Ketidaksetaraan Laki-Laki dan Perempuan di Bidang STEM Masih Tinggi

Senin, 14 Oktober 2024 – 14:54 WIB
Country Head Tanoto Foundation Indonesia Inge Kusuma (kemeja hijau), di SDGs Festival, Jakarta. Foto dok. TF

jpnn.com, JAKARTA - Isu ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang STEM atau sains, teknologi, teknik, dan matematika, perlu mendapat perhatian.

Merujuk International Labour Organization (ILO), perempuan hanya menyumbang 35% lulusan STEM dan hanya 8% pekerja STEM di Indonesia.

BACA JUGA: Menteri Nadiem: PembaTIK & Kihajar STEM Wadah Guru dan Murid, Kemampuan TIK Meningkat

"Laki-laki mendominasi posisi STEM yang lebih terampil dan memiliki gaji lebih tinggi, sementara perempuan terkonsentrasi di pekerjaan yang bergaji lebih rendah dan kurang terampil," kata Country Head Tanoto Foundation (TF) Indonesia Inge Kusuma dalam acara DGs Festival, Jakarta, baru-baru ini. 

Menurut studi World Bank tahun 2018, mendidik perempuan menjadi kunci untuk mengurangi kemiskinan.

BACA JUGA: Perempuan Mantan Caleg Sebarkan Video Porno

Namun, perempuan khususnya anak-anak masih menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terdampak khususnya pada saat krisis seperti bencana alam, resesi ekonomi, pandemi, atau bahkan perang.

 “Anak perempuan menghadapi diskriminasi dan kekerasan dalam berbagai bentuk,” ucap Inge.

BACA JUGA: Perempuan Dinilai Berpeluang Besar Menang di Pilkada 2024

Dia menambahkan perempuan di sektor STEM Indonesia juga menghasilkan pendapatan 28 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Sebagai perbandingan, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, mereka memiliki representasi perempuan yang lebih tinggi di bidang STEM. 

Hal itu tercapai berkat sistem pendidikan yang lebih baik, kebijakan gender, dan ekonomi yang lebih kuat.

Padahal, salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) atau pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan PBB dan menjadi target pemerintah pada 2030, ialah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan. 

Inge Kusuma menjelaskan SDGs Festival merupakan bagian dari SDGs Annual Conference 2024, yang bertujuan untuk mengumpulkan pemangku kepentingan yang terlibat dalam pencapaian SDGs Indonesia.

Juga melakukan diseminasi capaian SDGs untuk memastikan pembangunan inklusif dan akuntabel. 

"Banyak anak perempuan dipaksa menikah terlalu dini atau terlibat dalam hubungan transaksional demi bertahan hidup atau membantu keluarganya, situasi itu meningkatkan risiko kehamilan yang tidak diinginkan dan kekerasan berbasis gender," imbuhnya.

Kesenjangan dalam akses pendidikan dan layanan kesehatan bagi anak perempuan, terutama di daerah krisis, juga sangat mencolok.

Laporan Orange the World dari UN Women tahun 2020 juga menyoroti bagaimana ketidaksetaraan ini berdampak pada kesejahteraan fisik dan mental anak perempuan. 

“Realita ini menunjukkan bahwa saat ini ruang gerak perempuan masih terbatas dan kurang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,” pungkas Inge. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Remaja Perempuan Perlu Belajar Tiga Hal Penting ini untuk Masa Depan


Redaktur : M. Rasyid Ridha
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler