jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura memiliki program Kampung Hortikultura yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing hortikultura.
Kampung Hortikultura ini salah satunya adalah kampung buah. Program ini merupakan arah kebijakan hortikultura dan diharapkan bisa menjadi legacy Direktorat Jenderal Hortikultura untuk pertanian Indonesia, sesuai dengan arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
BACA JUGA: Keren! Porang Madiun Idola Pasar Ekspor Jepang
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto mengatakan bahwa program kampung buah harus terus dikawal agar berhasil dan tepat sasaran. Salah satu strateginya adalah dengan mengadakan bimbingan teknis (bimtek) untuk para penggiat pertanian hortikultura dan penyuluh pertanian.
Dari sekian banyak jenis buah yang ada di Indonesia, konsumsi dan produksi pisang masih jadi tertinggi. Volume ekspor pisang pun menduduki posisi kedua tertinggi setelah manggis dengan angka 5.500 ton per Mei 2021.
BACA JUGA: Bea Cukai Menjalin Sinergi Mendorong Ekspor DaerahÂ
Melihat potensi ini, Direktur Buah dan Florikuktura Liferdi Lukman menyatakan pada 2021 dikembangkan Kampung Pisang di 56 titik dari Aceh hingga Halmahera.
Ada setidaknya 3 (tiga) jenis pisang yang dikembangkan, yakni pisang kepok, pisang cavendish, dan pisang mas kirana. Hasil produksi pisang kepok akan dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan domestik konsumsi segar dan diversifikasi pangan, sementara pisang cavendish dan mas kirana untuk kebutuhan ekspor.
BACA JUGA: Pengakuan Pengusaha soal Potensi Ekspor Bawang Merah TSS, Mengejutkan
“Dari 56 titik tersebut, ada 5 titik lokasi yang akan dikembangkan khusus untuk kawasan pisang kepok. Ini ditujukan untuk mendukung diversifikasi pangan,” ujar Liferdi saat membuka bimtek daring bertajuk Teknologi Budidaya Pisang untuk Memenuhi Standar Ekspor, Rabu (28/7) via Zoom Meeting dan YouTube Live.
Global GAP kunci utama hasilkan pisang kualitas ekspor
Dalam hal ekspor, pisang lokal masih menjumpai kesulitan untuk bersaing di pasar luar negeri. Associate Director PT GGP, Supriyono Loekito membeberkan beberapa kesulitan utama pisang lokal untuk bersaing.
Dia memerinci kesulitan itu seperti produktivitas rendah namun biaya produksi tinggi, kualitas produk tidak konsisten, produk tidak bisa dilacak catatan perlakuannya, dan tidak memiliki sertifikasi mutu untuk pasar internasional. Selain itu, ada 1 (satu) hambatan lain yang tidak bisa dihindarkan, yakni adanya diskriminasi pengenaan tarif produk Indonesia di negara tujuan ekspor.
“Kendala lain yang di luar kemampuan kita adalah diskriminasi pengenaan tarif terhadap produk Indonesia dari negara-negara tujuan ekspor kita. Bisa kita lihat perbedaan tarifnya. Di Jepang, pisang kita ini dikenakan tarif ekspor 10 persen, sementara Filipina tidak dikenakan tarif apapun,” jelas Supriyono.
Supriyono menambahkan, untuk bisa melakukan ekspor, perlu adanya sertifikasi karena produk yang dikirim harus yang berkualitas terbaik dan dalam kondisi sempurna. Tidak boleh ada yang busuk atau cacat. Kemudian, dibutuhkan juga phytosanitary certificate yang dikeluarkan oleh pihak karantina.
Kualitas dan kondisi produk pisang yang baik untuk ekspor, tidak lepas dari peran penerapan Global Good Agriculture Practice (GAP) for Banana Production. Ada 6 (enam) poin Global GAP yang perlu diperhatikan, yaitu proses produksi menerapkan higienitas yang baik, bebas residu pestisida, menerapkan sistem traceability, menjamin keamanan dan kesejahteraan pekerja, produksi ramah lingkungan, dan menerapkan sistem dalam mengatur produk GMO.
Selain menerapkan Global GAP for Banana Production, lokasi dan teknologi budidaya juga sangat mempengaruhi kualitas pisang untuk ekspor. Supriyanto memaparkan bahwa semakin tinggi lokasi budidaya, semakin enak dan manis rasa pisang yang dihasilkan. Dampaknya, harga jualnya pun juga bisa lebih tinggi.
“Semakin tinggi tempat budidaya, rasanya lebih enak dan lebih manis. Harganya juga bisa lebih tinggi, terutama di Jepang,” ujarnya.
Dari sisi teknologi budidaya, hal pertama dan yang paling utama dari budidaya pisang adalah bibit. Supriyanto menyatakan bahwa harus menggunakan bibit yang benar-benar bagus dan diharapkan dari Meristem Tissue Culture (MTC). Setelah itu, dapat mulai dilakukan proses produksi pisang secara umum mulai dari penyiapan lahan; penanaman secara manual 2.000-3.000 tanaman per ha; perawatan tanaman; perawatan buah seperti bud injection, bagging, penyangga dan penandaan; pemanenan sesuai spesifikasi packing; hingga packing untuk melindungi buah dari kebun ke pasar.
Kampung Pisang Tingkatkan Kesejahteraan Petani
Salah satu tujuan adanya kampung buah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui korporasi petani. Wakil Ketua Koperasi Tani Hijau Makmur Tanggamus, Sigit Wicaksono mengatakan bahwa sistem korporasi petani ini memudahkan kelompok tani untuk memasarkan produknya, sehingga pendapatan pun meningkat dan jauh lebih stabil.
Koperasi Tani Hijau Makmur sebagai korporasi petani ini sendiri dibentuk atas saran dari PT GGP yang juga merupakan mitra mereka. Korporasi petani ditujukan untuk menaungi proses produksi hingga pemasaran dari para kelompok tani pisang mas di Tanggamus.
“Kemitraan dengan perusahaan dalam hal ini GGP sebagai offtaker memudahkan kami untuk memasarkan produk, sehingga kami bisa lebih fokus meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi. Bentuk kerja sama kami adalah Creating Shared Value (CSV). Jadi, kami dapat fasilitas produksi, bimbingan dan pendampingan, serta pemasaran,” terang Sigit.
Pisang mas hasil produksi Koperasi Tani Hijau Makmur dialokasikan 60 persen untuk kebutuhan lokal dan 40 persen untuk ekspor. Volume ekspor ini sedang berkurang dikarenakan sempat ada cuaca panas yang panjang pada 2019 dan diharapkan kembali naik di semester 2 tahun 2021 ini dengan komoditas tambahan, yakni pisang cavendish dan pisang barangan. (jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robia