jpnn.com, JAKARTA - Kemenkop UKM melalui Deputi Bidang Pengawasan menekankan pentingnya penguatan pengawasan koperasi, untuk membangun kepercayaan masyarakat dan kepercayaan diri koperasi dalam menjalankan usaha.
Demikian dikatakan Deputi Bidang Pengawasan Kemenkop UKM Ahmad Zabadi di Jakarta, Senin (20/7).
BACA JUGA: Salurkan Subsidi Bunga KUR, Kemenkop UKM dan BRI Bersinergi Bangkitkan UMKM
Ia mengatakan, salah satu yang dilakukan ke depan adalah, pertama, dukungan regulasi. Dukungan ini berupa RUU Perkoperasian dan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) di mana Kemkop UKM memberikan tiga usulan penambahan rumusan RUU Cipta Kerja yaitu pengaturan sistem pengawasan koperasi, penetapan lembaga penjamin simpanan anggota koperasi, dan penetapan adanya sanksi pidana dan denda.
Kedua, pelaksanaan pengawasan dengan standar yang sama, terintegrasi, dan digitalisasi, melalui regrouping eksisting regulasi terkait kelembagaan dan usaha koperasi berbasis potensi risiko (Buku I, II, III, IV), Good Corporate Governance, dan kinerja.
BACA JUGA: Kemenkop dan UKM Menginisiasi Pembentukan Pusat Informasi Pemulihan Ekonomi KUMKM
Ketiga, percepatan pengisian jabatan fungsional pengawas koperasi provinsi/ kabupaten/kota. Keempat, penguatan kerja sama dengan otoritas pengawas lain seperti Ombudsman, BI, PPATK, OJK, KPPU, dan POLRI.
Menurut Ahmad Zabadi, hal seperti di atas telah disampaikannya dalam diskusi Webiner dalam rangka selebrasi Hari ke-73 Koperasi Nasional, yang diselenggarakan Deputi Bidang Pengawasan dengan tema
BACA JUGA: Terbongkar Investasi Ilegal Omzet Rp 750 Miliar, Diduga Banyak Korban Belum Lapor Polisi
“Penguatan Pengawasan Koperasi melalui Koordinasi dengan OJK dan Bareskrim Polri,” pada 16 Juli 2020 lalu.
Webiner itu diikuti sebanyak 443 peserta yang berasal dari unsur aparatur pembina perkoperasian, para Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi, Satuan Tugas (Satgas) Pengawas Koperasi, dan Petugas Penyuluh Koperasi Lapangan (PPKL) tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota se-Indonesia.
Webinar dilaksanakan secara panel, dengan dengan menampilkan pembicara yakni Dr. Tongam L. Tobing, S.H., LL.M, Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI); dan Kombes Pol Drs. T. Widodo Rahino, S.H., M.H., M.Si., Kasubdit V IKNB Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus.
Beberapa hal penting yang disampaikan oleh Tongam L. Tobing, yakni, pertama, data entitias ilegal tahun 2017-2020 bahwa terdapat 158 fintech yang telah terdaftar di OJK dan semuanya tidak ada yang berbadan hukum koperasi, sehingga apabila terdapat koperasi yang melakukan fintech, maka hal tersebut adalah ilegal.
Kedua, bahwa beberapa tahun belakangan jumlah lembaga keuangan ilegal berbasis digital mengalami tren perkembangan, dengan perkiraan total kerugian masyarakat dari tahun 2009 hingga 2019 mencapai angka Rp 92 Triliun. Kerugian masyarakat tersebut tidak di-cover oleh aset yang disita dalam rangka pengembalian dana masyarakat.
Ketiga, maraknya investasi ilegal disebabkan banyaknya permintaan masyarakat akan jasa keuangan yang diikuti dengan rendahnya pengetahuan masyarakat akan investasi ilegal, penawaran bunga tinggi, dan penggunaan tokoh agama, tokoh masyarakat serta selebriti sebagai media propaganda agar masyarakat bergabung dalam investasi tersebut.
Keempat, modus penipuan berkedok koperasi memiliki ciri sebagai berikut, pertama, penawaran melalui berbagai media seperti SMS (link atau nomor telepon), situs, media sosial, Google Play Store, atau Apps Store. Kedua, menggunakan nama “KSP” atau “koperasi”, namun tidak memiliki pengesahan Badan Hukum dan/atau izin usaha dari kementerian yang berwenang.
Ketiga, pencatutan nama koperasi berizin dan/atau terkenal sehingga menimbulkan rasa percaya. Keempat, menyatakan “Sudah Terdaftar atau Diawasi”, seakan-akan sudah dalam pengawasan instansi berwenang.
Kelima, menggunakan logo koperasi Indonesia atau Kementerian Koperasi dan UKM, seakan-akan benar-benar berbentuk koperasi atau berkaitan dengan kementerian. Keenam, berbadan hukum, tapi kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip koperasi.
Ahmad Zabadi mengatakan, dalam rangka menanggulangi praktik investasi ilegal, pemerintah membentuk SWI yang beranggotakan tiga belas Kementerian dan Lembaga. Cakupan kerja SWI meliputi fungsi pencegahan (edukasi, pemantauan kegiatan investasi ilegal, dan koordinasi antar anggota) dan penanganan (penghentian aktivitas entitas investasi ilegal, publikasi melalui Siaran Pers, pemblokiran situs dan aplikasi, dan penyampaian laporan informasi untuk proses penegakan hukum).
Ia mengatakan, literasi masyarakat merupakan kunci pemberantasan praktik investasi ilegal. Kewaspadaan masyarakat didorong melalui kampanye Check 2 L: Legal dan Logis, dimana masyarakat didorong untuk memahami risiko sebelum menggunakan layanan suatu lembaga keuangan.
Tongam L. Tobing juga menekankan perlu adanya database tentang tingkat literasi dan inklusi masyarakat terhadap koperasi. Keberadaan database dimaksudkan sebagai bahan penyusunan strategi kebijakan.
Penjelasan Kasubdit V (IKNB) Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus itu terkait perkembangan kejahatan bermodus koperasi antara lain, pertama, tidak adanya sanksi hukum pada regulasi koperasi digunakan oleh oknum untuk mencatut nama koperasi dan melakukan tindak pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat, seperti penghimpunan dana, penipuan/penggelapan, dll.
Kedua, kepolisian menggunakan regulasi lain untuk menjerat oknum yang melakukan modus kejahatan koperasi sebagai berikut (a) menghimpun dana dari masyarakat yang bukan anggota koperasi dengan membuat produk koperasi yang menyerupai produk perbankan dengan janji memberikan keuntungan yang besar (UU Perbankan); (b) memberikan iming-iming/janji palsu untuk melakukan penipuan dengan maksud mendapatkan keuntungan yang besar (UU Pidana Umum). (c) menggelapkan aset koperasi/anggota/masyarakat (UU Pidana Umum); dan (d) tindak pidana pencucian uang (placement, layering, integration) yang menggunakan UU TPPU.
Ketiga, meski pelaku modus kejahatan koperasi kebanyakan adalah pengurus koperasi/orang/individu, kepolisian juga menarget badan usaha/korporasi, sebagai salah satu upaya mengembalikan kerugian masyarakat. Hal ini nampak pada penanganan kasus Koperasi Hanson Mitra Mandiri dan KSP Indosurya Cipta.
Keempat, sebagai tindak lanjut, perhatian dan kesepakatan terkait tindak kejahatan bermodus koperasi yang telah terpetakan di pusat akan disampaikan kepada jajaran kepolisian di daerah, sehingga terdapat keseragaman pemahaman tentang pengawasan koperasi dan terjalin kerja sama pencegahan (pengawasan bersama secara dini untuk mendeteksi potensi permasalahan) dan penanganan yang efektif antara kepolisian dengan dinas di daerah.
Tongam L. Tobing mengatakan, penanganan penipuan berkedok koperasi di daerah untuk diupayakan secara kolaboratif, dimana pemerintah pusat memberikan asistensi apabila diperlukan.
Daerah, kata dia, harus didorong untuk bertindak secara cepat dan tegas terhadap praktik penipuan berkedok koperasi guna menghindari meluasnya permasalahan dan semakin besarnya kerugian masyarakat.
Ia mengatakan, SWI mendorong daerah mengambil langkah-langkah: mendatangi atau mengundang koperasi/oknum untuk mendapatkan klarifikasi (shock therapy); melakukan penghentian operasional; dan
melakukan tindakan represif berupa pelaporan kepada kepolisian atas tindakan melanggar hukum sehingga menimbulkan efek jera.
Terlepas dari UU Nomor 23 Tahun 2014 yang membagi kewenangan pembinaan dan pengawasan koperasi, kata dia, penghentian operasional entitas merupakan hak dinas setempat guna melindungi masyarakat. Meski demikian, tindakan administasi selanjutnya diserahkan kepada instansi pembina sesuai dengan amanat regulasi yang berlaku.
Dikatakan, pemerintah daerah melalui dinas terkait, para Pejabat Fungsional Pengawas Koperasi, satgas Pengawas Koperasi, PPKL, dan koperasi diharapkan secara aktif memberikan edukasi yang berkesinambungan kepada masyarakat guna membanguan kewaspadaan.(ikl/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi