jpnn.com, BARITO KUALA - Optimalisasi lahan rawa di Kalimantan, khususnya Kabupaten Barito Kuala, terbukti mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Saat ini, Barito Kuala merupakan penghasil beras terbesar di Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan kontribusi mencapai 16,23 persen.
BACA JUGA: Berita Terbaru Pembunuhan Sadis di Kalimantan Selatan
Namun, produktivitas padi lebih rendah karena indeks pertanaman yang masih di bawah tiga.
Hal itu tidak terlepas dari fakta bahwa mayoritas area persawahan Barito Kuala berada di lahan rawa lebak.
BACA JUGA: Lahan Bekas Tambang Disulap Jadi Areal Pertanian Produktif
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menyebutkan, dengan luas wilayah 311 ribu hektare, Barito Kuala didominasi oleh lahan pasang surut seluas 300 ribu hektare dan lahan rawa lebak (11 ribu hektare).
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Barito Kuala Zulkifli Yadi Noor menuturkan, daerahnya telah ditetapkan sebagai penyokong kedaulatan pangan.
BACA JUGA: Kisah Kekejaman Salim Bunuh Mantan Pacar di Keramaian
Pihaknya juga akan terus meningkatkan luas tanam, termasuk IP.
Saat ini, hampir semua kecamatan di Barito Kuala merupakan sentra produksi beras.
Misalnya, Kecamatan Tabunganen yang berkontribusi sebesar 13,76 persen, Anjir Pasar (8,99 persen), Rantau Badauh (8,71 persen), Anjir Muara (8,08 persen), Tamban (5,24 persen), dan Barambai (7,41 persen).
Sementara itu, Kecamatan Mekarsari memiliki kontribusi sebesar 7,23 persen, Cerbon (5,32 persen), Tabukan (5,24 persen), Belawang (4,70 persen), Marabahan (4,44 persen), Alalak (4,41 persen), Mandastana (4,38 persen), Bakumpai (4,08 persen), Wanaraya (2,91 persen), Jejangkit (2,46 persen), dan Kuripan (0,04 persen).
Dari semua kecamatan di Barito Kuala, Jejangkit merupakan salah satu daerah yang memiliki daerah rawa mencapai 3 ribu hektare dan rata-rata produksi gabahnya hanya 3,3 ton per hektare.
"Rendahnya produktivitas ini karena saat musim hujan tergenang, saat musim kemarau lahan benar-benar kering. Kesuburan tanah dan lahan yang ekstrem seperti itu menjadikan petani hanya bisa bercocok tanam satu kali dalam setahun," jelas Zulkifli, Selasa (1/5).
Namun, permasalahan tersebut bisa berkurang dan menjadikan petani setempat terbebas dari kemiskinan.
Sebab, Kabupaten Barito Kuala dengan Kecamatan Jejangkit terpilih menjadi daerah percontohan nasional Optimalisasi Lahan Suboptimal.
Menurut Zulkifli, permasalahan pertanian di Jejangkit terletak pada tata kelola air.
"Program optimalisasi lahan suboptimal ini merupakan sistem pertanian melalui pengaturan tata kelola air dengan pembangunan saluran irigasi, pintu air, pompa air dan lain-lain," tutur Zulkifli.
Dia menambahkan, upaya optimalisasi tersebut akan membuat waktu tanam tidak lagi bergantung pada musim.
Selain itu, petani mendapatkan bantuan pestisida dan beragam alsintan. Dalam pengerjaannya, petani akan dikawal pemerintah mulai pengelolaan tanam, menanam dan pascapanen yang terjamin.
Di sisi lain, Mekanisasi Padat Karya Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) Pending Dadih Permana mengungkapkan, pihaknya akan menggulirkan sebanyak 215 ekskavator ke seluruh Indonesia untuk program optimalisasi lahan suboptimal ini.
Bahkan, Menteri Pertanian Amran Sulaiman akan memberikan 40 unit ekskavator untuk optimalisasi lahan di Kalsel dan tujuh unit di antaranya akan ditempatkan di Jejangkit.
"Pengadaan ekskavator ini untuk mempercepat sistem pengairan, petakan sawah, jalan pertanian, perbaikan saluran irigasi, pembuatan embung, hingga penataan struktur lahan pertanian," tutur Dadih.
Menurut rencana, pembangunan dilakukan secara padat karya.
"Di Jejangkit akan ada lahan yang dioptimalisasi seluas 750 hektare. Namun, dilakukan secara padat karya dengan menyerap tenaga kerja di desa tersebut dan pada saat pertanaman diterapkan sistem mekanisasi modern," ujar Dadih.
Kementerian Pertanian sendiri menyiapkan alokasi dana untuk optimalisasi lahan rawa yaitu Rp 3 juta per hektare untuk rawa lebak dan Rp 4 juta per hektare bagi pasang surut.
"Kami juga akan mendistribusikan mesin pompa dengan kemampuan mengairi 200 hektare berikut pupuk dan benih. Sedangkan kebutuhan lain dibebankan pada Pemprov Kalsel dan Pemkab Barito Kuala seperti pasokan solar untuk BBM pompa," jelas Dadih.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sempat menyebutkan bahwa biaya optimalisasi rawa menjadi lahan produktif jauh lebih murah daripada harus membangun sawah yang biaya cetaknya bisa mencapai Rp 16 juta per hektare.
"Di Kalsel sendiri direncanakan optimalisasi ini seluas 67 ribu hektare. Perhitungan ini dilakukan dengan tidak memasukkan lahan gambut yang memang tidak bisa ditanami," papar Dadih.
Lahan rawa tersebut ditarget bisa diproduktifkan paling lambat sepuluh tahun.
Sementara itu, potensi lahan sub optimal tersebut ada sekitar satu juta hektare yang tersebar di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Hariyadi Transfer Rp 22 M, yang Masuk Cuma Rp 3 M
Redaktur : Tim Redaksi