jpnn.com, JAKARTA - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan pemerintah bakal melakukan reformasi subsidi energi pada waktu yang tepat.
Kepala BKF Kemenkeu Febrio Kacaribu menyebut pemerintah mempertimbangkan daya beli masyarakat.
BACA JUGA: MMSGI Masuk Task Force Perumusan Kebijakan Transisi Energi B20
"Agenda reformasi baik elpiji maupun listrik sekarang harus diperhatikan timing-nya, terutama dalam kondisi perekonomian dan harga komoditas yang tinggi. Menjaga momentum pertumbuhan ekonomi," kata Febrio saat menjadi pembicara kunci dalam webinar Reformasi Subsidi Bahan Bakar Fosil di G20: Bagaimana Mencapai Pemulihan Pasca Pandemi? yang digelar Katadata dan IISD pada Rabu (16/3).
Febrio menyebutkan reformasi kebijakan subsidi energi akan dilakukan secara bertahap.
BACA JUGA: Subsidi LPG Terus Membangkak, Diversifikasi Energi Harus Jadi Prioritas
Pemerintah berharap pada 2023 subsidi listrik dan elpiji bisa diintegrasikan dengan program yang bersifat lebih tertutup, seperti kartu sembako dan program bantuan sosial lain.
"Diharapkan subsidi energi listrik dan gas dapat lebih tepat menyasar 40 persen masyarakat termiskin," ucapnya.
BACA JUGA: Menko PMK Mantapkan Penyaluran Bansos dan Subsidi Energi
Menurutnya, selain mereformasi subsidi listrik, pemerintah juga akan memberlakukan automatic tariff adjustment.
Namun, dilakukan hanya akan dilakukan untuk pelanggan yang sudah tidak disubsidi sejak 2017.
"Ini mengakibatkan beban kompensasi yang menyebabkan terdapat selisih antara tarif yang dibayarkan pelanggan nonsubsidi dengan tarif keekonomian listrik. Ini memang akan memberatkan," katanya.
Febrio menambahkan Indonesia pernah melakukan subsidi energi pada 2015.
Kebijakan itu, lanjut dia, mampu menurunkan anggaran subsidi energi dari Rp 341 triliun menjadi Rp 119 triliun pada 2014.
"Menghemat anggaran subsidi hingga 65 persen dalam satu tahun," ucapnya.
Pada 2017 pemerintah melakukan reformasi subsidi energi, yakni listrik sehingga hanya pelanggan rumah tangga 900 VA yang listriknya disubsidi oleh pemerintah atau 40 persen dari masyarakat termiskin yang terdaftar dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).
"Penghematan tersebut pun memungkinkan pemerintah membelanjakan lebih banyak untuk infrastruktur dan bantuan sosial, serta menambah anggaran untuk kesehatan dan pendidikan," tegas Febrio. (mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia