahkan.  "Ada potensi persaingan usaha. Misalkan ada dua pengusaha, yang satu dijamin halal dan satu lagi diragukan (kehalalannya). Nanti yang halal itu akan menggugat dan yang diragukan akan berdampak pada produksinya," kata dia.
 
Selain itu, Baghowi juga memaparkan jika masa berlaku sertifikasi halal adalah tiga tahun, dan harus mulai mengurus perpanjangan sejak enam bulan sebelum masa berlakunya habis.

"Jadi dalam lima tahun, pengusaha harus dua kali megurus, sekali mengurus biayanya adalah Rp 6 juta. Berarti Rp 12 juta dalam lima tahun. Kemudian dikalikan 40 juta pengusaha," tambah dia.

DPR mengakui, data yang didapat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), masih banyak terdapat obat dan kosmetik yang mengandung turunan babi. "Jika ini dipaksakan, maka akan ada potensi produksi dalam negeri yang menjadi rapuh. Pengusaha harus melakukan penambahan anggaran agar produknya terjamin halal, dan kemudian dinilai layak dinikmati masyarakat," tandasnya. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Istana Merasa Belum Perlu Minta Penjelasan Amerika


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler