Keluhan Fahri Hamzah dan Budiman Sudjatmiko, dua caleg DPR RI pekan-pekan silam, seperti ditulis sebuah suratkabar mengkonfirmasikan gejala negatif pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang merayakan suara terbanyak menjadi king maker menangnya seorang caleg, dan bukan nomor urut
Ibarat sebuah keluarga di satu rumah, saling curiga satu sama lain
BACA JUGA: Modal SBY: Yang Tertunda & Yang Terwujud
Ini “bom waktu” yang rawan meledak, karena yang serumah pasti tahu kelemahan masing-masingBACA JUGA: Perang Melawan Biawak di Gaza
Sang anak yang emosional, belakangan menyesal, karena bagai memercik air di dulang, kepercik wajah sendiri.Padahal, mereka yang serumah politik itu sedang berlayar menuju “pulau” Pemilu 2009Tetapi jika seorang bertugas menambal lambung kapal yang bocor, sementara yang lain membocori lambung di titik lain, alamat kapal akan tengelamTragisSemua penumpang kapal akan ikut megap-megap, dan mungkin ada yang tewas berkubur di laut sebelum sempat menginjak daratan.
Jika apa yang dikeluhkan Fahri dan Budiman itu benar, dan aksi menohok kawan seiring semakin kerap terjadi, seakan-akan bagai menyimpan “maling” di rumah sendiriCara paling efisien adalah “mengusir”-nyaRumah akan selalu kemalingan, jika si maling justru adalah insider.
Makin geger jika beranjak menjadi kasus kriminal, karena jika ada yang mengadu akan menjadi urusan polisiDituduh memfitnah, mencemarkan nama baik, sabotase, perusakan fasilitas politik dan sebagainya.
Ibarat kesebelasan sepakbola, kok teman menjegal teman yang hendak membobol gawang musuh? Malah memberi umpan kepada lawan membobol gawang sendiri, dan tragisnya nekad menendang bola ke gawang sendiriSableng banget! Ini “bencana politik” ibarat induk ayam yang heran mengapa ia beranak itik.
Giliran berikut, pemilih mual dan mati selera, lalu pindah ke caleg partai lain, siapa tahu ada yang steril dari konflikSolusi paling tegas adalah menjadi “Golongan Putih”, apabila harapan sudah padamPadahal, dengan sistem one man one vote, mereka yang berhak memilih diharapkan berduyun-duyun ke bilik suara untuk mengukir masa depan bangsa lima tahun ke depan.
Patutkah MK dipersalahkan telah mengakibatkan gejala musuh dalam selimut itu?
Ekses yang terjadi justru adalah bumerang karena berhulu dari ketidak-adilan di tubuh partai politikMisalkan, penetapan daftar nomor urut caleg selama ini berjalan dengan kriteria yang demokratis 100%, misalnya faktor kompotensi, ketokohan, senioritas, kekaderan dan basis massa, pengajuan judicial review ke MK tak akan pernah terjadi.
Masa Soekarno
Barangkali, proses rekrutmen anggota organisasi mahasiswa ekstra di masa Orde Baru, sebutlah HMI, GMNI, GMKI dan PMKRI menarik menjadi cerminAnda harus digodok dalam basic training, yang berjenjang pula agar berhak menjadi calon pengurus cabang di sebuah kota.
Hendak menjadi pengurus di tingkat provinsi dan nasional, harus pernah dan lulus mengikuti intermediate training, advance training, hingga korps instruktur, master of training dan sebagainyaIsi kepala, sikap mental, keorganisasian, pemahaman ideologi, retorika, dan terjun dalam pengabdian masyarakat, jamak dikuasasi seorang pengurus organisasi mahasiswa, masa-masa itu.
Kawah candradimuka itulah yang melahirkan sosok seperti Akbar Tandjung, Cosmas Batubara, Soerjadi, Ismail Hasan Matareum, Sabam Sirait, Eky Syahrudin dan lainnya untuk sekedar contoh saja.
Jika kita mundur ke masa Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan MNatsir lebih dalam lagiMereka bereaksi terhadap zaman dan kemudian dilahirkan oleh zamanPerkara basis pendidikan, kursus politik, nilai kejuangan dan ideologis tak diragukan lagi dan terbukti mereka lolos dari ujian zaman dan menjadi pemimpin bangsa.
Kader PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) yang didirikan setelah PNI bubar menyusul ditangkapnya Bung Karno pada 1930-an, diharuskan menjawab 150 pertanyaan yang disusun Bung Hatta, mulai dari yang sederhana hingga soal berat yang menyangkut teori-teori politik dan ekonomiMulai dari asas PNI, otokrasi, oligarki, revolusi hingga trust dan kartelTermasuk juga teori hukum, gereja, hingga perbandingan ideologi dan sebagainya.
Sikap personalisasi partai, bahwa “partai adalah saya” setitik pun tak dicerminkan oleh Bung Sjahrir di masa pendudukan JepangIa tak mendidik kadernya buta loyal saja, dan Sjahrir tak berlagak menjadi bigbosIa peduli anak-anak muda dan mendorong mereka menjadi kreatif dan mandiri, bukannya bergantung kepada dirinya.
Nah, kini, bagaimana gerangan historiografi politik seseorang sebelum ia ditetapkan menjadi caleg? Pernahkah menjadi pengurus OSIS di SMP dan SMA? Menjadi pramuka atau organisasi ekstra sekolah? Apakah pernah menjadi pengurus organisasi ekstrakampus? Atau di organisasi kepemudaan, aktivis LSM, dan sebagainya?
Berapa lama menjadi anggota partai? Kepengurusan apa saja yang pernah didudukinya di tingkat cabang, wilayah dan nasional? Adakah latihan kader di partai, bagaimana sistem, metode, jenjang, syllabus, dan kurikulumnya? Atau belum ada dan belum pernah?
Anda ulung pidato di depan umum karena belajar ilmu retorika dan prakteknya? Bagaimana Anda menguasai massa? Apakah mengerti tentang ideologi partai, negara, negara lain, memahami ideologi komunisme, kapitalisme, liberalisme, demokrasi, diktator, sampai aliran ekonomi kerakyatan dan neoliberalis hingga ke tatanan politik dan perekonomian dunia?
Pahamkah Anda tentang APBD dan APBN? Mengertikah proses sebuah UU, Perda, bagaimana pajak dan restribusi dikutip dan dialokasikan kepada kebutuhan rakyat?
Jika jawabannya adalah, ya, suasana internalpartai dan antarpartai akan kondusif dalam perlombaan bermutu yang sedap ditontonAntarcaleg separtai akan saling tahu diri, respek atas jenjang kesenioran, kekaderan, kompotensi, knowledge, dukungan basis massa dan perilaku serta sikap mentalBukannya berlomba “ambil muka angkat telor” alias “amat”, meminjam istilah orang Melayu Medan.
Harus diterima walau pahit bahwa putusan MK itu, secara tak langsung telah mengkritisi wajah (sebagian) partai politik yang menyusun daftar nomor urut caleg berdasarkan kriteria yang nonpolitikMisalnya, karena hasil lobi, nepotisme, dan apalagi hanya karena segepok uang yang dibungkus dengan sebutan kontribusi untuk partai.
Caleg dengan riwayat seperti itu harus “dijinakkan” sebelum menjadi bumerang bagi partai politikJika partai melindunginya, sehingga wabah “musuh dalam selimut” makin berkecambah, rakyat pantas saja tidak memilihnyaJangan marah jika di garis final, total suara partai jeblok karena terpuruk di bawah electoral tresholdTabik! **
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapan Israel Tinggal Sejarah?
Redaktur : Tim Redaksi