jpnn.com - BANDUNG - Penipuan dengan modus mengaku-ngaku sebagai petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata cukup sering terjadi. Tidak tanggung-tanggung, KPK sejauh ini telah menerima 140 laporan dari korban di seluruh penjuru negeri.
Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK Ranu Miharja mengatakan, penipuan modus ini sebagian besar terjadi di tingkat desa hingga kelurahan. Korbannya adalah pejabat di daerah tersebut yang mudah dikelabui oknum.
BACA JUGA: Waduuh, Dokter Rancang Aksi Unjuk Rasa
Namun ada juga kepala daerah tingkat dua yang menjadi korban. Contohnya bupati Kutai Kartanegara tertipu hingga Rp 1 miliar dan kini kasus tersebut sudah masuk ke meja hijau.
"Ada juga yang kena Rp 2,5 miliar. Tapi baru dikasih Rp 25 juta," katanya usai bertemu Gubernur dan Sekretaris Daerah Provinsi Jabar, di Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (21/10).
BACA JUGA: Menko Polhukam Bicara soal Tenaga Honorer, Simak nih
Meski begitu, dia mengaku belum tahu jumlah kerugian secara keseluruhan akibat penipuan tersebut. Oleh karena itu, dia meminta para pejabat agar lebih hati-hati dan mengenal petugas KPK yang sesungguhnya.
Dia pun menjelaskan modus yang sering digunakan pelaku untuk mengelabui pejabat. Salah satunya dengan berjanji akan mengamankan suatu kasus yang tengah ditangani KPK.
BACA JUGA: TNI dan BIN Termasuk Anggota Satgas, Masih Berani Pungli?
Dengan bermodalkan kartu nama pelaku memberanikan diri untuk mengelabui pejabat. "Jadi jangan tertipu. KPK asli itu tidak pernah punya kartu nama," katanya.
Selain itu, lanjutnya, petugas KPK yang memeriksa pasti memiliki surat perintah tugas yang resmi. Tak hanya, kedatangan petugas KPK pun dipastikan melalui koordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah terkait.
Oleh karena itu, dia meminta agar setiap pejabat dari berbagai tingkatan agar mengetahui pasti keberadaan KPK asli dengan gadungan. "Jadi kami datang ke sini untuk menginformasikan agar tidak ada lagi pejabat yang tertipu," katanya.
Lebih lanjut dia katakan, pihaknya pun akan memberantas berbagai penggunaan logo dan simbol KPK oleh pihak yang tidak berhak. Logo dan simbol tersebut seringkali digunakan oleh media gadungan dan lembaga swadaya masyarakat.
Menurutnya, hal itu tidak diperbolehkan sehingga pelakukanya akan ditindak. Dia pun meminta Kesbangpol Pemprov Jabar agar segera menertibkan pihak-pihak yang menggunakan logo KPK.
"Ada pula ormas yang mengaku terafilisasi ke KPK, pakai kartu nama KPK. Pasti itu nipu," ujarnya seraya memastikan agar para pejabat berani melaporkan modus ini ke polisi agar tidak termanfaatkan.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengakui dirinya punya pengalaman dengan modus penipu yang mengatasnamakan KPK. Saat itu, kata dia, dirinya menerima surat yang mengatasnamakan KPK.
"Saat kita periksa, teliti lagi, ini mah penipu. Dilihat dari amplopnya, beda. Dari logonya beda, sampai kata-katanya (isi surat) juga beda. Oh ini penipu, ya sudah kita biarkan," bebernya.
Heryawan pun mengimbau seluruh jajaran di bawahnya agar lebih hati-hati dan segera melapor jika menemukan petugas KPK gadungan. Sekretaris Daerah Provinsi Jabar Iwa Karniwa menambahkan, pihaknya telah melakukan sosialisasi khusus agar tidak ada pejabat Pemprov Jabar yang tertipu KPK gadungan.
Iwa pun memastikan, hingga saat ini tidak ada pejabat di lingkup Pemprov Jabar yang menjadi korban penipuan tersebut. "Pejabat harus bisa mencermati modus-modus dari KPK gadungan yang memiliki tujuan dan kepentingan pribadi, baik itu dalam bentuk pemerasan atau indikator lainnya," katanya.
Meski begitu, Iwa pernah menerima informasi adanya pejabat eselon III dan IV yang didatangi oleh petugas KPK gadungan. Namun, hal itu sudah bisa diselesaikan di tingkat bawah.
Lebih lanjut Iwa katakan, dalam kesempatan itu pihaknya mengadukan kasus sengketa tanah dan bangunan Dinas Peternakan Provinsi Jabar yang diduga ditunggai mafia hukum. "KPK meminta agar Pemprov Jabar terus menambah bukti yang mendukung adanya dugaan tersebut," pungkasnya. (agp/dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pak Jokowi, Ada Sedikit Kritik nih Dari Ketua MPR
Redaktur : Tim Redaksi