jpnn.com, JAKARTA - Teknologi pertanian dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia saat ini terbilang cukup memadai untuk mendukung program Food Estate.
Namun, menurut Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan kepada Masyarakat (LPPM) IPB University Ernan Rustiadi, koordinasi di level pemerintahan masih perlu ditingkatkan.
BACA JUGA: Food Estate Bisa Selamatkan Kebutuhan Pangan Jangka Panjang
"Masalah pengembangan Food Estate kita adalah perlu memaksimalkan koordinasi lintas lembaga pemerintah dan memerlukan kesatuan komando yang kuat," kata Ernan saat dihubungi baru-baru ini.
Food Estate, termasuk di dalamnya upaya perluasan lahan pertanian, merupakan salah satu program strategis pemerintah dalam pembangunan pertanian nasional 2021.
BACA JUGA: Menko Luhut Pengin Formula R5 IKA ITS Digunakan di Lahan Food Estate di Kalteng
Program ini melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Food Estate menargetkan pemenuhan ketahanan pangan dalam negeri melalui ekstensifikasi lahan di luar Pulau Jawa.
BACA JUGA: Bahas Food Estate, Luhut Minta Kementerian PUPR Bangun Irigasi
Ernan mengatakan kemampuan Indonesia dari sisi teknologi dan SDM di bidang pertanian sudah cukup mendukung untuk bisa mewujudkan program pemerintah tersebut.
"Sebenarnya SDM dan teknologi kita sudah baik. Apalagi kita tidak termasuk negara miskin. Tetapi kalau koordinasi tidak ada, ya, itu (Food Estate) akan terkendala," tambahnya.
Menurutnya, ekstensifikasi sektor pertanian tidak bisa dilepas begitu saja mengikuti mekanisme pasar layaknya perkebunan sawit.
Terutama untuk penyediaan infrastruktur dasar, seperti sarana pengairan lahan dan infrastruktur pendukung transportasi.
"Harus ada campur tangan pemerintah," katanya.
Secara terpisah Ernan menjelaskan dalam paparan dalam sebuah diskusi bertema "Kemandirian Pangan dan Tantangan Penyediaan Lahan Pangan", 11 September 2021, bahwa terdapat tiga jenis lahan marjinal di Indonesia yang bisa dikembangkan untuk pertanian.
Yaitu lahan rawa dan gambut, tanah sulfat masam, serta tanah masam.
"Teknologi saat ini sebenarnya sudah mampu mengatasi keterbatasan yang ada di lahan-lahan sulfat masam itu. Salah satu yang menonjol terjadi pada keberhasilan perkebunan sawit. Lahan-lahan sulfat masam sebenarnya bisa juga ditanami padi, tapi harus dengan sangat hati-hati," ujar Ernan.
Sementara Guru Besar IPB University, Edi Santosa menambahkan SDM Indonesia sudah banyak mengembangkan varietas pangan seperti padi dan sorgum yang bisa menunjang keberhasilan program Food Estate.
"Kami sudah mengembangkan beberapa varietas padi baru untuk di Food Estate," kata Edi saat dihubungi secara terpisah.
Berdasarkan data yang dibagikan Ernan, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 320 juta pada 2045 dengan asumsi konsumsi 110 kilogram (kg) beras per kapita, maka pada tahun tersebut akan membutuhkan beras sebanyak 35,2 juta ton atau 64 juta ton gabah kering panen (GKP).
"Jika produktivitas 6 ton GKP/hektare, maka perlu lahan luas panen 11 juta hektare. Dengan Indeks Pertanaman 150, maka membutuhkan lahan baku 7,1 juta hektare," paparnya.
Saat ini, lahan baku sawah mencapai 7,4 juta hektare berdasarkan hasil audit Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada 2019.
Di lahan sawah seluas itu ada belasan komoditas pangan, termasuk padi. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia