DEMOKRASI bisa cedera di sebuah masyarakat yang tak menghormati hak hidup pepohonanMahluk Tuhan yang tumbuh di perkampungan itu telah menjadi elemen paru-paru dunia di era pemanasan global yang menghantui masa depan dunia
BACA JUGA: Bermain Yoyo versus Bercermin Diri
Namun, negara-negara industri menolak pencantuman pengurangan emisi gas rumah kaca global
BACA JUGA: Isu Gender Sampai Caleg yang Gagap
Tapi mereka menawar cuma 25 sampai 40% sajaNegara industri lebih suka membeli karbon yang mereka semburkan ke angkasa
BACA JUGA: Ada Musuh di Selimut Separtai
Mungkin, sambil berkecak pinggang, mereka bilang berani membayar dana USD 50 sampai 100 miliar saban tahun hingga tahun 2020Tidak fairnya, Indonesia sebagai penghasil kayu diminta mengurangi deforestasi sampai 50%, walaupun hutan yang ditebangi itu adalah orderan negara maju jugaSangat hipokrit dan lose-win, bukan win winTidak demokratis, karena hanya memikirkan negara sendiri dan cuek kepada dunia yang semakin merana
Demokrasi juga tercederai di sebuah masyarakat yang masih tega membunuh seekor ular yang melintas di perkampunganDalam memori kolektif kita, ular dibayangkan berbahaya, karena itu harus dibunuhPadahal, ular itu melintas perkampungan justru karena habitat mereka di hutan telah dikuasai oleh perkebunan sawit, pemukiman transmigrasi atau perusahaan HPH
Tragisnya ketika sang ular hijrah mencari tempat lain, ia malah dibunuh masyarakat desaPadahal, ia tidak menggangu“Tak ada tempat buat kita, sayangku,” tulis seekor penyair ular, bak menirukan WH Auden tentang rekannya yang mati dibantai dengan cara barbar itu
Tiba-tiba saya ingat suatu malam tahun 2007 silam saat perayaan 25 tahun Departemen KehutananPenyair Mustofa Bisri membacakan sajak berjudul “Istigozah.” Mustofa berseru betapa sekumpulan hewan yang tersisa karena habitat mereka telah dihancurkan manusia berdoa dan memohon kepada Tuhan agar manusia diganti sebagai khalifah di muka bumi
Keberbedaan antara manusia, pohon dan hewan semestinya saling melengkapi, bukan memusnahkanKeberbedaan pun terapresiasi dalam demokrasiKami di sini dan Anda di sana membuat ruang terisi dan harmoniJika Anda tak ada, kami iseng sendiri karena tak ada lawan berdiskusiMirip main catur yang butuh lawan, bukan musuh, karena tak mungkin main catur sendirian
Keberbedaan adalah takdir masing-masingSiapa yang berharap lahir sebagai apa, menjadi Amerika, China, Arab atau Indonesia? Tiba-tiba Anda terlahir sebagai Muslim, Kristen, Buddha atau KonghucuTak sempat memilih, dan dibesarkan oleh masyarakat, kosmologi, bangsa dan ideologi yang berbeda dengan orang lain
Memasuki sebuah partai pun adalah pilihan yang berbeda-beda, dan kepentingan menjadi berbeda, karena demikianlah hakikat politikYang dicoblos di bilik suara pasti calon presiden dan calon angota parlemen yang berbedaPlis-plis saja sepanjang tak memaksakan pilihan kepada orang lainBahkan tidak memaksakan pilihan kepada diri sendiri, baik karena koncoisme atau segepok money politics
Namun jika masyarakat masih mau menebangi pohon tanpa tujuan dan alasan atau yang tega dan tegar membunuh seekor ular, demokrasi menjadi ancamanBerbahayaBahkan bisa berubah menjadi anarkis
Keberbedaan telah ditanggapi secara negatifHanya karena seorang manusia bukan ular maka ia menganggap ular itu berbahaya dan bisa menyerangnya saat hendak bepergianPadahal, ular itu tak pernah menganggap manusia berbahaya dan musuh bebuyutannya
Konon, biasanya ular melawan biasanya karena diserang, kata guru biologi di masa SMASebab jika ular seekor hewan yang agresif, mengapa tak pernah terjadi ular mengintai manusia di tempat-tempat sepi dan lalu menyerang? Mengapa tak pernah terkabar, dan kemudian menjadi berita di media cetak dan elektronik?
***
Persepsi terhadap pohon dan ular yang keliru itu mempunyai relevansi dengan panggung politikPersepsi terhadap lawan politik perlu diubah, dan bukan sebagai musuh yang harus dimatikanIbarat petinju di atas ring, bukan hendak dibunuh melainkan sebagai sparing partner untuk merebuk sabuk kejuaraan
Anda butuh lawan, bukan musuh, karena ibarat kesebelasan sepakbola, alangkah absurd jika bertanding melawan kesebelasan yang tidak adaBahkan sungguh gila jika melawan kesebelasan mahluk halus yang tak kasat mataBersyukurlah jika masih ada lawan tanding sepakbola, yang membuka peluang untuk memenangkan pertandingan di bawah konsensus rule of game
Ahli-ahli yang cerdas mengatakan bahwa pentas politik adalah sebuah pertempuran tanpa pertumpahan darahPerang justru adalah panggung politik yang penuh dengan pertumpahan darahBahkan perang di era modern semestinya tak lagi seperti yang di Gaza yang dilukiskan oleh lagu Michael Heart dengan sangat pilu itu
Perang di era modern mestinya adu diplomasi di meja perundingan yang mengerahkan akal dan siasatItulah yang membedakan siapa yang beradab dan sebaliknya
Saban orang mempunyai mulut agar suaranya didengar orang lainTapi orang juga mempunyai telinga untuk mendengar suara orang lainDemokrasi yang absolut bersikap take all, meraih segalanya, sudah ketinggalan zamanTidak masanya bersikap black or white atau all or nothing.
Dunia majemukBeda bangsa, agama dan ideologyAda yang beragama, bertuhan dan ada yang atheis“Tapi orang harus dapat hidup, membiarkan orang lain hidup, jika pun tidak saling membantu untuk bisa hidup,” kata Sidney Hook, seorang filsuf Amerika kelahiran New York 1902 yang datang ke Jakarta pada 1971 dan berdiskusi dengan sejumlah intelektual Indonesia
Mantan guru besar filsafat di New York University dan Harvard University itu berkata, bahwa tanpa perlu satu agama, satu bangsa, satu ideologi, orang harus hidup bersama di bumi ini atau di sebuah negaraTermasuk yang seagama tapi beda mazhab dan pemahamanTermasuk yang seagama, tapi di antaranya ada yang saleh, setengah saleh atau sama sekali tidak saleh
Hook mengutip Karl Popper yang mengatakan bahwa kritik, diskusi dan dialog sangat perlu dalam memakai akal kecerdasanOrang diajak berasumsi bahwa, “barangkali saya salah.” Sangat berbahaya jika seseorang merasa memiliki kebenaran absolut sehingga tak mau mendengarkan orang lainPadahal kita perlu belajar mendengar orang lain agar kita juga didengar
Jika panggung politik pun berkuah darah, atau membuat seorang yang dianggap lawan politik tewas dalam sebuah demonstrasi yang anarkis, maka marwah politik telah anjlok menjadi barbarian
Pada sebuah atau segelintir masyarakat yang masih mau membunuh seekor ular karena kekeliruan persepsi, politik sebagai kenderaan demokrasi akan bermetamorfosis bagai sopir bus kota yang mabuk seraya menerabas kian kemari, bahkan menubruk pejalan kaki pada suatu siang di sebuah kota**
Redaktur : Tim Redaksi