Kerusakan Ekologis, Imunitas Anak-Cucu dan Kewajiban Negara

Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI

Kamis, 03 September 2020 – 10:18 WIB
Bambang Soesatyo. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com - VAKSINASI seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kekebalan terhadap virus corona harus menjadi bagian tak terpisah dari kewajiban dan investasi negara melindungi serta merawat kesehatangn warga negara. Kerusakan ekologis yang menghadirkan ragam virus menuntut negara untuk terus meningkatkan daya tahan atau imunitas generasi anak-cucu.

Karena itu, pemerintah perlu didorong untuk bekerja all out agar target minimal vaksinasi 70 persen penduduk – atau 170 juta warga-- pada 2021 bisa direalisasikan demi terwujudnya kekebalan kelompok (herd immunity) dari virus Corona.

BACA JUGA: Bamsoet: Ide dan Kreativitas Kunci Sukses Pelaksanaan Modifikasi Otomotif

Bahkan, akan lebih ideal jika lebih dari 260 juta jiwa total penduduk Indonesia saat ini bisa menerima vaksin Corona. Apalagi jumlah kasus Covid-19 di dalam negeri terus bertambah dengan skala yang terus membesar. Per Rabu (2/9), kasus positif sudah mencapai jumlah 180.646. Pada tingkat gobal, kecenderungannya juga sama, karena total kasus Covid-19 pekan ini sudah melampaui jumlah 25,8 juta penderita dengan total kematian 858.000 pasien.

Beberapa hari lalu, PT Bio Farma menjelaskan bahwa Sinovac dari Tiongkok hanya akan memasok 260 juta bulk atau bahan baku vaksin ke Indonesia hingga akhir 2021. Artinya, untuk mencapai target vaksinasi minimal 70 persen, total pasokan bahan baku itu jelas masih kurang.

BACA JUGA: Bamsoet: Komunitas Pedagang Bakso Menunjukkan Semangat Pancasila

Oleh karena per orang harus menerima dua kali vaksinasi sesuai standar WHO, jumlah itu hanya bisa menjangkau 130 juta penduduk. Sedangkan kekebalan kelompok yang ideal adalah 70 persen dari total penduduk. Artinya, minimal jumlah penduduk Indonesia yang harus menerima dua kali vaksinasi mencapai jumlah minimal 170 juta jiwa.

Kekurangan bahan baku vaksin itu tentu saja harus segera diatasi. Bahkan pemerintah didorong untuk bergerak cepat mengamankan dan memastikan ketersediaan bahan baku vaksin Corona. Setelah bekerjasama dengan Sinovac, pemerintah hendaknya segera melakukan pendekatan dengan produsen lain guna mengamankan dan memastikan ketersediaan bahan baku vaksin corona.

BACA JUGA: Kunjungi Yayasan Metta Mama dan Maggha di Bali, Bamsoet: Menelantarkan Bayi Perbuatan Keji

Gerak cepat sangat diperlukan karena produsen vaksin Corona di negara lain pun diperkirakan terus berbelanja bahan baku vaksin Corona, sejalan dengan peningkatan signifikan jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia. Pekan ini, jumlah kasus Covid-19 di Amerika Serikat (AS) sudah 6,17 juta, Brazil 3,96 juta, India, 3,77 juta dan Rusia satu juta.

Kecenderungan yang diperlihatkan oleh data sementara ini sudah cukup menggambarkan tingginya permintaan akan bahan baku vaksin. Lagi pula, tak dapat dipungkiri bahwa durasi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan menyebabkan permintaan dan penawaran akan vaksin corona  menjadi tidak berimbang. Dengan asumsi bahwa 7,8 miliar warga bumi harus divaksinasi, volume kebutuhannya jelas sangat besar.

Namun, saat ini, kapasitas produksi pada tingkat global pun masih sangat terbatas. Dengan begitu, sangat jelas bahwa tingginya permintaan dunia akan bahan baku vaksin Corona bersifat sangat mendesak, sehingga pemerintah Indonesia memang perlu bergerak cepat.

Untuk vaksinasi kepada 160 hingga 190 juta penduduk, pemerintah harus mengalokasikan pembiayaan sekitar Rp 66 triliun. Perhitungan sementara mengindikasikan bahwa untuk dua kali vaksinasi per orang, biayanya sekitar Rp 440.448. Maka, kebijakan sementara yang dirancang pemerintah adalah tidak semua penduduk mendapatkan vaksin gratis.

