Laporan NICHA RATNASARI, Banda Aceh
KONDISI mulai menghilangnya pengguna bahasa daerah setempat, ternyata turut memberikan keprihatinan dan kekhawatiran tersendiri bagi para tenaga pendidik atau guru sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
BACA JUGA: Semanggi Suroboyo 2010, Ajang Temu Kangen Warga Surabaya di Jakarta
Mereka jelas cemas, jika dalam belasan hingga puluhan tahun ke depan, anak-anak asli Aceh ternyata tidak lagi mengenal dan tak memahami bahasa ibunya sendiri.Kepala Sekolah SMP Negeri 19 Percontohan Banda Aceh, Farida Ibrahim mengungkapkan, sebagian besar anak didiknya saat ini tidak memahami bahasa Aceh
BACA JUGA: Alfred Riedl, Dalang Kebangkitan Timnas Indonesia
Alhasil, dalam pergaulannya sehari-hari, lanjut Farida—sapaan akrab Farida Ibrahim, anak-anak didiknya cenderung lebih menggunakan bahasa Indonesia melayu dan bahasa inggris."Dalam pergaulan kesehariannya, mereka menggunakan bahasa Indonesia-melayu dan bahasa inggris
Selain itu, Farida juga mengungkapkan bahwa rata-rata orang tua di perkotaan jarang mengajarkan bahasa tersebut kepada anak-anaknya
BACA JUGA: Mengikuti Kunker PM Timor Leste Xanana Gusmao di Jawa Timur
Apalagi, lanjut Farida, kota Banda Aceh sendiri sudah dipenuhi oleh pendatangSehingga, kekuatan bahasa Aceh secara perlahan luntur dengan sendinya“Faktor lain, di sekolah-sekolah yang terdapat di Aceh ini adalah minimnya guru yang mampu mengajarkan bahasa Aceh dengan baik dan benar,” ungkapnya.Sementara itu, kekhawatiran tersebut tidak hanya dirasakan oleh Farida, tetapi juga Kepala Sekolah SD Negeri 67 Percontohan Banda Aceh, Deni HayatiDeni juga mengakui bahwa sebagian besar anak didiknya tersebut tidak mengerti bahasa Aceh.
Sebagai langkah awal untuk mengantisipasti lunturnya bahasa daerah yang dijuluki Kota Serambi Mekkah tersebut, yakni para guru kadang kala sedikit demi sedikit mengucapkan istilah dengan menggunakan bahasa Aceh ketika berkomunikasi dengan para siswa di kelas “Cara ini cukup efektif, dan hasilnya sebagian dari mereka akhirnya dapat mengerti dan memhami arti bahasa Aceh meskipun masih beberapa siswa saja yang memahami bahasa Aceh,” ujarnya.
Tahapan lain yang diterapkan oleh sekolah dasar berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ini juga memasukkan bahasa Aceh ke dalam muatan lokalSehingga, seluruh siswa di sekolah tersebut mau tidak mau harus mempelajari bahasa Aceh, khususnya bahasa Aceh pesisir atau bsia disebut Banda Aceh“Kami juga memasukkan mata pelajaran Bahasa Aceh ini ke dalam ujian sekolah,” imbuh Deni yang juga didampingi oleh ketiga wakil Kepala Sekolah SD Negeri 67 Percontohan Banda Aceh ini.
Ujian sekolah bahasa Aceh di sini, lanjut Deni, di bagi dua bagian, yakni ujian teori dan praktekUntuk ujian praktek, anak-anak dituntut untuk dapat mengucapkan suatu kalimat bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa AcehSedangkan, ujian yang paling dianggap sulit adalah ujian teori dengan menulis.
Deni menceritakan, sebagian anak-anak didiknya yang berasal dari kalangan pendatang bahkan anak-anak pejabat pemerintahan di Aceh tersebut sangat sulit untuk menulis kalimat dengan bahasa AcehTak heran jika nilai bahasa Aceh di sekolah yang letaknya berdampingan dengan SMP Negeri 19 Percontohan ini cukup rendah.
"Kami akui, di sekolah kami untuk nilai bahasa Aceh cukup rendah dibandingkan dengan yang lainPenyebabnya, karena anak-anak di sekolah kami sebagian besar pendatangSelain itu, komunikasi di sekolah pun bahasa Indonesia dan mereka lebih mudah untuk mengungkapkan bahasa Inggris meskipun ada pelajaran Bahasa Aceh selama 1 jam di setiap minggunya,” papar Deni.
Dengan adanya tahapan-tahapan untuk mempertahankan bahasa daerah ini, Ia berharap dapat menyadarkan bahwa identitas budaya itu sangat pentingMeskipun sayangnya, hal itu masih belum disadari dengan baik, dari lembaga pendidikan, maupun dari pemerintah.
Menurutnya, penggunaan bahasa daerah selain sebagai identitas diri, juga menekankan budi pekerti karena di dalamnya, para pemuda diberi pendidikan, untuk bagaimana bisa menghargai baik kepada satu tingkatan maupun mereka yang lebih tua"Mungkin di sekolah lain, guru lebih menekankan kepada murid untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari, ketimbang berusaha mengenalkan beberapa bahasa daerah lainnyaTetapi di sekolah ini diupayakan tidak demikian,” tukasnya(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengenal Sosok Abu Tholut di Dukuh Bae Pondok, Kudus
Redaktur : Tim Redaksi