Ketergantungan Impor Masih Tinggi

Rabu, 28 Mei 2014 – 23:30 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Dewan Pakar Pusat Kajian Trisakti Adrinov Chaniago menyatakan tingkat ketergantungan Indonesia terhadap negara lain di bidang pangan masih sangat tinggi. Mirisnya, impor pangan melonjak padahal negeri ini kaya akan sumber daya alam.

"Jenis komoditasnya makin beragam, volume impor makin banyak," kata Adrinov sata Diskusi Publik bertajuk "Konstektualisasi Trisakti di Abad 21 Menuju Masyarakat Indonesia Maju, Berkualitas, Sejahtera dan Demokrasi" di Jakarta, Rabu (28/5).

BACA JUGA: CT Ingin Padukan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pencegahan Korupsi

Dia menguraikan negeri ini mengimpor puluhan jenis  buah-buahan, umbi, sayuran. "Yang lebih ironis lagi adalah impor ikan segar," kata Adrinov.

Padahal, ia melanjutkan tiga perempat wilayah Indonesia merupakan lautan.  "Impor melonjak seperti roket terbang di angkasa," tegasnya.

BACA JUGA: Pemda Diminta Bantu PNS Beli Tanah untuk Perumahan

Sebaliknya, Adrinov menyatakan bahwa 85 persen batubara yang ada di Indonesia di ekspor ke negara lain. Padahal, di dalam negeri membutuhkan banyak batu bara, misalnya di sektor kelistrikan. "85 persen batu bara untuk negara lain. Kadang PLN harus impor batubara," katanya.

Dia pun membandingkan, produksi listrik di Indonesia hanya 34 giga watt. Sedangkan di negara seperti China lebih dari 1000 giga watt, India lebih dari 200 giga watt.

BACA JUGA: Chairul Tanjung Sambangi KPK

"Yang membuat produksi mereka naik, (karena) bantuan batu bara dari Indonesia," ungkapnya. Menurutnya, kondisi miris juga terjadi karena Indonesia negara yang kaya akan sumber daya tapi tak bisa mandiri.

Sedangkan negara yang tak punya sumber daya bisa mandiri. "Bagaimana mau memajukan ekonomi kalau listrik kurang? Bagaimana anak mau cerdas, kalau mau belajar lampu mati. Mau gunakan alat elektronik tidak bisa," katanya.

Dia menambahkan bukan hanya industri yang tak bisa berkembang. "Tapi, manusia tak bisa mengejar ketinggalan karena diabaikan oleh pemimpinnya sendiri," jelasnya.

Menurut Adrinov, angka pertumbuhan ekonomi yang diklaim lima persen lebih juga tidak ada artinya bagi negara yang penduduknya besar dan memiliki sumber daya alam yang banyak.

"Angka itu mengandung unsur manipulatif, ada manipulasi untuk membentuk angka pertumbuhan. Karena angka 5,8 persen itu termasuk penjualan harta," katanya.

Dia mengilustrasikan misalnya punya rekening berisi Rp 5 juta, tapi juga punya logam mulia, emas, dan kemudian dimasukkan rekening. Otomatis isi rekening juga  bertambah.

"Apa artinya menambah kekayaan? Kan tidak. Terjadi penjualan besar-besaran sumber daya alam, dihitung sebagai bagian pertumbuhan ekonomi padahal kita melepas harta," ungkapnya. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dana Proyek Transmisi Listrik di Sumatera Lebih Rp 10 T


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler