Kerja Sama Hutchison di JICT Berakhir 27 Maret 2019

Selasa, 08 Januari 2019 – 02:15 WIB
Suasana aksi lanjutan SP JICT dan segenap pekerja pelabuhan Indonesia di depan gedung DPR, Senin (7/1). Aksi ini menyerukan Gerakan Pengembalian Aset Bangsa JICT dan Keadilan Bagi Pekerja. Foto: SP JICT

jpnn.com, JAKARTA - Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) dan segenap pekerja pelabuhan Indonesia mengadakan aksi lanjutan Gerakan Pengembalian Aset Bangsa JICT dan Keadilan Bagi Pekerja.

Aksi ini dilakukan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin, 7 Januari 2019. Dalam aksi tersebut, pekerja membawa payung hitam dan simbol hitung mundur sebagai tanda matinya keadilan bagi pekerja dan berlarutnya proses hukum kasus perpanjangan kontrak JICT-Koja serta kasus Pelindo II lainnya.

BACA JUGA: SP JICT: Negara Harus Berpihak kepada Kepentingan Rakyat

“Total kerugian negara kasus Pelindo II mencapai Rp 14,86 triliun. Di antaranya perpanjangan JICT-Koja, Global Bond dan proyek pembangunan Kalibaru yang dinyatakan Gagal Kontruksi,” kata Sekretaris Jenderal SP JICT M. Firmansyah.

Untuk itu, menurut M. Firmansyah, SPJICT bersama pekerja pelabuhan mendesak DPR RI segera menindaklanjuti kepada aparat penegak hukum dan melakukan supervisi ketat agar kasus-kasus Pelindo II dengan kerugian negara Rp 14,86 triliun tidak di-peti es-kan. Baik pelanggaran Undang-Undang dan kerugian negara sudah sangat terang benderang. Jangan sampai rakyat Indonesia menanggung beban besar akibat salah kelola pelabuhan nasional.

BACA JUGA: Selamatkan Pelabuhan Nasional untuk Indonesia Lebih Baik

“Dalam kasus JICT-Koja, kontrak perusahaan asal Hong Kong, Hutchison, di pelabuhan petikemas terbesar se-Indonesia, JICT habis 27 Maret 2019 dan di TPK Koja telah habis pada Oktober 2018,” katanya.

BACA JUGA: Negara Harus Hadir Dalam Pengelolaan Pelabuhan Nasional

Menurutnya, audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelanggaran Undang-Undang dalam kasus JICT-Koja seperti tidak ada izin konsesi pemerintah, tanpa tender, tanpa RJPP-RKAP dan tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sehingga indikasi kerugian negara mencapai minimal hampir Rp 6 triliun.

Firmansyah meminta DPR, pemerintah dan KPK yang sedang menyelidiki kasus ini harus memastikan gerbang ekonomi nasional JICT-Koja bisa kembali ke NKRI pada akhir Maret 2019.

Menurutnya, Hutchison selama ini menikmati pendapatan rerata 4-5 triliun per tahun dari JICT-Koja. “Jika dikelola mandiri tentu lebih untung. Kenapa lagi harus diperpanjang dengan asing? Kecuali ada pemburu rente yang ingin jadi komprador,” katanya.

SDM, peralatan dan teknologi sudah sangat mumpuni. Pasar pun tidak bergantung Hutchison karena ekspor impor Indonesia berdasarkan pola perdagangan antarnegara. Bukan diatur oleh perusahaan milik milyarder Li Ka Shing tersebut.

Menurutnya, DPR tidak boleh membiarkan manuver hukum Hutchison yang bermain di area abu-abu. Sampai saat ini, Hutchison masih menjalankan perpanjangan kontrak JICT-Koja tanpa alas hukum.

Selain itu, ada masalah ketenagakerjaan serius di JICT dan Pelindo II. Di antaranya pemecatan non-prosedural lewat email tengah malam, PHK massal 400 pekerja outsourcing (SPC) JICT, kriminalisasi puluhan aktivis serikat, dan yang paling kontroversial yakni tiga kali penembakan mobil anggota SP JICT.

“Di Pelindo II sendiri ada 42 pelaut yang dipecat di anak usaha, Jasa Armada Indonesia (JAI) karena berserikat,” katanya.

Firmansyah menuntut 400 pekerja outsourcing JICT (SPC) dan 42 pelaut PT JAI harus segera dipekerjakan kembali. Selain memiliki pengalaman dan keahlian cukup, para pekerja yang dipecat telah mengabdi bertahun-tahun namun malah di-PHK..
“Mereka layak diangkat sebagai pekerja tetap sesuai hasil investigasi alur produksi oleh Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara,” katanya.

Menurutnya, Pekerja JICT menegaskan tidak anti-investasi asing. Tapi silakan Hutchison menggarap pelabuhan lain bukan aset negara yang untung seperti JICT-Koja dan siap kembali ke negara tahun ini.

Dia yakin, dengan adanya kepastian hukum kasus kontrak JICT-Koja, justru membawa dampak positif terhadap iklim investasi asing agar tidak ada lagi yang bermain di area abu-abu hukum dalam kasus penjualan aset negara.

“Aset bangsa JICT-Koja harus kembali ke NKRI saat berakhirnya kontrak Hutchison pada 27 Maret 2019,” tegas Firmansyah.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bang Uchok Desak KPK Usut Perusahaan Hong Kong di Tanjung Priok


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler