jpnn.com, JAKARTA - Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menanggapi perubahan sikap Presiden Joko Widodo mengenai pendanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Diketahui, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 93 Tahun 2021 sebagai revisi dari Perpres No 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
BACA JUGA: Kenyataan Pahit Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Terminasi Jadi Opsi Terbaik
Melalui perpres tersebut, pendanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menanggapi hal tersebut, Ichsannudin mengatakan para pemegang saham di PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) tidak punya uang lagi untuk melanjutkan proyek ini sehingga pemerintah harus menggunakan APBN.
BACA JUGA: Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Dana Membengkak Rakyat Menuntut Penjelasan
"Di berbagai negara dalam Belt and Road Initiative dalam rangka melaksanakan jejaring jalur sutra, China berhubungan dengan BUMN di sebuah negara. Di indonesia, dia (China) berhubungan dengan empat perusahaan," kata Ichsannudin kepada JPNN.com, Senin (11/10).
Dalam bukunya yang berjudul 'Bangsa Terbelah', pria yang akrab disapa Ichsan itu menjelaskan China dan Indonesia membangun PT KCIC dengan saham yang dipegang oleh Beijing Yawan HSR Co Ltd 40 persen dan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) sebesar 60 persen.
BACA JUGA: Luhut Binsar Pimpin Komite Kereta Cepat, Jamiluddin Ritonga: Serba Bisa atau
Lebih rinci, saham PT PSBI itu dipegang oleh PT Wika sebesar 38 persen, PT Kereta Api Indonesia (KAI) 25 persen, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII 25 persen, dan PT Jasa Marga sebesar 12 persen.
Ichsan menilai empat BUMN tersebut mengalami default atau kegagalan dalam memenuhi kewajibannya sehingga pemerintah pusat harus mengambil sikap.
"Jadi, kalau empat BUMN tadi tidak bisa memenuhi perjanjian kerja sama dengan China Railway Construction itu, mau tidak mau, China akan meminta BUMN untuk tetap memenuhi kewajibannya, mau tidak mau agar perjanjiannya tetap berjalan, APBN nya turun," tutur ekonom senior itu.
Menurutnya, permasalahan pokok pada pembangunan kereta api cepat ini ialah harga dan nilai investasi yang ditetapkan China terlalu mahal bagi Indonesia atau tidak.
Selain itu, dia menjelaskan empat indikator yang diperlukan dalam membangun kereta api cepat Jakarta-Bandung.
"Dia cepat, aman, andal, dan efisien," ujar Ichsan.
Dia menuturkan kereta cepat harus lebih cepat dari rata-rata perjalanan Jakarta-Bandung menggunakan mobil melalui Tol Cipularang.
"Kalau pakai travel yang sekarang Rp 150 ribu itu cuma 2 jam. Kalau kereta api cepat juga 2 jam, itu bukan kereta api cepat, dong. Artinya dia tidak memenuhi syarat," ucap peraih gelar doktor dari Universitas Airlangga itu.
Kemudian, keamanan kereta juga perlu diperhatikan.
Berdasarkan studi yang dilakukannya sejak 1994, Ichsan menilai kereta yang paling aman ialah Skoda.
Ichsan menyebutkan kereta cepat China dari Beijing ke Shanghai yang bisa bergerak dari 278 km/jam hingga 400 km/jam.
Dia mengakui kereta tersebut bisa diandalkan tetapi keamanannya belum bisa dipastikan sebab kereta Beijing-Shanghai masih memiliki korban dalam penggunaannya.
Setelah itu, Icshan membandingkan pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung dengan pembangunan di berbagai negara.
Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, dia menemukan pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung memiliki biaya investasi yang terlalu mahal.
"Investasinya kemahalan. Berbagai studi menyatakan pembangunan kereta api cepat kemahalan," kata Ichsanuddin Noorsy. (mcr9/jpnn)
Redaktur : Adil
Reporter : Dea Hardianingsih