Keris Jaka Piturun dan Demokrasi ala Jogja

Rabu, 08 Desember 2010 – 08:19 WIB
Foto. Radar Jogja/Dok.JPPhoto

MENGAPA raja Jogja disebut sultan dan tidak disebut sunan? Itu, kata GBPH (Gusti Bendoro Pangeran Haryo) Joyokusumo, ada sejarah tersendiriAdik Sri Sultan Hamengku Buwono X itu kepada Jawa Pos menceritakan, sebutan sultan lebih dipilih oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I ketika naik takhta

BACA JUGA: Bom Rakitan Meledak di Gereja



Gelar sultan dipilih, lanjut dia, karena lebih memiliki ciri komunikasi lahiriah (duniawi)
Berbeda dengan sunan yang lebih dekat dengan komunikasi makhluk dan penciptanya

BACA JUGA: Ilham Habibie dan Priyo Janji Jaga Netralitas

"Keputusan ini kan juga penghargaan terhadap pluralisme
Nah, bukankah pluralisme itu adalah salah satu substansi dari demokrasi?" katanya

BACA JUGA: Hargai Demokrasi Ala Jogjakarta

"Karena itu, saya membantah keras kalau ada yang menyebut di keraton ini tidak diterapkan prinsip-prinsip demokrasi," imbuhnya

Semangat menerapkan nilai-nilai demokrasi di keraton juga tecermin saat kepemimpinan dipegang HB IXSaat itu dia melakukan pembaruan sistem politik pemerintahan kesultanan yang cukup drastis

Diceritakan, menjelang wafat, sang raja (HB IX) tidak meniru para pendahulunya dalam menentukan siapa yang menjadi penerus takhtaBiasanya, penerus takhta ditunjuk langsung oleh sang raja dengan diberikannya keris Jaka PiturunKeris itu adalah tanda ahli waris takhtaTetapi, cara seperti itu tidak dilakukan HB IXHingga HB IX wafat, tidak ada satu pun keturunannya yang diberi keris tersebut. 

Karena itu, penobatan KGPH Herjuno Darpito, yang kemudian menjadi KGPH Mangkubumi dan selanjutnya menjadi pimpinan Keraton Jogjakarta bergelar Sri Sultan HB X, merupakan hasil musyawarah internal para rayi dalemMereka terdiri atas adik-adik kandung, sedherek dalem (adik lain ibu), dan sentana dalem (paman, bibi, dan sepupu)Musyawarah para aristokrat itu menggantikan model penunjukan langsung"Ini adalah demokrasi ala Jogjakarta yang sudah diterapkan," tutur Joyokusumo.

Karena itu, dia sangat menyesalkan jika ada yang mengatakan bahwa di Keraton Jogjakarta tidak ada demokrasiDi tempat lain, GBPH Prabukusumo menambahkan, demokrasi yang diterapkan di keraton merupakan kombinasi paugeran (peraturan) adat internal dengan aturan hukum formal tentang syarat-syarat ketentuan gubernur"Inilah yang menjadi semangat keistimewaan Jogja sejak awal kemerdekaan," kata adik HB X yang juga ketua DPD Partai Demokrat Jogja itu

Menurut dia, sejarah pembentukan DIJ beserta segala keistimewaannya telah diamanatkan dalam proklamasi 17 Agustus 1945Pembentukannya kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No 3 Tahun 1950Termasuk juga dekret Sri Sultan HB IX tertanggal 5 September 1945 dan Amanat Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945Dalam dekret itu disebutkan bahwa Kerajaan Jogjakarta menjadi bagian dari RI

Begitupun halnya dengan persoalan kepala pemerintahanTerdapat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945Piagam tersebut diberikan Presiden Soekarno kepada kepala negara di daerah Jogjakarta, yakni Sri Sultan HB IX dan Pangeran Paku Alam VIIIPiagam itu merupakan jaminan status istimewa dalam politik bagi dua kepala kerajaan yang telah bergabung dengan Indonesia(dyn/c4/kum)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahfud MD Persilakan Abbas Said Pimpin KY


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler