Kementan Terbitkan Aturan Baru Untuk Percepat Realisasi PSR

Sabtu, 30 April 2022 – 13:55 WIB
Kementan menerbitkan aturan baru terkait peningkatan realisasi peremajaan sawit rakyat. Proses pemanenan buah kelapa sawit. Foto: Antara

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) menerbitkan Permentan Nomor 03 Tahun 2022 untuk mempercepat realisasi peremajaan sawit rakyat (PSR) melalui pola kemitraan.

Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan Kementan Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektare. 

BACA JUGA: Gelar Workshop Public Private Partnership, Kementan Bahas Ketahanan Pangan Asia

“Dari angka itu, kurang lebih 6,94 juta hektare merupakan perkebunan sawit rakyat. Seiring pertambahan usia tanaman, saat ini diperkirakan terdapat 2,8 juta hektare kebun sawit rakyat yang potensial untuk diremajakan,” kata dia dalam diskusi yang digelar Forwatan, Jumat (29/4).

Hendratmojo mengatakan target utama segi peremajaan sawit adalah kebun yang dikelola oleh rakyat. Semenjak 2020, program PSR ditargetkan dapat menjangkau 540 ribu hektare kebun sawit sesuai arahan Presiden Joko Widodo.

BACA JUGA: Wali Kota Balikpapan Apresiasi Upaya Kementan Bantu Warga dengan Gelar Pangan Murah

Setiap tahunnya pemerintah menargetkan 180 ribu hektare. Namun demikian, realisasi PSR sulit dicapai dengan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi di lapangan 

Dari data Ditjen Perkebunan, realisasi PSR tertinggi seluas 92.066 hektare pada 2020. Tetapi memasuki 2021, angka pencapaian PSR turun signifikan menjadi 27.747 hektare.  

BACA JUGA: Pemprov Papua Dukung Kementan Penuhi Kebutuhan Pangan dengan Cara Ini

"Penurunan ini menjadi catatan bagi kami agar tahun depan harus bisa mengakselerasi pelaksanaan PSR," kata dia.

Hendratmojo mengakui pelaksanaan PSR untuk menjangkau kebun petani tidak semudah membalik telapak tangan.

Dalam peresentasenya diuraikan empat aspek permasalahan PSR yaitu legalitas lahan, dukungan stakeholder, minat pekebun, dan kelembagaan pekebun.

“Tantangan terberat PSR dari aspek legalitas lahan. Di lapangan masih ditemukan kebun belum punya sertifikat hak milik, lahan terindikasi masuk kawasan hutan, dan adanya tumpang tindih kebun rakyat dengan HGU (Hak Guna Usaha) dan hak tanah lainnya,” jelasnya.

Beratnya tantangan yang dihadapi berdampak kepada realisasi PSR baru 1.582 hektare sampai April 2022.

Salah satu upaya pemerintah mempermudah akses dan memperluas jangkauan PSR difasilitasi dengan terbitnya Permentan Nomor 03 Tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dalam permentan tersebut, mekanisme pengusulan PSR dapat melalui dua jalur yaitu jalur dinas daerah kabupaten/kota dan jalur kemitraan.

Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono menyambut baik jalur kemitraan dalam PSR sebagai upaya melibatkan perusahaan. Kemitraan antara perkebunan besar dengan petani sawit merupakan upaya strategis dalam rangka meningkatkan kinerja industri sawit.

“GAPKI ingin kemitraan yang dikembangkan harus didasari saling menguntungkan dan berkesinambungan. Untuk itu perlu dibuat perjanjian kerjasama antara masing-masing pihak yang bersifat mengikat kedua belah pihak,” ujarnya. 

Sekjen DPP APKASINDO Rino Afrino menepis anggapan petani tidak berminat ikut program PSR. Sebab, petani generasi kedua memiliki ekspektasi tinggi terhadap kebun sawitnya. Mereka menginginkan produksi kebun yang lebih baik, nilai tambah tinggi, kepastian harga, dan legalitas lahan jelas.

Senada dengan pembicara lainnya, Rino menguraikan tiga faktor yang mengakibatkan realisasi PSR turun. Faktor pertama adalah legalitas kebun petani yang diklaim berada di kawasan hutan dan juga diklaim tumpang tindih dengan HGU perusahaan.  

“Kami dikagetkan ternyata ada lahan-lahan walaupun dia sudah memiliki sertifikat hak miliki ternyata itu masuk dalam kawasan hutan," ujarnya.

Kedua, terkait dengan birokrasi yang rumit. Tetapi diakui Rino, Kementerian Pertanian menyelesaikan persoalan birokrasi melalui penyederhanaan syarat dan penerbitan regulasi yang mempermudah PSR. 

Faktor ketiga adalah petani dihadapkan kepada masalah hukum. Mereka harus dipanggil aparat penegak hukum seperti kejaksaaan dan kepolisian berkaitan penggunaan dana PSR.

“Bahkan, ada sejumlah oknum LSM lokal yang memanfaatkan kesempatan untuk mempermasalahkan petani PSR. Akibatnya, petani kami was-was untuk mengajukan PSR,” ujar Rino. (cuy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jelang Lebaran, Kementan Gelar Pasar Tani untuk Penuhi Kebutuhan Bahan Pangan di NTB


Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler