Profesor Brett Sutton, Kepala Petugas Kesehatan atau 'Chief Health Officer' di negara bagian Victoria, Australia, tidak hanya menjadi "wajah" dari layanan kesehatan masyarakat saat pandemi virus corona.

Wajahnya kini bisa ditemui di seprai tempat tidur, masker, dan masih banyak perabotan rumah lainnya, setelah penampilannya menyampaikan kondisi terkini dan tips kesehatan di tengah pandemi.

BACA JUGA: Wuhan Sudah Gelar Party Seperti Ini, Seolah Pandemi Covid-19 Telah Pergi

Ribuan penggemarnya telah bergabung di Twitter, ada yang membentuk kelompok "Suttonette", bahkan sebuah halaman khusus di Facebook didedikasikan untuk Profesor Sutton dengan nama 'Brett Sutton is HOT'.

Sosoknya telah dianggap menenangkan di tengah ketidakpastian oleh para penggemarnya, termasuk oleh sejumlah warga Indonesia di Melbourne.

BACA JUGA: Ian Burnet, Warga Australia yang Menulis Lima Buku Sejarah Mengenai Indonesia

Salah satunya adalah Yasmin Gahlia asal Indonesia yang tinggal di kawasan West Footscray. Photo: Yasmin terlibat di dalam grup para ibu lokal di Melbourne yang di dalamnya banyak berisi penggemar Brett Sutton.  (Supplied: Yasmin Ghaliya)

 

BACA JUGA: Pengemudi Layanan Antar Pesanan Asal Indonesia Diuntungkan Lockdown Melbourne

Ia menjadi bagian dari sebuah kelompok yang berisi ibu-ibu penggemar Profesor Sutton.

"Fansnya banyak banget, termasuk artis yang mendesain merchandise Brett Sutton yang juga anggota grup ini dan banyak yang beli," ujar Yasmin.

"Pertama kali lihat dia, [kesan saya], oh sangat profesional, informasi yang disampaikan di konferensi pers setiap hari itu jelas, berdasarkan sains," tutur Yasmin. 'Kehadirannya bikin tenang' Photo: Menurut Wilud yang bekerja di perusahaan konsultan di Melbourne, Profesor Brett memiliki kehadiran yang menarik perhatian banyak orang. (Supplied: Wilud Artika Prima Elok)

 

Wilud Artika Prima Elok adalah warga Indonesia lainnya di Melbourne yang juga mengakui kesukaannya pada Profesor Sutton.

Setiap harinya ia menonton konferensi pers Pemerintah Victoria soal perkembangan situasi COVID-19, tentunya sambil memperhatikan Profesor Sutton.

Wilud merasa daya tarik pria tersebut bukan sekedar pada penampilan fisiknya.

"Semakin lama [diperhatikan], semakin banyak informasi, semakin nge-fans," ujarnya kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

"Meskipun lagi pandemi, [keberadaan] dia itu obat, maksudnya yang menunjukkan bahwa kita sedang undercontrol [terkendali]," kata Wilud. Photo: Salah satu merchandise bergambar Brett Sutton hasil kreasi Ashley Ellis. (https://www.redbubble.com/shop/ap/53557411)

 

Hal senada dikatakan oleh Yasmin yang menurutnya pembawaan Profesor Sutton membuat banyak orang menjadi tenang.

"Dalam situasi pandemi yang bikin banyak orang khawatir dan panik, kalau dengar dia ngomong dan memberikan informasi, situasi jadi jelas dan bisa bikin tenang juga." Siapakah Brett Sutton?

Menjalani masa kecil di wilayah Croydon, di sebelah timur di luar kota Melbourne, Brett Sutton awalnya bercita-cita menjadi dokter hewan. Photo: Foto Profesor Brett Sutton berumur 22 tahun yang ia bagikan di Twitter April 2020 lalu. (Twitter/Brett Sutton)

 

Namun pengalamannya kehilangan sang Ayah karena stroke saat ia berumur sembilan tahun mengubah cita-citanya.

"Saya menjadi termotivasi tentang bagaimana kita menjaga kesehatan dan bagaimana kita merawat mereka yang tidak sehat," katanya kepada ABC.

Ia juga selalu ingat sosok ayahnya yang dianggapnya penuh kasih sayang dan menjadi inspirasi bagi dirinya.

"Saya masih ingat dia berkata kepada saya, 'kamu akan mempelajari sesuatu yang baru setiap hari'."

Empat puluh tahun kemudian, pesan itu masih terdengar jelas di benak Profesor Sutton.

Sejak tahun 2019 ia menjadi 'Chief Health Officer' Victoria dan kini Profesor Sutton adalah wajah publik dalam pertempuran melawan virus corona.

Dalam wawancara dengan ABC Radio Melbourne, pria berusia 50 tahun itu mengatakan sangat menikmati pekerjaanya saat ini dan terus bertekad untuk menjaga warga agar tetap aman selama pandemi.

"Saya tahu ini pekerjaan yang sibuk dan saya tahu pandemi menantang kemampuan untuk menanganinya, tetapi sejujurnya, tidak ada hal lain yang lebih saya sukai lakukan [selain pekerjaan ini]," katanya.

Profesor Sutton menghabiskan satu dekade bekerja di bagian gawat darurat rumah sakit, sebelum bertugas di luar negeri yang membawanya ke berbagai tempat.

