jpnn.com, MOSCOW - Konflik Syria yang rumit dan berbelit melibatkan banyak negara. Termasuk dua negeri adidaya, Rusia dan Amerika Serikat. Negeri Beruang Merah kehilangan sejumlah warganya yang berperang sebagai tentara bayaran.
Dering telepon mengalihkan perhatian Farkhanur Gavrilova sepekan lalu. Berita yang disampaikan si penelepon sangat singkat. Putranya, Ruslan Gavrilov, tewas dalam perang di Syria.
BACA JUGA: Kisah Pilu Relawan Syria: Ketegaran Pupus di Depan Mayat Ibu
Saat itu dunianya tiba-tiba gelap dan hatinya begitu hancur. Putra yang dia disayangi tersebut pergi lebih dahulu meninggalkannya dalam keadaan tragis.
”Dia telah hancur berkeping-keping. Dia adalah pria pemberani. Seandainya hidup, pasti dia mencoba menelepon saya,” terangnya saat diwawancarai Associated Press, Kamis (15/2).
BACA JUGA: Tak Percaya AS, Palestina Merapat ke Kremlin
Ruslan Gavrilov tewas dalam serangan udara pada 7 Februari. Saat itu pasukan Syria yang didukung Rusia menyerang kilang minyak dan gas Coneco yang dikontrol Syrian Democratic Forces (SDF), militan yang didukung Amerika Serikat (AS).
Nahas, AS merespons dengan serangan udara besar-besaran selama tiga jam. Jet-jet tempur F-15E, drone MQ-9, pesawat pengebom B-52, dan berbagai senjata lainnya dikerahkan.
BACA JUGA: Israel Bombardir Syria, Netanyahu Sebut Aksi Bela Negara
Jumlah korban tewas dari Syria simpang siur. Beberapa menyatakan jumlahnya sampai 100 orang. Dari jumlah itu, 15–30 orang merupakan anggota Wagner, kelompok tentara bayaran dari Rusia.
Gavrilova mengungkapkan bahwa dirinya sudah melarang putranya untuk bergabung dengan Wagner dan berangkat ke Syria. Tapi, putranya tetap kukuh berangkat.
Keluarga itu tinggal di kota kecil Kedrovoye. Kemiskinan membuat mereka melakukan apa saja untuk memperbaiki hidup. Termasuk bergabung dengan Wagner.
Perusahaan tersebut menawarkan gaji yang tinggi. Karena itu, total ada tujuh penduduk di kota tersebut yang tergabung dengan kelompok tentara bayaran itu.
Biasanya, anggota Wagner merupakan pensiunan anggota militer. Namun, Ruslan Gavrilov sama sekali tidak memiliki pengalaman kemiliteran. Dia bahkan tidak pernah mengikuti pengecekan medis.
Sebelum berangkat ke Syria, para serdadu bayaran itu dilatih di Krasnodar. Gavrilova pun sama sekali tidak memiliki gambaran bahwa putranya bakal dijadikan tentara bayaran. Dalam bayangannya, dia akan melakukan pekerjaan lain, entah apa itu, di Syria.
Sejatinya prajurit bayaran adalah hal ilegal di Rusia. Tapi, keberadaan Wagner dan peran mereka di Syria selalu ditutup-tutupi. Tujuannya satu. Yakni, pemerintah Rusia bisa menekan korban jiwa dari prajurit mereka yang asli. Sebab, kematian anggota Wagner tidak akan tercatat di data korban perang Syria.
Awalnya Rusia bungkam terkait insiden Coneco itu. Tapi, akhirnya mereka mengakui bahwa ada lima warga mereka yang tewas dan mereka bukan anggota militer.
Penduduk lain yang bergabung dengan Wagner adalah Alexander Potapov. Dia pernah ikut dalam perang di Chechnya. Bapak dua anak itu memuja Presiden Rusia Vladimir Putin. Dia ikut ke Syria bersama Gavrilov Oktober tahun lalu.
”Dia tidak punya pilihan,” ujar Yevgeny Berdyshev, saudaranya. Potapov sudah menua dan punya luka pascaperang. Dia sulit mendapat pekerjaan. (sha/c10/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perang Renggut Masa Kecil Ribuan Anak
Redaktur & Reporter : Adil