Mayoritas mahasiswa asing yang terjebak di Australia akibat pandemi virus corona mengaku tidak akan merekomendasikan negara ini sebagai tujuan untuk kuliah. 59 persen pemegang visa temporer dalam survei terbaru tidak merekomendasikan orang datang ke Australia Banyak mahasiswa asing merasa berhak untuk tetap tinggal di sini selama masa pandemi Pemerintah Australia mengaku telah mengucurkan AU$7 juta kepada Palang Merah untuk bantu pemegang visa temporer
BACA JUGA: Sosok Brett Sutton yang Mencuri Hati Sejumlah Warga Indonesia di Melbourne
Mereka adalah mahasiswa asing yang mengikuti sebuah survei yang dilakukan University of Technology Sydney (UTS) dan University of New South Wales (UNSW) dengan melibatkan 6.000 responden, termasuk pemegang visa temporer.
Para mahasiswa dan pemegang visa temporer ini memiliki kesan buruk setelah mengalami eksploitasi di tempat kerja, serta tidak dapat menerima dukungan keuangan dari pemerintah selama pandemi virus corona.
BACA JUGA: Ian Burnet, Warga Australia yang Menulis Lima Buku Sejarah Mengenai Indonesia
Para responden ini tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan tunjangan dan bantuan uang dari pemerintah melalui program seperti 'JobKeeper' atau 'JobSeeker'.
Padahal, para mahasiswa Australia di negara lain seperti Inggris, Kanada dan Irlandia, justru tetap mendapatkan bantuan dari pemerintah negara di mana mereka berada.
BACA JUGA: Rasa Bangga & Pujian Bang Saleh untuk Sukses UNAIR Racik Obat Covid-19
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan banyak mahasiswa asing pemegang visa temporer rela digaji murah, bahkan ada yang tidak digaji, demi mempertahankan pekerjaannya di Australia.
Seperti yang dialami mahasiswa asal Brasil, Renata Tavares Silva, yang mengaku diminta bekerja selama lima jam tanpa bayaran di sebuah kafe di Gordon, di pingggiran kota Sydney.
"Saya masih masa percobaan, tapi jelas bahwa saya hanya bekerja secara gratis di sana," katanya kepada ABC.
Ketika perempuan berusia 27 tahun ini menolak bekerja selama lima jam, dia pun ditawari pembayaran untuk tiga jam waktunya.
"Pemilik kafe menyampaikan jika saya lulus masa percobaan, dia akan membayar $17 per jam, di bawah upah minimum. Saya pun menyadari harus tinggalkan tempat itu," ujar Renata.
Ia mengaku telah melaporkan kasusnya ini ke lembaga pengawas ketenagakerjaan Fair Work Ombudsman.
Kasus yang dialaminya ini, katanya, juga terjadi pada banyak mahasiswa asing di Australia.
"Saya pernah mendengar ada yang ditawari $13 per jam, ada pula yang hanya $8 per jam," katanya. Baca juga: Pengemudi layanan antar pesanan asal Indonesia diuntungkan dari 'lockdown' di Melbourne Alasan tetap berada di Australia
Menurut Profesor Bassina Farbenblum, survei ini menunjukkan mayoritas responden memiliki kesan buruk dengan perlakuan Australia terhadap mereka.
"Mayoritas mahasiswa dan backpacker internasional ini, yaitu 59 persen, mengaku pengalaman selama COVID-19 di Australia menjadikan mereka cenderung untuk tak merekomendasikan negara ini sebagai tempat kuliah atau kerja," jelasnya.
Pemerintah Australia sebelumnya pernah meminta agar mahasiswa asing atau pemegang visa temporer kembali ke negaranya masing-masing jika tidak dapat menghidupi diri sendiri di Australia selama pandemi. Photo: Hasil survei terhadap 6000 mahasiswa asing dan pemegang visa temporer menunjukkan 59 persen responden tak merekomendasikan Australia sebagai negara tujuan untuk kuliah dan bekerja. (ABC News: Nick Haggarty)
Profesor Farbenblum yang terlibat dalam survei tersebut mengatakan mahasiswa asing memiliki sejumlah alasan yang sah untuk tetap berada di sini selama pandemi.
"Ada yang benar-benar tidak bisa pergi," katanya. "Karena tak ada penerbangan yang tersedia, atau karena negara mereka ditutup."
"Tapi kebanyakan dari mereka telah mengeluarkan biaya besar untuk kuliah di sini atas dorongan pemerintah Australia," jelasnya.
Sebuah survei terpisah terhadap 5.000 mahasiswa asing oleh Serikat Buruh di New South Wales (NSW) menemukan 60 persen responden kehilangan pekerjaan mereka sejak Maret. Hampir setengahnya terpaksa mengurangi makan demi menghemat uang. 'Demi kepentingan bersama'
Warga Indonesia di Melbourne menjalani kehidupan di tengah pembatasan aktivitas yang lebih ketat.
Enggan berurusan dengan pihak berwenang
Ketua Serikat Buruh NSW, Mark Morey mengatakan eksploitasi yang dialami mahasiswa asing kian meningkat, namun sedikit sekali yang mau melaporkannya ke pihak berwenang karena takut ketahuan melanggar aturan visa mereka sendiri.
"Mahasiswa asing yang terdaftar kuliah dapat bekerja selama 20 jam seminggu. Tapi seperti yang kita ketahui, tinggal di Sydney atau Melbourne dengan hanya bekerja 20 jam seminggu, tentu tidak cukup," kata Mark.
"Pengusaha melihat peluang ini dan mendorong para mahasiswa untuk bekerja lembur yang tentu saja mereka terima," katanya.
"Akhirnya mereka masuk dalam situasi yang melanggar persyaratan visa. Bila mereka mengeluh soal eksploitasi, para majikan akan bilang, kalau mengeluh akan saya laporkan ke imigrasi dan akan dideportasi," tambahnya.
Dalam sebuah pernyataan kepada ABC, Departemen Dalam Negeri mengatakan Pemerintah Australia telah mengalokasikan dana $7 juta kepada Palang Merah untuk memberikan bantuan darurat buat para pemegang visa temporer.
"Pemegang visa temporer juga dapat mengakses layanan bantuan dari organisasi masyarakat lainnya yang menerima dana $200 juta," demikian dikatakan dalam pernyataan itu.
Ditambahkan, aturan pembatasan 20 jam kerja seminggu kini telah dilonggarkan bagi para mahasiswa asing yang bekerja di sektor kesehatan, perawatan lansia atau disabilitas.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengemudi Layanan Antar Pesanan Asal Indonesia Diuntungkan Lockdown Melbourne