jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian bereaksi cepat mencari lahan alternatif untuk mengatasi semakin berkurangnya areal sawah produktif di tengah upaya keras menggenjot peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai menuju swasembada pangan. Pilihan jitu itu adalah pemanfaatan lahan rawa (pasang surut dan lebak) yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal.
Pusat Data Informasi Daerah Rawa dan Pesisir mencatat lahan yang tersebar di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua memiliki luasan mencapai 33.393.570 hektare.
BACA JUGA: Optimalisasi Lahan Rawa Bisa Entaskan Kemiskinan
Angka itu terdiri dari lahan pasang surut seluas 20.096.800 hektare dan 13.296.770 hektare lahan rawa non pasang surut (lebak).
Sementara itu, menurut catatan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) luasan lahan rawa mencapai 6,4 juta hektare.
BACA JUGA: Lahan Rawa Lebak Berpotensi Jadi Lumbung Pangan
Akan tetapi, yang cocok untuk pertanian hanya sekitar 5,51 juta hektare.
Tantangan pengembangannya memang tergolong besar mengingat kondisi lahan rawa yang memiliki tingkat kesuburan rendah, infrastruktur belum berfungsi optimal, indeks pertanaman dan panen masih rata-rata satu kali setahun.
Selain itu, ada pula serangan hama dan penyakit tanaman masih tinggi serta tingkat pendidikan petani di kawasan rawa yang rata-rata rendah.
Namun dengan rekayasa teknis dan sosial ekonomi yang tepat, pemanfaatan lahan rawa ke depan diyakini mampu mendorong peningkatan produksi pangan nasional.
Sebab, peluang membuka lahan rawa sebagai lahan sawah baru masih terbuka luas. Optimalisasi lahan rawa yang ada dari kondisi lahan yang belum pernah ditanam dan lahan yang IP hanya satu kali setahun dinaikkan menjadi dua kali setahun.
Bahkan, bisa tiga kali dengan pola pertanaman dua kali tanam padi dan satu kali palawija.
Menurut Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Dadih Pending Permana, lahan rawa, khususnya lahan pasang surut, dapat didayagunakan dengan rekayasa sistem pengairan.
Yaitu dengan sistem kanalisasi (sistem tanggul), pembuatan polder dipadu dengan tata kelola air secara modern dengan mesin dalam jaringan irigasi tersier dan atau jaringan irigasi tingkat usaha tani (JITUT) dan perpompaan.
Hal itu bisa mendongkrak indeks pertanaman dari satu kali menjadi dua dan tiga kali (IP 200-300).
Pompa digunakan untuk membuang air saat lahan kelebihan air dan memasukkan air pada kanal yang berfungsi sebagai long storage saat musim kemarau dengan system pengelolaan kawasan yang efisien efektif (kluster) antara 100-200 hektare.
Pengelolaan lahan rawa dapat dilakukan dengan memperhatikan dua aspek dasar budidaya yakni, penggunaan benih varietas unggul adaptif dan manajemen kesuburan tanah.
Penggunaan varietas adaptif lahan rawa akan mendorong keberhasilan budidaya tanaman.
Jenis varietas yang adaptif terhadap lahan suboptimal ini selain Ciherang juga ada varietas Inpara-1 sampai Inpara-5.
Prinsip dasar pengelolaan air di lahan rawa pasang surut adalah mempertahankan kecukupan air bagi tanaman.
Selain itu, juga menjaga dan melestarikan tanah agar tidak terganggu secara berlebihan (minimum disturbance), termasuk tersingkapnya pirit yang menjadi sumber kemasaman tanah dan air pada ekosistem rawa ini.
Menurut hasil riset Muhammad Noor, untuk pengembangan kegiatan pertanian di lahan rawa pasang surut, ada beberapa inovasi teknologi pengelolaan air yang bisadimanfaatkan antara lain, sistem tata air satu arah (STASA), sistem tabat konservasi (STAKO), sistem surjan dan tukungan, dan sistem drainase dangkal.
“Teknologi ini sangat bermanfaat dalam pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut,” katanya.
Dari sisi biaya, pada kesempatan lain Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyebut bahwa lahan pasang surut tidak memakan banyak biaya, baik investasi maupun biaya operasional.
Namun demikian, lahan tersebut dapat menghasilkan produksi yang besar karena mampu untuk ditanami tiga kali dalam setahun.
Berbeda dengan angkanya BPPT maupun Pusat Informasi Rawa, menurut Mentan lahan pasang surut di Indonesia tidak kurang dari 20 juta hektare dan yang bisa dimanfaatkan sekitar 10 juta hektare. Ini adalah raksasa tidur di Indonesia.
“Jadi 2018 kami optimalkan lahan pasang surut. Biayanya murah, namun hasilnya besar,” ujar Mentan.
Panen Perdana Optimasi Lahan Rawa Pasang Surut di Sumsel
Provinsi Sumatera Selatan memiliki potensi lahan pasang surut 223 ribu hektare.
Namun umumnya masih satu kali tanam per tahun atau IP 100 dengan produktivitas dibawah 4 ton per hektare.
Pada tahun 2017, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian menjalankan uji coba program optimalisasi lahan rawa lebak dan lahan pasang surut seluas 3.000 hektare di Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir) dengan benih Ciherang.
Hasilnya terjadi peningkatan IP dari 100 menjadi 200, yang tadinya panen hanya sekali setahun sekarang menjadi dua kali per tahun.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian pada Desember 2017 lalu melakukan panen perdana di lahan rawa di Desa Telang Jaya dan Bintaran Kabupaten Musi Banyuasin.
Produksi padi dari panen perdana di dua desa tersebut, Telang Jaya dan Bintaran sekitar 5–6 ton gabah kering panen (GKP) per hektare.
Produksi ini jauh meningkat dibandingkan dengan produktivitas sebelum dilakukan kegiatan optimalisasi.
Melihat hasil panen dari lahan suboptimal ini, Dadih Permana optimistis bahwa Sumatera Selatan akan terus berkontribusi untuk memantapkan swasembada pangan.
Keberhasilan optimalisasi lahan rawa, lebak, pasang surut di Sumatera Selatan akan mendorong semangat untuk mereplikasi optimalisasi di provinsi lain seperti di Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Sehingga laju konversi sawah produktif menjadi lahan nonsawah sebesar 100.000 ha per tahun dapat diminimalisasi risikonya dan target swasembada padi, jagung dan kedelai tidak terganggu.
“Selanjutnya pada tahun 2018, jajaran Kementeri Pertanian akan terus melanjutkan program tersebut melalui program Optimalisasi Lahan Rawa Lebak dan Lahan Pasang Surut seluas 51.200 hektare tersebar di lima provinsi yakni Sumsel, Jambi, Kalsel, Kalteng dan Kalbar,” jelas Dadih. (jos/jpnn)
Redaktur : Tim Redaksi