Menurut laman Kementerian Kesehatan Victoria, Profesor Brett Sutton memiliki keahlian klinis di bidang kesehatan masyarakat dan penyakit menular, lewat pengalamannya bekerja di lapangan, termasuk di Afghanistan dan Timor Leste. Photo: Brett Sutton ketika memeriksa perempuan yang memiliki penyakit tuberkulosis di kamp pengungsi Afghanistan tahun 2003. (Supplied: Victorian Government)

  Menghiasi tempat tidur sampai masker

Fenomena Profesor Sutton terlihat nyata kalangan penggunan jejaring sosial Australia. Setidaknya ada empat kelompok penggemarnya di Facebook dengan pengikut antara 2.000 sampai 10.000 orang.

Bahkan pernah ada sekelompok penggemar yang membuat kegiatan virtual untuk memberikan pelukan virtual bagi Profesor Sutton yang dianggap sedang menjalani situasi yang berat dan sulit saat menangani COVID-19.

Sementara di Instagram, terdapat sejumlah seniman yang mencoba menjual barang-barang dengan wajah Profesor Sutton, seperti yang dilakukan Ashley Ellis. Photo: Berbagai merchandise bergambar wajah Brett Sutton kreasi Ashley Ellis yang dijual online. (https://www.redbubble.com/shop/ap/53557411)

 

Seniman yang tinggal di kawasan Sunshine, Melbourne ini menjual kaos, selimut, tas, sampai masker dengan tampilan wajah Brett Sutton yang berlatar belakang ungu, warna khas latar belakang konferensi pers harian di Victoria.

Selain wajah Brett, Ashley juga membuat kreasi wajah pemimpin negara bagian Victoria Daniel Andrews, Menteri Kesehatan Victoria, Jenny Mikakos, dan jurnalis Amerika Serikat, Jonathan Swan.

Produk termahal yang Ashley pernah jual adalah selimut dengan kisaran harga AU$40-$79, atau sekitar Rp425-839 ribu, tergantung ukurannya. External Link: INSTAGRAM SUTTON

 

Sebagai seorang yang mengagumi Profesor Sutton, Wilud mengatakan tingkat kesukaannya pada Profesor Sutton belum sampai ke tahap membeli produk yang memampang wajahnya.

Namun, ia mengaku sudah beberapa kali melakukan aktivitas di Facebook yang berkaitan dengan Profesor Sutton.

"Saya tahu ada beberapa teman yang adoring [kagum] banget, jadi kalau misalnya ada berita [terkait Profesor Sutton], sering tagging satu sama lain," kata Wilud.

Wilud mengatakan banyak teman-teman Indonesianya yang merasakan hal yang sama, namun tidak seekspresif warga Australia yang menunjukan kesukaan mereka dengan membeli barang-barang seperti cangkir atau seprai.

Begitu pun dengan Yasmin yang mengaku meski masker bergambar Profesor Sutton menggemaskan, tapi ia merasa malu untuk membelinya. External Link: Facebook ABC Melbourne Brett

  Digemari tapi juga dikritik

Yasmin menilai kehadiran Profesor Sutton dan fenomena pemujaannya adalah hiburan kecil di masa pandemi ditengah banyak warga mengungkapkan kekhawatiran soal pandemi.

Sementara bagi Wilud, menggemari Profesor Sutton atau Premier Daniel Andrews, kepala Pemerintahan Victoria, adalah hal yang wajar selama ada alasan yang jelas.

"Kita boleh mengagumi seseorang dalam konteks mendukung. Tidak dapat dipungkiri memang banyak juga yang suka hanya karena penampilannya," katanya.

"Menurut saya it's okay, asal dia tidak dipuja-puja kayak Tuhan."

Yasmin berharap Brett Sutton dan Premier Daniel dapat terus menjalankan tugasnya untuk membuat publik merasa aman, tapi tetap terbuka pada kritikan jika mereka mengambil kebijakan yang salah.

Meski digilai oleh banyak warga Victoria, Profesor Sutton tidak terlepas dari kritikan dalam menangani pandemi COVID-19 di Victoria, yang membuat Melbourne harus menjalani 'lockdown' lebih ketat saat ini. Baca artikel terkait: Pasang surut bisnis warga Indonesia di Melbourne saat 'lockdown' kedua diberlakukan Seberapa membantu tunjangan uang dari Pemerintah Australia bagi warga Indonesia yang berhak mendapatkannya? Warga Melbourne disarankan menggunakan masker bila keluar rumah dan jika tak bisa jaga jarak

 

Ia sempat dianggap tidak terbuka soal keterlambatan pelacakan kontak dan kasus positif menjelang 'lockdown' kedua di Melbourne, menurut sumber dari kantor pemerintah pusat seperti yang dilaporkan Herald Sun.

Masyarakat juga sempat dikejutkan dengan pemaparan data yang lebih detail dari Profesor Allen Cheng, ketika Profesor Sutton tidak menghadiri konferensi pers.

Selain itu, sejumlah warga pernah merasa tidak puas dengan penjelasan Profesor Sutton saat menanggapi kegagalan program karantina hotel di Victoria.

Program karantina tersebut diwajibkan bagi penduduk Australia yang pulang dari luar negeri, namun sejumlah penularan sempat terjadi di beberapa hotel tempat karantina dan diyakini menjadi salah satu penyebab terjadinya gelombang kedua COVID-19 di Melbourne.

Ikuti berita seputar pandemi virus corona di Australia hanya di ABC Indonesia

BACA ARTIKEL LAINNYA... Selandia Baru Terpaksa Perpanjang Lockdown Corona

Berita Terkait