Menurut Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Erick Thohir, hanya 93 juta penduduk Indonesia yang akan mendapatkan vaksinasi virus corona tanpa bayar. Puluhan juta warga itu dinilai sangat membutuhkan vaksin, dan kriterianya mengacu pada data keanggotaan di BPJS Kesehatan.

Diasumsikan saja bahwa rancangan kebijakan itu belum difinalkan, sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan masukan dari pihak lain. Telah disebutkan sebelumnya bahwa virus Corona akan berdampingan dengan kehidupan manusia, termasuk seluruh masyarakat Indonesia, untuk waktu yang lama, bahkan durasinya belum bisa dihitung.

Karena itu, vaksinasi bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kekebalan terhadap virus Corona mestinya menjadi bagian tak terpisah dari kewajiban negara melindungi dan merawat kesehatan warga negara. Kesehatan seluruh elemen masyarakat harus terjamin, termasuk bebas dari ancaman virus Corona. Maka, vaksinasi bagi seluruh rakyat idealnya dipahami sebagai investasi untuk menghadirkan semua elemen masyarakat yang sehat dan punya imunitas.

Kalau hanya 93 juta warga yang mendapatkan vaksin gratis, berarti hampir 60 persen dari 260 juta jiwa penduduk Indonesia harus membeli vaksin. Pertanyaannya; apakah semua dari 160 juta lebih warga mampu membeli vaksin seharga Rp 440.448 itu? Faktor lain yang juga patut diperhitungkan adalah risiko ketika tidak semua penduduk tidak menerima vaksin karena alasan tidak mampu membeli atau percaya diri berlebihan, serta meremehkan ancaman covid-19. Jika di antara mereka akhirnya ada yang tertular Covid-19, sama artinya kehadiran vaksin corona belum menyelesaikan masalah.

Dalam konteks mereduksi atau mengeliminasi ancaman Covid-19 terhadap seluruh rakyat, kebutuhan dan pengadaan akan vaksin penangkal virus Corona idealnya menjadi beban investasi negara. Sebab, negara akan kuat jika rakyatnya tangguh dan kompetitif karena imunitasnya yang mumpuni. Jadi, pemberian vaksin corona kepada seluruh rakyat patut dipahami sebagai bagian dari upaya membangun dan mewujudkan ketahanan nasional.

Virus Corona penyebab sakit Covid 19 muncul karena kerusakan ekologis. Sudah lebih dari setengah abad manusia modern menyadari rusaknya lingkungan hidup. Namun, kesadaran itu tak juga mampu mencegah kerusakan ekosistem tumbuhan dan ekosistem hewan, termasuk gagal mencegah pencemaran air dan pencemaran udara. Keterkaitan antara sumber virus atau penyakit dengan kerusakan ekosistem sudah berulang-ulang diingatkan oleh para ilmuwan.

Sejumlah penelitian di tahun-tahun terdahulu sudah mengindikasikan bahwa munculnya sejumlah virus yang mengganggu kesehatan manusia bersumber dari kegiatan manusia merusak keseimbangan alam. Kegiatan merambah hutan yang marak memungkinkan patogen atau mikroorganisme parasit pada beragam satwa liar berpindah ke manusia. Mikroorganisme parasit itulah yang menjadi penyebab atau sumber beragam penyeakit.

Rusaknya keseimbangan alam juga disebabkan ulah manusia modern melakukan pencemaran. Salah satu contoh korban pencemaran adalah berita kematian ikan paus jenis Sperm wale sepanjang 9,6 meter yang terdampar di perairan Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November 2018. Dari dalam perut ikan paus itu, tersimpan sampah plastik seberat 5,9 kg. Kasus serupa ditemukan di berbagai belahan dunia dan itu semua sudah cukup jelas menggambarkan tingginya derajat pencemaran di laut. Pencemaran tak terhindarkan karena semua sampah plastik terurai menjadi butiran kecil, untuk kemudian masuk ke tubuh manusia melalui air minum, makanan laut dan garam. 

Berdasarkan catatan dan data historis itu, serta mengacu pada kerusakan ekologis yang kini semakin parah, para ahli berpendapat bahwa pandemi Covid-19 akibat wabah mengglobal virus Corona (SARS-CoV-2) bukanlah yang terakhir. Virus-virus baru yang mengganggu kesehatan manusia berpotensi muncul lagi di kemudian hari sebagai reaksi bumi akibat ketidakseimbangan alam semesta.

Maka, negara harus terus berupaya dan berinvestasi untuk menjaga dan meningkatkan imunitas generasi anak-cucu.(***)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler