jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyampaikan strategi Indonesia untuk menjadi hub penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage atau CCS).
Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi mengatakan Indonesia berdiri di garis depan era industri hijau dengan potensi kapasitas penyimpanan CO2 yang mencapai 400 hingga 600 gigaton di depleted reservoir dan saline aquifer.
BACA JUGA: Proyek Kolaborasi Pertamina-ExxonMobil Memungkinkan RI jadi Pusat CCS di Asia Tenggara
Menurutnya, potensi ini memungkinkan penyimpanan emisi CO2 nasional selama 322 hingga 482 tahun dengan perkiraan puncak emisi 1.2 gigaton CO2-ekuivalen pada 2030 mendatang.
"Dalam upaya mencapai Net Zero Emission (bebas emisi) pada 2060, Indonesia berambisi mengembangkan teknologi CCS dan membentuk hub CCS. Inisiatif ini tidak hanya akan menampung CO2 domestik, tetapi juga menggali kerja sama internasional," kata Jodi Mahardi dalam keterangannya yang diterima, Sabtu (23/12).
BACA JUGA: Di COP-28 di UEA, Pertamina Nyatakan Siap jadi Pemain Utama Penyimpan Karbon Indonesia
Joni Mahardi menyebut hub CCS menandakan era baru bagi Indonesia, di mana CCS diakui sebagai 'license to invest' untuk industri rendah karbon, seperti blue ammonia, blue hydrogen, dan advanced petrochemical.
Dia menilai pendekatan ini akan menjadi terobosan bagi perekonomian Indonesia, dengan membuka peluang industri baru dan menciptakan pasar global untuk produk-produk rendah karbon.
BACA JUGA: Pertamina-Exxon Jajaki Kerja Sama Pengembangan Pusat Penangkapan dan Penyimpangan Karbon
Meski demikian, CCS memerlukan investasi besar.
Sebagai bentuk keseriusan, Pemerintah Indonesia telah meneken nota kesepahaman atau MoU dengan ExxonMobil yang mencakup investasi USD 15 miliar dalam industri bebas emisi CO2.
Sebagai perbandingan, proyek CCS Quest di Kanada membutuhkan USD 1,35 miliar untuk kapasitas 1,2 juta ton CO2 per tahun.
Data ini menyoroti pentingnya alokasi penyimpanan CO2 internasional dalam memfasilitasi investasi awal yang besar untuk proyek CCS.
Menurut Jodi, negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Timor Leste, dan Australia juga bersaing berupaya menjadi pusat CCS regional.
Karena itu, penting bagi Indonesia untuk memanfaatkan kesempatan ini sebagai pusat strategis dan geopolitik.
"Inisiatif ini diharapkan tidak hanya membantu Indonesia dalam mencapai tujuan lingkungan global, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inovatif," ujarnya.
Sebagai pelopor di ASEAN dalam penerapan regulasi CCS, dan berperingkat pertama di Asia menurut Global CCS Institute, Indonesia telah membangun fondasi hukum yang kuat.
Regulasi ini termasuk Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2023 tentang CCS di industri hulu migas, dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon, dan Peraturan Otorita Jasa Keuangan (OJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang perdagangan karbon melalui IDXCarbon.
"Kita juga menuju penyelesaian Peraturan Presiden yang akan lebih memperkuat regulasi CCS," imbuhnya. (mrk/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi