Isis Pattison sudah berusaha mencari rumah sewaan selama berbulan-bulan di kota kelahirannya di Blue Mountains, di negara bagian New South Wales.
"Saya tidak tahu sudah berapa banyak permintaan yang saya kirimkan. Rasanya sangat konyol," kata perempuan berusia 24 tahun tersebut kepada ABC.
BACA JUGA: Luhut Binsar Pandjaitan Hadiri Sidang Pencemaran Nama Baik di PN Jakarta Timur
Pada satu hari dia pergi melihat sebuah properti bersama neneknya, Debbie.
"Bentuk properti tersebut yurt, seperti sebuah tenda besar," kata Debbie.
BACA JUGA: Buron Interpol Ini Ditangkap di Bali, Lalu Diserahkan ke Australia Sesuai Permintaan Kanada
"Dan pemiliknya meminta sewa A$370 (sekitar Rp3,7 juta) per minggu untuk tenda sekecil itu."
Debbie terkejut dengan apa yang dialami cucunya dan kemudian menyarankan agar Isis tinggal bersama dengannya.
BACA JUGA: Semua Urusan Hukum Bodhi Risby-Jones di Aceh Selesai, Ia Ingin Kembali Karena Kebaikan Warganya
"Saya bilang kamu bisa tinggal dengan saya dan A$370 tersebut bisa kamu tabung."
Dengan itu, keduanya sama-sama untung.
"Saya sudah tinggal sendirian selama hampir delapan tahun. Rasanya sangat kesepian dan mahal tinggal sendirian." kata Debbie.
Meningkatnya biaya hidup di Australia berpengaruh besar bagi pensiunan seperti Debbie.
Dia kesulitan membayar biaya seperti tagihan listrik dan pemanas, dan harus mengurangi belanja makanan karena harga bahan-bahan pokok yang terus melonjak.
Debbie khawatir dia harus menjual rumah yang sudah ditinggalinya sejak tahun 1981 dan pindah ke kawasan yang lebih murah, tapi jauh dari keluarga dan teman-temannya.
Meski tidak harus membayar sewa rumah, tinggal bersama dengan cucunya Isis, membuat biaya yang harus ditanggung Debbie berkurang menjadi setengahnya.
"Ini sangat membantu. Saya bersyukur dan senang dia tinggal di sini. Saya kira standar kehidupan saya jadi sedikit lebih baik. Saya bisa memiliki pemanas sekarang," kata Debbie.
Isis, yang berencana kembali ke universitas untuk kuliah perawat mengatakan ini membuat dia juga bisa berhemat.
Namun lebih dari itu, dia benar-benar senang bisa menghabiskan waktu bersama neneknya.
"Saya kira ini betul-betul cocok untuk kami," kata Isis.
"Karena kami selalu memiliki koneksi yang baik, kami saling mengerti dan itu yang membuat semuanya menjadi lebih mudah."Generasi bumerang
Menurut Australian Institute of Family Studies, sekitar 25 persen anak-anak muda yang sebelumnya meninggalkan rumah orangtua mereka, kini kembali pulang pada masa pandemi COVID.
Di negara seperti Australia, kebanyakan anak-anak ketika berusia 18 tahun memutuskan untuk hidup mandiri ke luar dari rumah orangtua, dengan berbagai alasan.
Sekarang kehidupan keluarga multigenerasi semakin menjadi hal yang umum di Australia.
"Jumlahnya sekitar 20 persen," kata Edgar Liu dari University of New South Wales.
"Alasan yang paling umum adalah biaya hidup dan keuangan. Ini mencakup berbagai hal seperti membayar biaya hidup patungan, atau menemukan cara hidup lebih hemat dan yang lainnya.
Dalam penelitian Dr Liu, ketidakmampuan membeli rumah atau membayar sewa menjadi alasan utama anak-anak muda yang berusia antara 20 sampai 30 tahun kembali lagi ke rumah orangtua mereka.
Dia mengatakan tidak banyak data yang tersedia mengenai seberapa banyak anak muda yang kembali ke rumah karena orangtua atau kakek nenek mereka mengalami kesulitan ekonomi.
Namun, penelitian yang dilakukannya menunjukkan rumah tangga multigenerasi lebih banyak terjadi kalangan keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah.
Kehidupan keluarga multigenerasi lebih banyak terjadi di keluarga dengan latar belakang multibudaya atau di keluarga yang punya pengalaman serupa sebelumnya.
"Kami bertanya mengenai apa yang mereka sukai dan tidak sukai dalam model kehidupan seperti ini," kata Dr Liu.
"Meski kebanyakan mereka mengatakan karena alasan keuangan, namun itu bukanlah hal utama yang paling mereka sukai. Alasan itu berada di urutan bawah.
"Hal utama yang mereka sukai adalah hidup bersama dengan yang lain. Jadi bila mereka kembali ke rumah, rumahnya tidak sepi, tidak ada orang lain."Keluarga multigenerasi akan semakin meningkat
Dr Liu mengatakan bukti statistik menunjukkan pola kehidupan keluarga multigenerasi yang hidup bersama di bawah satu atap akan terus berlanjut, setidaknya di Australia.
"Melihat kembali ke krisis keuangan global misalnya, baik di AS dan Inggris, jumlah keluarga multigenerasi ini meningkat dua kali lipat pada beberapa tahun pertama setelah krisis, sebelum kemudian kembali ke normal sesudahnya," katanya.
"Kita akan melihat fenomenda ini akan terus berlanjut dengan berbagai alasan yang berbeda."
Namun saat ini pengembang perumahan belum menyesuaikan diri dengan cepat dalam merespon kebutuhan keluarga multigenerasi, kata Dr Liu.
"Ini tidak sekadar mengenai berapa besarnya sebuah rumah, tetapi soal desainnya juga."
Dr Liu mengatakan desain rumah sekarang ini yang kebanyakan bersifat "open plan living" di mana tidak ada penyekat antar ruangan sehingga ruangan lebih terbuka, sebenarnya tidak cocok bagi orang-orang dewasa tinggal di satu atap yang sama.
"Kita memerlukan sikap fleksibel, misalnya seperti pintu geser yang bisa digunakan bila diperlukan, atau ruangan yang betul-betul terpisah," katanya.
"Banyak kota praja sekarang mengizinkan pembangunan rumah terpisah di belakang rumah utama, dan itu sangat membantu."
"Pemisahan kehidupan fisik tanpa mereka tinggal terlalu berjauhan."
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aksi Keji Tentara Jepang di Pulau Bangka Saat Perang Dunia II Akhirnya Terungkap