jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan disebut terus berupaya agar teknologi digital khususnya internet bisa diakses dan lebih ramah dengan kaum disabilitas.
Hal ini dibahas dalam Lokakarya Series 2 tentang Transformasi Strategis Untuk Meningkatkan Aksesibilitas Digital Dan Partisipasi Pengguna Internet Kelompok Penyandang Disabilitas Melalui Kolaborasi Pentahelix, di Kantor Kemenko PMK, Selasa (23/5).
BACA JUGA: Gandeng Kemenko PMK, Pandi Institute Gelar Cybertalk, Wujudkan Indonesia Emas 2024
Asisten Deputi Pemberdayaan Disabilitas dan Lanjut Usia Kemenko PMK Ricky Radius Siregar menyebutkan bahwa data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan hanya sekitar 5 persen situs web bisnis di Indonesia yang ramah disabilitas.
Dari 5 persen tersebut, hanya sedikit yang memenuhi standar aksesibilitas web internasional.
BACA JUGA: Kemenko PMK: ASN, TNI, Polri, dan Pegawai BUMN Tidak Dilarang Ambil Cuti Nataru
“Hasil survei Kementerian Sosial pada 2020 menunjukkan bahwa hanya sekitar 40 persen penyandang disabilitas di Indonesia yang memiliki akses ke informasi tentang hak-hak mereka,” ucap Ricky dalam lokakarya tersebut.
Dia melanjutkan hanya sekitar 30 persen yang memperoleh informasi program-program perlindungan sosial yang tersedia bagi kaum disabilitas.
Menurut Ricky, dibutuhkan suatu pembangunan yang sifatnya berkelanjutan dan inklusif agar kelompok disabilitas dapat keluar dari kemiskinan atau hampir miskin.
Pemberdayaan bisa dilakukan dengan beberapa cara, pelatihan, pendidikan, dan memberikan akses yang sama untuk layanan informasi publik.
“Dengan adanya web yang ramah disabilitas agar mereka bisa mengakses informasi lebih mandiri,” jelasnya.
Di lokasi yang sama, Ketua Bidang Multimedia Teknologi Informasi Persatuan Wartawan Indonesia Auri Jaya menuturkan bahwa secara aturan dan regulasi mengenai disabilitas Indonesia dapat dikatakan cukup baik.
Namun, dalam penerapannya justru sedikit tertinggal dari negara lain. Dia membandingkan dengan Jerman yang telah memberikan pelajaran mengenai bahasa isyarat sejak para siswa duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK).
“Ketika mereka belajar membaca, menggambar, mereka juga belajar bahasa isyarat. Meraka diajarkan bagaimana berkomunikasi dengan kaum disabilitas,” ujar Auri.
Pembejalaran itu membuat masyarakat normal tetap bisa berkomunikasi dengan kaum disabilitas. Hal tersebut juga menjadikan kaum disabilitas tak hanya berkomunikasi dengan sesamanya.
“Ketika era digital semua kegiatan ke depannya bergantung dengan software atau digital. Ini perlu bahwa jangan sampai masyarakat disabel terintimidasi dengan perkembangan digital,” tuturnya.
Auri mendorong agar Kemenko PMK segera berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan untuk memasukkan pengajaran terhadap kaum disabilitas di sekolah biasa lebih masif.
Walaupun sudah ada Sekolah Luar Biasa (SLB), kaum disabilitas juga harus tetap bisa bersekolah di sekolah biasa.
“Orang yang mengajarkan di indonesia juga masih terbatas karena tak banyak orang yang mengajarkan.Infrastruktur di indonesia juga saya kira belum terlalu ramah disabilitas,” tambah Auri. (mcr4/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi