Kemewahan Demokrasi dan Pasal Penghinaan ke Presiden RI

Oleh; Zaenal A Budiyono*

Jumat, 07 Agustus 2015 – 22:11 WIB

jpnn.com - RENCANA pemerintah untuk memasukkan kembali pasal penghinaan presiden di KUHP yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Kita tahu perjuangan mahasiswa sejak era 1970-an sampai 1998 melawan tirani Orde Baru, salah satu yang ditentang keras adalah absolutisme kekuasaan presiden. Hal ini terlihat dari begitu kuatnya rejim, sehingga sangat anti-kritik dari luar.

Setelah Orde Baru tumbang, perlahan terjadi rasionalitas publik dalam melihat kekuasaan. Lembaga kepresidenan tak lagi dianggap menakutkan seperti dulu, dan publik bisa memberikan masukan, dari yang sifatnya kritik biasa sampai tekanan politik. Ini sejalan dengan prinsip demokrasi yaitu check and balances. Yang menjadi penyeimbang kekuasaan bukan hanya legislatif dan partai politik, melainkan juga organisasi masyarakat, bahkan individu.

BACA JUGA: Masih Ada Jalan Keluar bagi Terpuruknya Rupiah

“Kemewahan” ini sudah kita nikmati tujuh belas tahun sejak reformasi. Bahwa terkadang ada kritik dan masukan yang terlalu keras sehingga membuat telinga kekuasaan panas, itu adalah bagian dari dinamika politik menuju konsolidasi demokrasi. Dengan berjalannya waktu, kegaduhan berlebih akan tertata seiring dengan pelaksanaan demokrasi yang makin berkualitas.

Di AS dan Eropa, demokrasi berjalan bebas hampir 100 persen. Tapi rakyat di sana tidak menunjukkan kegaduhan yang tak perlu. Itu karena semua stakeholders di negara tersebut menjalankan demokrasi secara benar.

BACA JUGA: FIFA, Gangster, dan Korupsi

Sementara di sini, pemerintahan Jokowi yang kemenangannya di Pilpres lalu banyak ditopang elemen civil society (elemen yang hanya ada di negara demokratis), nyatanya di umur pemerintahan yang belum genap setahun sudah terjebak pada penyakit kekuasaan. Yaitu ketakutan yang berlebihan.

Percayalah, bila pemerintah berjalan di rel konstitusi, menjalankan amanat rakyat, tak perlu takut terhadap kritik. Sebab kritik hanya muncul bila pemerintah dianggap keluar jalur konstitusi dan kepentingan nasional.

BACA JUGA: Membaca Keakraban Jokowi-Xi Jinping dan Geo Politik-Ekonomi Indonesia

Bahwa terkadang ada saja kelompok kepentingan yang memanfaatkan luasnya ruang demokrasi untuk menyerang pemerintah secara membabi buta, termasuk fitnah, hal itu juga terjadi di negara demokrasi manapun. Tinggal Presiden Jokowi sebagai individu atau warga negara menempuh jalur hukum, bila kehormatannya diganggu.

Apa yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono semasa menjadi presiden saat melaporkan fitnah-fitnah ke polisi -seperti saat ia disebut memiliki istri lain atau keluarganya disebut menerima aliran dana ilegal- merupakan langkah yang lebih tepat daripada meminta pasal khusus penghinaan presiden di KUHP. Tapi SBY juga tidak mengadukan semua kritik, hanya yang benar-benar menyerang pribadi dan keluarga yang dilaporkannya.

Kalau melaporkan semua kritik, barangkali presiden akan habis waktunya untuk mengurusi kritik, sehingga tugas kenegaraan bisa terbengkalai. Toh dengan pengaduan sebagai warga negara, fitnah atau tuduhan tak berdasar bisa diselesaikan, dan nama baik presiden tak terganggu.

Jangan-jangan Presiden Jokowi sebenarnya tidak ingin memaksakan “pasal karet” ini masuk ke KUHP. Bisa saja ini pekerjaan anak buahnya yang sedang mencari muka.

Ingat penyakit birokrasi bangsa ini yang sangat menahun adalah perilaku melayani atasan secara berlebihan, atau bahasa lainnya asal bapak senang (ABS). Apalagi sebelumnya Presiden Jokowi pernah “dikerjai” pembantu-pembantunya ketika salah menandatangani Perpres Uang Muka Mobil pejabat yang kemudian terkenal dengan sindiran “I Don’t Read What I Sign”.

Belum lagi kesalahan menulis singkatan BIN beberapa waktu lalu. Ini artinya, bisa saja Jokowi sekarang juga “dikerjai” lagi karena mungkin belum memahami secara utuh isi pasal penghinaan dimaksud.(***)

*Penulis adalah mantan asisten staf khusus kepresidenan. Kini memimpin lembaga kajian Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lampu Merah Penerimaan Negara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler