Keramat Sungai Koloimba, Legenda Wanita Melahirkan Buaya

Selasa, 09 Februari 2016 – 05:18 WIB
Legenda Sungai Koloimba masih dipercaya menjadi tempat sakral. Foto: dok/Kendari Pos

jpnn.com - SUNGAI Koloimba masih dianggap sakral oleh banyak masyarakat, terutama di tempat sungai itu berada, desa Wesalo, Kecamatan Lalolae, Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Di sungai tersebut, percaya atau tidak, masih dipercaya bisa menjadi media untuk menyampaikan pesan dan harapan kepada alam gaib. Pada hari-hari tertentu sebagian masyarakat hingga kini masih melakukan ritual di sana dengan membawa sesajen. Ya, ini soal tradisi kuno, warisan budaya, dan kesakralan (keramat).

BACA JUGA: Polisi Segel Tambang Pasir Perusak Lingkungan di Cilacap

Alkisah, seorang wanita melahirkan seekor buaya, karena hubungan terlarang dengan saudara kandungnya.

Sebelum agama tersebar di Wesalo, warga setempat masih mempercayai tempat-tempat tertentu yang dianggap sakral. Sebuah tradisi lisan yang disebut Mesosangia Mosehe Wonua yang berarti meminta pada sang pemilik kampung, kini masih dipercaya sebagian warga setempat. 

BACA JUGA: 20 Rumah Hilang, 47 Rusak Dihantam Badai

"Warga Wesalo hingga kini percaya bila pada zaman dahulu kala, pria bernama Kolo melakukan hubungan layaknya suami istri kepada sang adik, Imba," ungkap Fardin, salah seorang tokoh masyarakat di Desa Wesalo, seperti dikutip dari Kendari Pos, Selasa (9/2).

Dia bercerita, kala itu dua anak manusia yang berasal dari darah yang sama tinggal di sebuah desa yang kini disebut Kecamatan Lalolae. Imba memang kembang desa karena tak ada seorang wanita yang mengalahkan kecantikannya. Olehnya itu, Kolo berikrar akan menikahi seorang wanita dengan syarat memiliki kecantikan wajah yang melebihi adiknya. Sayangnya, Kolo tak menemukan lawan jenis dengan paras yang menyerupai sang adik.

BACA JUGA: Lari Saat Disergap Polisi, Bandit Akhirnya Ditembak

Akhirnya, Kolo memutuskan untuk hijrah di daerah lain dengan mimpi mencari wanita yang menyerupai wajah sang adik untuk dipersunting. Selama beberapa tahun mencari wanita yang didambakannya, Kolo pun kembali ke kampung halamanya tanpa pendamping. Sebab dirinya tidak juga menemukan wanita secantik adiknya. 

Adik Kolo bekerja sebagai pengrajin anyaman. Berbagai jenis anyaman mampu dibuatnya dengan tangan yang cekatan. Suatu hari, adik Kolo kehabisan bahan mentah untuk membuat anyaman tikar atau semacamnya. Imba (adik Kolo) pun memutuskan untuk mencari daun tio-tio, sebutan warga lokal yang dipakai sebagai bahan anyaman. 

Menyusuri hutan, ia ditemani oleh sang kakak. Di tengah perjalanan, Kolo mulai memperhatikan sang adik. Terus melihat ujung rambut hingga ujung kaki adiknya. Kolo pun tak kuasa menahan sifat abnormalnya, nafsu pun menguasainya. Kolo tak bisa mengontrol perintah iblis yang memintanya untuk melampiaskan nafsu birahinya kepada sang adik tercinta. Imba pun digagahi oleh saudara kandungnya sendiri. 

Beberapa bulan setelah kejadian itu, Imba pun mengandung anak dari hubungan terlarang itu. Warga setempat pun mengetahui kelakukan mereka karena perut Imba membesar. Warga pun memutuskan untuk mengasingkan mereka di sebuah bukit. Suatu hari, Imba mendadak meraskan perih di perutnya. Ia harus menahan rasa sakit tersebut selama tujuh hari dan tujuh malam. 

Hari ke delapan, di mana mentari pagi mulai bersinar tiba-tiba darah merah bersama seekor buaya berwarna kebiru-biruan keluar dari rahim Imba. 

Saat itu Imba tak kuasa menahan rasa sakit hingga akhirnya meregang nyawanya. Ia pun menghembuskan napas terakhir setelah melahirkan seekor buaya. Tiba-tiba langit bergemuruh, angin berhembus kencang, dan hujan turun dengan deras. Darah Imba yang bercucuran dari atas bukit mengalir bersama air hujan. Menyatu hingga menghasilkan warna kehitam-hitaman. Akibat derasnya hujan, membuat tempat tinggal Imba terendam banjir. 

Buaya yang dilahirkan Imba berenang dan berubah warna menjadi kuning ke emas-emasan yang disebut Ombu Iwoi Sorume. Sedangkan Kolo terapung selama tujuh hari dan tujuh malam. Kakak Imba pun menghembuskan napas terakhirnya. 

Peristiwa itu diketahui seorang dukun melalui mimpinya. Kini lokasi Imba dan Kolo diasingkan, mengeluarkan mata air dan di sekitarnya menjadi rawa yang sangat luas. Bahkan, anak dari pasangan Imba dan Kolo diberi nama Koloimba yang berarti tempat persetubuhan antara Kolo dan Imba. 

Medio 1950 silam, Ketua Swapraja mekongga menggelar acara Monahu Ndau dan Mosehe Wonua di Kecamatan Lalolae karena mendengar cerita dukun yang bermimpi tentang kejadian yang menimpa Kolo dan Imba. Mereka melangsungkan acara tersebut di pinggir jembatan sungai Koloimba. Mereka menyembelih seekor kerbau putih, di mana darah hewan kurban tersebut mengalir ke sungai Koloimba. 

Kini sungai tersebut masih dianggap tempat yang sakral. Bahkan sebagian masyarakat masih melakukan ritual untuk memohon dan menyampaikan pesan kepada alam gaib. Ketika ingin meminta sesuatu maka masyarakat melakukan ritual di sana. Mereka meminta dijauhkan dari hal-hal gaib. Selain itu, masyarakat melakukan ritual karena ingin mengolah rawa untuk dijadikan ladang pertanian. Semisal, membuka areal persawahan yang baru. (ramadhan/adk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kabar Gembira untuk Peternak Sapi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler