jpnn.com, JAKARTA - Widyaiswara Utama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dr Nasrudin menyatakan bahwa Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker merupakan solusi bagi permasalahan ketenagakerjaan dan lapangan kerja di Indonesia.
Nasrudin menjelaskan ide membentuk UU Ciptaker ialah karena persoalan ketenagakerjaan Indonesia.
BACA JUGA: Sejumlah Kepala Daerah Siap Membentuk Tim Sosialisasi UU Cipta Kerja
Dia menyatakan penduduk usia kerja di Indonesia cukup banyak yakni hampir 197 juta jiwa.
Angkatan kerja 133 juta jiwa. Bukan angkatan kerja 64 juta jiwa.
BACA JUGA: Penolakan Terhadap UU Cipta Kerja Belum Berhenti, Bamsoet Sarankan Hal Ini
"Nah dengan banyaknya penduduk angkatan kerja ini, maka ini akan membutuhkan berbagai macam lapangan kerja. Undang-undang tentang Cipta Kerja inilah sebagai solusinya," kata Nasrudin dalam jumpa pers virtual "Transparansi Pembahasan UU Cipta Kerja", Jumat (16/10).
Ia menjelaskan, salah satu solusinya adalah memberikan berbagai kemudahan untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sehingga bisa bertumbuh kembang dengan baik dan menyerap atau membuka lapangan kerja cukup banyak.
BACA JUGA: Survei: Hanya 31 Persen Publik Tahu UU Cipta Kerja, Hampir Semua Mendukung
Selain itu, Nasrudin menegaskan UU Ciptaker ini juga dibentuk sebagai upaya bagaimana caranya mengundang investor baik dari dalam maupun luar negeri.
Menurutnya, saat ini banyak investor luar negeri yang enggan untuk menanamkan investasinya di Indonesia karena berbagai macam kendala, terutama persoalan perizinan yang sangat sulit untuk mendirikan usaha.
Nah, ia menegaskan, dengan UU Ciptaker ini, pemerintah berupaya untuk mempermudah perizinan-perizinan berusaha, sehingga dapat menarik investor dari luar dan dalam negeri untuk berinvestasi di Indonesia.
Dengan banyaknya investasi di Indonesia, lanjut Nasrudin, para investor akan mendirikan berbagai macam usaha yang dapat menyerap tenaga kerja cukup banyak.
Menurut Nasrudin, keengganan investor asing berinvestasi di Indonesia dibuktikan dengan pengalaman beberapa bulan lalu.
Dia menjelaskan, saat terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok, banyak perusahaan di Negeri Tirai Bambu itu merelokasi perusahaannya keluar dari Tiongkok.
"Waktu itu, ada sebanyak 33 perusahaan besar Tiongkok merelokasikan perusahaannya keluar dari Tiongkok. Sasaran mereka adalah negara-negara ASEAN," jelas Nasrudin.
Namun, kata Nasrudin, dari 33 perusahaan itu, tidak satu pun yang mau menginvestasikan usahanya di Indonesia.
Mereka kebanyakan lari ke Vietnam, Malaysia, Thailand, serta negara-negara ASEAN lainnya.
"Nah, ini menimbulkan pertanyaan, kenapa mereka tidak mau menginvestasikannya di Indonesia? Ternyata keluhan mereka adalah sama, karena sulitnya mengurus perizinan di Indonesia dan sulitnya untuk mengadakan tanah dan segala macam," paparnya.
Nah, Nasrudin mengatakan berbagai kesulitan inilah yang diatasi di dalam UU Ciptaker, dengan memangkas berbagai macam birokrasi-birokrasi perizinan berusaha.
Menurut Nasrudin, izin-izin yang selama ini ada di sektor-sektor dilebur menjadi satu nomenklatur menjadi perizinan berusaha.
Dengan demikian, UU Ciptaker ini akan memudahkan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Menurutnya, berbagai macam regulasi selama ini membuat perizinan itu saling mengunci.
Sebab, UU yang ada di Indonesia ini saling berkaitan satu sama lain.
Misalnya, untuk perizinan bidang pertambangan, izinnya tidak hanya terkait tambang.
Namun, kata dia, ada juga yang berkaitan dengan UU kehutanan maupun sumber daya air.
"Sehingga kalau hanya mengubah satu UU, ini tidak memberikan dampak yang signifikan dalam rangka memberikan kemudahan berusaha. Sehingga harus secara serentak UU itu diubah," ujar Nasrudin.
Nasrudin menjelaskan inilah yang menjadi alasan kenapa di dalam UU Ciptaker itu diubah sekitar 75 UU sekaligus.
"Supaya sinkron berbagai macam perizinan berusaha," katanya. (boy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Boy