jpnn.com - Johan Hendrik Caspar Kern. Ilmuwan kelahiran Jawa ini “orang pertama” yang meneliti sejarah Sriwijaya. Para sarjana Barat menjulukinya mahaguru.
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Kernâ¦
Persis 101 tahun yang lalu. 4 Juli 1917. Profesor Kern--demikian lelaki kelahiran Purworejo, Jawa, 6 April 1833 itu kerap dikenal—meninggal di Utrech, Belanda.
Kern memang sudah berpulang. Harimau mati meninggalkan belang, manusia meninggalkan nama. Hingga kini buah kajiannya masih dikenang-kenang.
BACA JUGA: Membaca Karl May Si Penulis Ulung
Keilmuwannya di bidang filologi India, Melayu dan Polinesia dipuja-puji. Masyhur pula sebagai ahli bahasa Sanskerta.
Sebagai ahli epigrafi, ia lama menangani bidang arkeologi pada Bataviaasch Genootschap—lembaga tempat berhimpunnya para ilmuwan kolonial.
BACA JUGA: Senarai Rahasia Nagari Sabak (2)
Kini kantor Bataviaasch Genootschap, tempat Kern pernah mengampuh ilmu menjelma jadi Museum Nasional, Jakarta. Karena ada patung gajah pemberian penguasa Thailand di pekarangan depannya, gedung itu lebih sering disebut warga Jakarta; Museum Gajah.
Suatu hari, pada Desember 1892, Bataviaasch Genootschap menerima laporan tentang penemuan baru. Sebuah peninggalan arkeologi di Pulau Bangka, sisi timur Pulau Sumatera.
Yang melaporkannya J.K. van der Meulen, pegawai pemerintahan kolonial. Temuan itu berupa tiang batu bersurat setinggi 177 cm. Lebar bagian dasar 32 cm. Lebar puncaknya 19 cm.
Demi membaca laporan tersebut, sesuai bidangnya Bataviaasch Genootschap memberangkatkan Kern ke Pulau Bangka.
Menelitinya secara cermat, pada 1913 dia merilis bahwa tulisan yang terpahat di batu itu menggunakan aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuno. Dibuat pada 608 Saka atau 686 tarekh Masehi.
Menurut bacaannya, ada empat kata Sriwijaya dalam Prasasti Kota Kapur.
Sriwijaya, tulis Kern, nama seorang raja yang pernah berjaya pada abad 7.
Ya, Sriwijaya…menurut Kern, berdasarkan apa yang tertulis di prasasti adalah nama seorang raja.
Perlu diketahui, saat itu belum pernah disebut-sebut hal ikhwal Kerajaan Sriwijaya.
Nah, kemudian hari seorang sarjana Perancis meneliti ulang kajian Kern. Namanya George Coedes.
Dengan keberanian, dan tentu saja kecerdasannya dalam menggunakan hasil penyelidikan sarjana-sarjana lainnya, Coedes menulis artikel berjudul Le royaume de Crivijaya. Naskah berbahasa Perancis yang artinya Kerajaan Sriwijaya.
Pada 1918, setahun setelah Kern berpulang, naskah Coedes dimuat halaman 1 hingga 36 dalam Bulletin de I’Ecole Francaise d’Extreeme Orient, tome XVIII, nomor 6.
Dengan menyandingkan isi Prasasti Kota Kapur dengan prasasti-prasasti lainnya, Coedes berhasil meyakinkan “dunia” bahwa Sriwijaya nama sebuah kerajaan maritim berpengaruh. Bukan sekadar nama raja, sebagaimana disebut Kern.
JPNN.com pun coba memeriksa sejumlah kajian awal tentang sejarah Kerajaan Sriwijaya. Empat tahun setelah Coedes, pada 1922 terbit buku setebal 188 halaman berjudul L’Empire Sumatranais de Criwijaya. Penulisnya Ferrand.
Inti kajiannya memperkuat “temuan” Coedes. Bahwa pernah ada kerajaan bernama Sriwijaya. Dia melengkapi apa yang pernah ditulis Coedes dengan sederet literasi sezaman.
Kajian tentang Kerajaan Sriwijaya terus lahir hingga kini. Dari seluruhnya, bisa dipastikan tak mungkin tidak memakai sumber Coedes, dan tentu saja kajian Kern, tentang Prasasti Kota Kapur.
Sebab, Prasasti Kota Kapur—satu di antara catatan tua berbahasa Melayu Kuno-- boleh dibilang yang pertama-tama ditemukan terkait pengungkapan Kerajaan Sriwijaya. Jauh lebih dulu ketimbang Prasasti Kedukan Bukit, yang digadang-gadang sebagai naskah proklamasi Sriwijaya.
Oiya, Prasasti Kota Kapur cukup lama lho menghuni Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda. Hmmm…
Di samping Prasasti Kota Kapur, dia juga meneliti prasasti kuno di Lobu Tua, Barus.
Buah keilmuwan Kern yang senantiasa hadir di ruang-ruang akademis adalah teorinya tentang asal-usul bangsa Indonesia.
Dialah orang yang mengemukakan teori bahwa bahasa-bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia, Polinesia, Melanesia, Mikronesia memiliki akar bahasa yang sama, yaitu bahasa Austronesia.
Kern menyimpulkan, nenek moyang bangsa Indonesia berbahasa Campa. Datang dengan perahu bercadik menuju Kepulauan Indonesia dari satu daerah di daratan Asia. Meski sudah dibantah banyak ilmuwan, teori itu tetap saja disebut-sebut.
Maklumlah. Entah sejauh mana kebenarannya, tetap saja itu teori ilmuwan terkenal. Ia pernah menjadi professor di Benares dan Leiden sepanjang 1865-1903.
Kern boleh dibilang ilmuwan yang sangat produktif menulis. Di antara sekian banyak karyanya, yang paling terkenal Geschiedenis van het Buddhisme in Indie. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Senarai Rahasia Nagari Sabak (1)
Redaktur & Reporter : Wenri