jpnn.com, JAKARTA - Berbagai isu kesehatan mengemuka di masyarakat menjelang Natal dan Tahun Baru 2024 (Nataru) mendatang dan menjadi perhatian Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes).
Salah satunya, tentang penanggulangan nyamuk Demam Berdarah Dengue (DBD) dan naiknya kasus Covid-19 di sejumlah negara termasuk Indonesia.
BACA JUGA: Program Penyebaran Nyamuk Wolbachia Bikin Resah, Bappenas Lakukan Ini
"Soal DBD tentu saja terkait dengan nyamuk ber-Wolbachia, dan Covid-19 tentang adanya peningkatan kasus," ungkap Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementrian Kesehatan RI dr. Imran Pambudi MPHM, dalam Bincang Ngobras Kemenkes, Selasa (19/12).
Imran menjelaskan kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia tepatnya Jakarta dan Surabaya pada 1968. Saat itu, tingkat kematian sangat tinggi karena belum diketahui penyakitnya. Namun, seiring waktu tingkat kematian akibat DBD makin menurun, tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi.
BACA JUGA: Seorang Santri Diduga Dibakar Temannya Sendiri di Palembang, Yayasan Klaim karena Obat Nyamuk
"Tahun ini (2023) merupakan siklus 5 tahunan DBD. Setiap lima tahun ada lonjakan kasus dengue, berkaitan dengan fenomena El Nino. Sejak kami mendapat info dari BMKG mengenai El Nino kami langsung melakukan mitigasi untuk pencegahan DBD, dan hasilnya cukup memuaskan,” sambungnya.
Hal ini terlihat dari penurunan kasus dengue dibandingkan tahun lalu. Pada 2022, tercatat ada 143 ribu kasus dan 1.236 kematian, sedangkan tahun ini hanya terjadi 85.900 kasus dan 683 kematian.
BACA JUGA: Kasus DBD Makin Tinggi, Kemenko PMK, Godrej & KlikDokter Tancap Gas
Secara garis besar, intervensi untuk menekan dengue ada tiga, yaitu lingkungan, vektor (nyamuk), dan manusia.
Intervensi pada lingkungan, misalnya dengan pemberantasan sarang nyamuk. Intervensi kepada manusia misalnya dengan vaksinasi dan memakai baju lengan panjang di daerah endemis dengue.
Adapun intervensi pada vektor misalnya menggunakan zat kimia seperti abate untuk larvasida, dan fogging atau obat semprot sebagai insektisida.
“Intervensi vektor yang ketiga yaitu dengan teknologi nyamuk ber-Wolbachia karena telah terbukti bahwa penyebaran nyamuk A. aegypti ber-Wolbachia memberikan dampak positif bagi penurunan kasus dengue,” terang Imran.
Dia menjelaskan pilot project nyamuk ber-Wolbachia dilakukan di Yogyakarta. Hal ini ditempuh sebelum melakukan penelitian tersebut dalam skala besar.
"Kami melakukan pengkajian selama enam bulan yang melibatkan 20 ahli dari berbagai bidang termasuk di antaranya bidang virologi, mikrobiologi, ahli serangga, ahli biodiversitas, dokter anak, psikologi, hingga ilmu sosial,” jelas Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat & Keperawatan UGM dr. Riris Andono Ahmad, MD., MPH, Ph.D.
Berdasarkan literature review dan kajian lain, disimpulkan bahwa kemungkinan risiko yang bisa terjadi adalah paling rendah, yang biasa ditemukan sehari-hari dan bisa diabaikan, apalagi nyamuk ber-Wolbachia bukanlah rekayasa genetika.
“Untuk menyangkal hal ini, bisa merujuk dari berbagai website resmi. Misalnya CDC, mereka secara tegas menyatakan bahwa nyamuk ini bukanlah nyamuk rekayasa genetika. EPA juga menjelaskan dengan tegas bahwa pada nyamuk, ada dua macam teknologi: nyamuk yang diinfeksi dan genetic-modified mosquito,” jelas Doni, sapaan akrabnya.
Wolbachia adalah bakteri alami yang biasa hidup dalam tubuh serangga, tidak mengubah karakter nyamuk dan juga tidak merusak lingkungan. Tidak terbukti bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia meningkatkan populasi nyamuk cullex.
Sebaliknya, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Yogyakarta terbukti menurunkan insiden dengue 77% dan menurunkan kejadian rawat inap di RS hingga 86%. Rerata angka dengue nasional pun menurun drastis dibandingkan 30 tahun lalu.
“Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Setelah pelepasan nyamuk ber-Wolbachia, fogging turun hingga 85%, tentunya ini sangat menggembirakan karena anggaran fogging bisa dialokasikan ke pengendalian penyakit lain,” ujar dr. Doni.
Disayangkan, masih ada kekhawatiran pada sebagian masyarakat mengenai nyamuk ber-Wolbachia. Terkait hal ini, Prof. Dr. Ede Surya Darmawan, S.K.M., M.D.M, dosen FKM UI dan Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menegaskan, keputusan yang diambil oleh pembuat kebijakan haruslah berdasarkan data dan bukti ilmiah, bukan opini.
"Berbagai penelitian yang membuktikan manfaat dan keamanan nyamuk ber-Wolbachia selayaknya dijadikan landasan untuk melanjutkan pilot project ini ke kota-kota berikutnya," tegasnya.
Terkait tren peningkatan kasus Covid-19, hal ini ditemukan secara tidak sengaja pada mereka yang hendak menjalani tindakan medis.
"Ternyata ditemukan covid pada 18 Desember. Tercatat ada dua kematian akibat Covid-19 mereka dalam kondisi komorbid,” ungkap dr. Imran.
Dia menambahkan angka kejadian dan kematian akan meningkat bila terjadi mutasi virus, seperti saat pandemi lalu.
Masyarakat tetap diminta waspada dan menjaga diri selama masa liburan Nataru, juga protokol kesehatan yang dahulu digencarkan, seperti mencuci tangan dengan sabun dan melakukan etika bersin yang baik, tetap perlu dilanjutkan.
“Kalau sakit sebaiknya jangan bepergian. Bila tetap pergi, pakailah masker. Sebisa mungkin jangan menyebarkan penyakit kepada orang lain,” pungkasnya.(esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad