Membaca Keakraban Jokowi-Xi Jinping dan Geo Politik-Ekonomi Indonesia

Oleh; Dradjad H Wibowo PhD*

Minggu, 26 April 2015 – 02:40 WIB
Presiden Joko Widodo bersama Presiden Republik Rakyat China Xi Jinping (kiri) dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dalam perhelatan Konferensi Asia Afrika di Jakarta bebrapa hari lalu. Foto: Sekretariat Kabinet.

jpnn.com - PERHELATAN Konferensi Asia Afrika (KAA) telah tuntas. Salah satu hal yang bisa dicatat dari perhelatan itu adalah keakraban antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden China, Xi Jinping.

Keakraban antara kedua presiden itu memang sangat terlihat. Bahkan ada kesan bahwa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe seolah seperti tersisihkan. Hubungan China dan Jepang yang sedang dingin sangat terlihat dengan hubungan Xi dan Abe di ajang KAA.

BACA JUGA: Lampu Merah Penerimaan Negara

Karenanya, di saat dinginnya hubungan antara China dengan Jepang maka keakraban Presiden Jokowi dengan Presiden Xi bisa berdampak geo-politik-ekonomi (GPE) yang serius.

Potensi manfaat politik ekonomi dari keakraban itu sangat besar bagi Indonesia. Karenanya saya sangat mendukung langkah Presiden Jokowi itu, apalagi terdapat kabar bahwa dua bank China siap memberi pinjaman USD 50 miliar bagi Indonesia.

BACA JUGA: Menyiapkan Kebangkitan Kaum Duafa

Meski demikian, saya mempunyai beberapa catatan agar Indonesia tetap hati-hati dan seimbang dalam percaturan geo politik dan ekonomi global yang bergerak dinamis. Ibarat kata pepatah, 'jangan sampai beruk di rimba disusui, anak di pangkuan dilepaskan'.

Pertama, hubungan itu  perlu dijaga tetap seimbang. Jangan sampai Indonesia sekedar menjadi satelit utk memenuhi kepentingan jangka panjang China.

BACA JUGA: Mengidentifikasi Korban Melalui Tengkorak

Dewasa ini China sedang mentransformasi pembangunan ekonomi jangka panjangnya. Jika semula ekonomi China bergerak dalam rezim pertumbuhan super-tinggi bahkan sempat dua dijit, sekarang negeri Tirai Bambu itu "mendinginkan" ekonominya ke dalam rezim pertumbuhan tinggi tapi sustainable pada level sekitar 7 persen.

Presiden Xi adalah pelopor transformasi yang signifikan ini. Pertimbangannya antara lain, laju pertumbuhan yang terlalu tinggi membuat konsumsi energi dan mineral China tumbuh di luar kendali. Akibatnya, China menjadi sangat rentan terhadap defisit pasokan energi dan mineral. Kondisi ini memberi risiko strategis yang besar bagi China. Selain itu, China merasa terlalu tergantung kepada ekspor sebagai sumber pertumbuhan, sehingga perlu berdiversifikasi ke konsumsi domestik.

Sanksi ekonomi AS dan Uni Eropa terhadap Rusia sebagai buntut krisis Ukraina menjadi rahmat tersembunyi bagi China dalam proses transformasi ini. Rusia yang menoleh ke China akhirnya bersedia meneken kontrak pasokan gas Siberia ke China senilai USD 400 miliar selama 30 tahun. Padahal negosiasi kontrak ini sempat buntu selama 10 tahun lebih karena perbedaan formula harga yang tajam antara kedua negara.

Bagi China, Indonesia menjadi sumber gas, mineral, komoditi primer lain, sekaligus pasar ekspor. Dengan adanya kontrak gas Siberia, pasokan gas bagi China sebenarnya relatif lebih aman.

Namunm China tetap perlu mendiversifikasikan pasokan gasnya, termasuk misalnya dari ladang gas Tangguh. Demikian juga dengan batu bara dan mineral sepertt nikel, bijih besi dan sebagainya. China mengejar mineral-mineral tersebut dari Afrika, tapi Indonesia secara geografis lebih dekat dan cukup kaya mineral.

Jadi, dalam konteks transformasi ekonomi China, Indonesia menjadi bagian dari diversifikasi sumber gas, mineral, komoditi primer lain dan pasar ekspor. Tentu fakta bahwa Indonesia berada di jalur Selat Malaka dan isu Laut China Selatan masuk dalam hitungan China. Namun, China sudah mengambil langkah mengurangi ketergantungan thd Selat Malaka dengan kerjasama Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC - China Pakistan Economic Corridor).

Dengan realitas di atas, jangan sampai, keakraban Jokowi dengan Xi justru membuat Indonesia lebih memilih ekspor ke China daripada memenuhi kebutuhan domestik, seperti yang terjadi pada gas alam. Akibatnya antara lain,  industri pupuk dan keramik kita kesulitan pasokan gas alam. Jangan sampai program hilirisasi tambang juga gagal krn mineral mentah dijual ke China. Industri nasional harus tetap menjadi prioritas supaya tidak menjadi korban kemesraan kita dng China.

Kedua, AS dan Uni Eropa perlu diberi kenyamanan bahwa Indonesia tidak lari dari mereka dan beralih ke China. AS dan Uni Eropa memang rewel, bawel, dan cenderung mendikte dalam banyak isu. Sementara China lebih fleksibel.

Namun, pasar keuangan dunia tetap didominasi AS, Uni Eropa dan negara pro-Barat lain seperti Jepang dan Singapura. Jika pelaku pasar keuangan jadi takut karena Indonesia dianggap lari dari Barat, maka kerugiannya besar sekali. USD menguat sedikit saja, Rupiah sudah anjlok 15-19 persen dan membuat stabilitas APBN terganggu karen rendahnya penerimaan pajak. Bisa dibayangkan akibatnya jika Indonesia ditinggal pelaku pasar krn dianggap terlalu kiri dan terlalu mesra dengan China. Selain itu, AS masih tetap menjadi pasar ekspor utama Indonesia.

Saya melihat pemerintahan Jokowi kurang sreg dengan "lembaga boneka" AS dan Uni Eropa seperti Bank Dunia dan IMF. Saya sendiri sudah sejak lama melawan dominansi kedua lembaga tersebut dalam kebijakan ekonomi Indonesia.

Meski demikian, Indonesia tetap harus bermain cerdas. Indonesia justru harus mampu memaksimalkan keuntungan dr persaingan AS, Uni Eropa dan Jepang vs China. Apalagi saat ini AS dipermalukan karena sekutu utamanya seperti Inggris dan Australia membelot ikut menjadi anggota pendiri Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang dimotori China dan ditentang Washintgon.

Intinya, jika cerdas, Indonesia mendapat manfaat. Jika konyol, Indonesia akan terinjak-injak oleh raksasa yang sedang bertarung.

Ketiga, jangan tinggalkan Jepang dan mulai dekati Rusia. Jepang juga "terkucilkan" dalam kancah AIIB. Selama KAA, PM Shinzo Abe juga seperti tersisihkan oleh Presiden Xi.

Tapi jangan lupa, sekitar 1/3 utang Indonesia itu kepada Jepang dan berdenominasi Yen. Jepang juga sudah terbukti menjadi mitra ekonomi yang bisa dipercaya.

Terhadap Rusia, Indonesia terlihat masih menjaga jarak. Saat ini Rusia perlu teman, dan banyak manfaat yang bisa diperoleh dari peningkatan hubungan ekonomi dengan Rusia. Misalnya saja dalam bidang industri pertahanan, dirgantara, metalurgi, perdagangan hasil perkebunan dan sebagainya.

Energi nuklir tentu tidak termasuk, karena Indonesia berada pada jalur ring of fire. Namun, ada catatan soal Crimea dan Ukraina, karena Indonesia berpegang teguh pada prinsip integritas teritorial untuk menjaga kesatuan teritorial kita sendiri.

Keempat, jangan sampai manfaat hubungan dengan China hanya dinikmati oleh kelompok usaha tertentu. Ada beberapa konglomerat yang memiliki lobi sangat kuat di China. Siapa berhubungan dengan siapa sudah menjadi rahasia umum di kalangan konglomerat tersebut. Mereka memang mendorong agar Indonesia lebih merapat ke China.

Dengan kekuatan lobinya di kedua negara, proyek-proyek kerja sama dengan China bisa didesain untuk keuntungan mereka. Misalnya, memberikan capital gain terhadap tanah yang mereka kuasai, memperluas akses pembiayaan dan pasar mereka dan seterusnya. Jangan sampai negara hanya diperalat mereka untuk memperbesar konglomerasi saja, sementara masyarakat umum hanya mendapat sedikit manfaat.

Kelima, perlu memastikan realisasi program, bukan hanya sebatas memorandum of understanding (MoU). China baru saja meneken kerja sama dengan Pakistan untuk membangun Koridor Ekonomi China-Pakistan. Nilai investasi yang akan ditanam China adalah USD 46 miliar. Jika dihitung, komitmen pembiayaan regional dari China sdh mencapai USD 200 miliar lebih, baik untik AIIB, BRICS Development Bank, gas Siberia, Pakistan, Indonesia. Belum lagi untuk negara-negara Afrika, Australia dan lain-lainnya.

Tentu pertanyaannya, bagaimana realisasinya? Sebagai contoh, sebagian proyek di Pakistan sebenarnya sudah disiapkan beberapa tahun lalu. Namun, realisasinya masih tersendat hingga sekarang, baik karena faktor China maupun Pakistan.

Hal yang sama bisa terjadi denga Indonesia. Jadi pemerintahan Presiden Jokowi harus aktif agar komitmen-komitmen China-Indonesia benar-benar direalisasikan.(***)

*Penulis adalah ekonom, Chairman DW & Partners

BACA ARTIKEL LAINNYA... Parpol dan Kepemimpinan Politik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler