Negara Harus Hadir Dalam Pengelolaan Pelabuhan Nasional

Kamis, 25 Oktober 2018 – 05:27 WIB
Pelabuhan. ILUSTRASI. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kasus perpanjangan kontrak Hutchison Port Holdings (HPH) di Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja di Pelabuhan Tanjung Priok harus diselesaikan dalam kerangka penguatan fungsi negara.

“Pengelolaan aset negara harus merujuk kepada konstitusi dan mengutamakan kepentingan nasional," ujar Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Abdul Halim saat diskusi pengelolaan pelabuhan nasional di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Senin (22/10/2018).

BACA JUGA: Intervensi ke BUMN Perlu Dikurangi Agar Tak Menyimpang

Menurutnya, penegakan hukum juga menjadi aspek penting untuk mengawal pengelolaan aset negara terutama pelabuhan nasional.

“Teori penguatan negara dalam model Fukuyama memberi kritik terhadap daya dukung negara dalam pengelolaan pelabuhan di Indonesia," ujar Abdul seperti dilansir dalam siaran pers kemarin.

BACA JUGA: Teken Kerja Sama, 14 BUMN Raih Kesepakatan Rp 201 Triliun

“Dalam kasus kontrak JICT-Koja kepada asing Hutchison terdapat anomali deregulasi yang bertentangan dengan aspek penguatan hukum oleh negara," katanya.

Berdasarkan penyelidikan parlemen dan auditor negara, kasus kontrak JICT dan Koja melanggar Undang-Undang nomor 17/2008 tentang Pelayaran.

BACA JUGA: Rini Soemarno Dorong Kaum Muda Beri Saran Kreatif ke BUMN

Disisi lain, guru besar Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad menyatakan kesepakatan kontrak yang dibuat antara Pelindo II dan Hutchison tidak boleh bertentangan dengan hukum.

"Jika terjadi pelanggaran, perpanjangan kontrak tersebut batal demi hukum. Apabila dipaksakan, sudah pasti itu ilegal. Disini Negara harus hadir," katanya.

Ditambahkan Suparji, kasus JICT dan TPK Koja semestinya bisa dituntaskan jika para pemegang otoritas mengambil tindakan tegas.

"Apalagi audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyebutkan kerugian negara masing-masing sebesar Rp 4,08 T dan Rp 1,86 T," ujar Suparji.

"Demi kepastian hukum, kasus ini harus segera tuntas," katanya.

Selain itu, Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional (UNAS) Ismail Ramadhan menegaskan Kasus JICT dan Koja dapat menjadi alat untuk mengukur bagaimana pemerintah mengelola negara.

"BUMN itu milik negara, maka publik pasti mencermati sikap yang diambil pemerintah. Jika (pemerintah) diam, masyarakat bisa ajukan gugatan class action," ujarnya.

Menurutnya KPK seharusnya dapat segera menuntaskan kasus korupsi kontrak yang melibatkan pelaku lintas negara ini.

"kasus JICT dan Koja ada unsur kerugian negara, jadi KPK jangan terkesan mendiamkan. Publik bisa menilai KPK tebang pilih dalam memberantas korupsi," pungkasnya.(jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi Diajak Jaga Aset BUMN


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler