Hargai Demokrasi Ala Jogjakarta

Rabu, 08 Desember 2010 – 06:26 WIB

JAKARTA - Pihak keraton Jogjakarta meradang ketika seakan-akan ditempatkan di posisi pihak yang antidemokrasi, seiring keinginan pemerintah mengganti model penetapan gubernur/wakil gubernur dengan cara pemilihanMenurut Adik Sri Sultan Hamengkubuwono X, GBPH (Gusti Bendoro Pangeran Haryo) Prabukusmo, pengisian jabatan gubernur DIY yang identik dengan Sultan adalah bentuk demokrasi budaya

BACA JUGA: Mahfud MD Persilakan Abbas Said Pimpin KY


     
"Yakni, kombinasi paugeran (peraturan, Red) adat internal dengan aturan hukum formal tentang syarat-syarat ketentuan gubernur," ujar Prabukusumo, saat ditemui di Jogjakarta, beberapa waktu lalu
Menurut dia, hal itu lah yang menjadi semangat keistimewaan DIJ sejak awal kemerdekaan

BACA JUGA: Kelompok Fadli Incar Pos Polisi



Dia menyatakan, kalau hukum formal tentang syarat ketentuan kepala daerah di Jogja tidak semestinya bertentangan dengan adat internal
"Seharusnya, tetap bisa berdampingan, jangan malah dihadap-hadapkan," imbuhnya. 

Menurut dia, sejarah pembentukan DIJ beserta segala keistimewaannya telah diamanatkan dalam proklamasi 17 Agustus 1945

BACA JUGA: Sultan Ditawari Posisi Gubernur Utama

Pembentukannya kemudian diatur lebih lanjut dalam UU No 3 Tahun 1950Termasuk juga, Amanat Sri Sultan HB IX tertanggal 5 September 1945 dan Amanat Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945.

Begitupun, dengan persoalan kepala pemerintahanTerdapat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945Piagam tersebut diberikan Presiden Soekarno kepada Kepala Negara di daerah Yogyakarta, yakni Sri Sultan HB IX dan Pangeran Paku Alam VIIIPiagam itu merupakan jaminan status istimewa dalam politik bagi kedua kepala kerajaan yang telah bergabung dengan Indonesia

"Ini pertaruhan, juga soal harga diri dan martabat ayah saya (HB IX, Red)," tegas ketua DPD Partai Demokrat Jogjakarta tersebutKarena hal itu lah, Prabukusumo menegaskan, posisi dirinya tidak akan berlawanan dengan keinginan masyarakat Jogja

Meski, Presiden SBY yang sekaligus ketua dewan Pembina DPP Partai Demokrat mendukung agar gubernur/wakil gubernur Jogjakarta melalui pemilihan"Kita lihat dulu lah perkembangannya nanti ini bagaimana," ujarnya, enggan menyebutkan langkah nyata yang akan dilakukannya. 

Terkait sistem kesultanan yang antidemokrasi, Adik Sri Sultan yang lain, GBPH Joyokusumo menambahkan, kalau jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, Kesultanan Jogjakarta sebenarnya sudah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi"Jadi dari awal terbentuk kesultanan, bukan hanya yang kemarin-kemarin ini saja," kata Joyokusumo. 

Dia lantas membeber, bahwa proses terbentuknya Kesultanan Jogjakarta sebagai kelanjutan dari Kesultanan Mataram bukan melalui proses perebutan kekuasaanKeputusan HB I keluar dari keraton dan memilih melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda saat itu, bukan karena ingin meruntuhkan kekuasaan MataramTapi, justru karena ingin mengembalikan kewibawaan dan kejayaan Mataram. 

Dalam proses perlawanan tersebut, rakyat lantas mendesak HB I agar naik tahtaTujuannya, agar ada pemimpin yang berani menolak penjajah sekaligus menjaga nilai-nilai dan budaya yang ada"Peran rakyat, komitmen kerakyatan yang seperti ini kan juga substansi demokrasi," papar Joyokusumo, yang juga ditemui di Jogjakarta, beberapa waktu lalu

Selain itu, saat awal-awal pendirian keraton tersebut, HB I lebih memilih gelar Sri Sultan ketimbang Sunan atau yang lainMenurut Joyokusumo, gelar Sultan dipilih karena lebih memiliki ciri komunikasi dhohiriyah (duniawi)Berbeda dengan Sunan, yang lebih dekat dengan komunikasi makhluk dan penciptanya"Keputusan ini kan juga penghargaan terhadap pluralisme, nah substansi demokrasi lagi," imbuh adik kandung Sri Sultan tersebut

Selain itu, semangat penerapan demokrasi lainnya di dalam kraton juga tercermin saat kepemimpinan dipegang HB IXPembaruan sistem politik pemerintahan kesultanan yang cukup drastis dilakukan

Menjelang wafat, sang raja tidak meniru para pendahulunya dalam menentukan secara serta merta sosok putra mahkota yang nanti akan menggantikannyaBiasanya, proses penggantian dilakukan dengan meninggalkan Keris Jaka Piturun kepada salah satu keturunannya sebagai tanda ahli waris takhtaHingga meninggal, tidak ada keturunaannya yang diberikan keris tersebut
     
Karenanya, penobatan KGPH Herjuno Darpito, yang kemudian menjadi KGPH Mangkubumi, dan selanjutnya menjadi pimpinan Keraton Yogyakarta bergelar Sri Sultan HB X, merupakan hasil musyawarah internal para rayi dalemYang terdiri dari, adik-adik kandung, sedherek dalem (adik lain ibu), dan sentana dalem (paman, bibi, dan sepupu)Musyawarah para aristokrat itu menggantikan model penunjukan langsung"Jadi tidak ada alasan, hargai demokrasi ala Jogjakarta, jangan dipaksakan yang lain," pungkas Joyokusumo(dyn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Awang Faroek Lebih Baik Ditangani KPK


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler