Isu Gender Sampai Caleg yang Gagap

Rabu, 28 Januari 2009 – 09:33 WIB

LALU lintas politik” kontemporer di negeri ini tampaknya akan saling tabrakan di “jalan raya” seusai Pemilu Legislatif beberapa bulan lagiCeritanya, putusan Mahkamah Kontitusi (MK) yang menetapkan keterpilihan wakil rakyat adalah berdasarkan suara terbanyak, dan bukan “daftar nomor urut” telah menimbulkan prokontra kepentingan, meskipun ihwal itu wajar saja di panggung politik sebelum menemukan modus alias jalan tengahnya.

Kisah ini bermula dari sistem Zipper, yakni 1 berbanding 3, bahwa dari tiga calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih sekurang-kurangnya harus ada satu perempuan di dalamnya

BACA JUGA: Ada Musuh di Selimut Separtai

Kemungkinan itu sudah disuarakan oleh anggota KPU Endang Sulastri seperti ditulis beberapa media cetak.

Bahkan, akan dimasukkan dalam Peraturan KPU, meskipun Perpu yang menjadi payung hukumnya belum terbit.  Jika Perpu itu terbit, maka peraturan dimaksud pun akan semakin kuat.

Tapi, caleg dan Ketua DPP Partai Golongan Karya Bambang Soesatyo memprotes rencana peraturan KPU itu
"Terus terang saya tergelitik," ujar Bambang kepada Tempo, Jumat (23/1)

BACA JUGA:

Mengapa? Ya, itu tadi: karena meminggirkan aspek keadilan dan keputusan MK soal suara terbanyak tersebut.

Padahal dengan suara terbanyak tersebut, telah merangsang para caleg untuk all out merogoh kocek agar mendapat suara terbanyak di partainya masing-masing
Terang saja Mas Bambang keberatan, karena jika tiga caleg terpilih, satu di antaranya harus perempuan

BACA JUGA: Modal SBY: Yang Tertunda & Yang Terwujud

Jika tidak ada perempuan, salah satu calon laki-laki harus bersedia mundur untuk memberi jatah ke caleg perempuan.

Tak rahasia lagi jika banyak caleg yang berkorban menjual aset atau bahkan meminjam dana, tapi karena keharusan keterwakilan wanita, caleg pria harus rela kehilangan kursi setelah berjuang keras“Di mana letak keadilannya?" kata Bambang.

Kita yang bukan caleg, tapi ikut memilih menjadi tidak enak juga jika karena suara yang kita berikan dengan ikhlas  malah menimbulkan konflikKita membayangkan seusai Pemilu, akan banyak caleg yang berbondong-bondong menyoal secara hukum tata negara karena merasa dirugikanTak selalu oleh caleg lelaki, tetapi juga caleg perempuan yang konsisten dengan quota keterwakilan itu.

Kira-kira, jika “dunia politik bengkok, maka hukumlah yang meluruskannya?” Saya tidak tahu, apakah ini yang namanya hukum politik atau politik hukum? Konon, politik hukum selalu berpihak kepada keadilan dan kebenaran, sementara hukum politik masih mengenal lobby, bargaining, atau kompromiManakah yang harus dipilih?

Kasus ini memang berada di area abu-abu, antara domain politik dan hukumDua-duanya saling mendesak ingin dicatat dan dapat tempat, walau kadang dilupakan bahwa konflik itu akan muncul justru dari mereka yang ironisnya “serumah politik” pulaKonflik itu, jika terjadi bagai “memecahkan rumah” dan keluar ke medan pertempuran, siapa lu siapa gua yang zero sum game dan win and lose solution.

TragisParadoksIronisFungsi “rumah” alias partai sebagai wadah bagi mereka yang sepayung, setujuan, seperasaan dalam suka dan duka, telah kehilangan makna.

Mungkinkah soal ini dikembalikan kepada kewenangan partai, sementara putusan MK tak mungkin dicabut lagi? Jika pun diserahkan kepada otoritas partai, tetap saja  mempertimbangkan putusan MK tersebut, bahwa suara terbanyaklah sebagai satu-satunya “tiket” menuju kursi wakil rakyatSebab jika tidak, maka mereka akan mengadu ke MK, dan MK pasti konsisten dengan putusannya.

Keterwakilan vs Gagasan

Terlepas dari kemungkinan itu, sesungguhnya keliru jika mengasumsikan bahwa caleg pria lebih unggul dari caleg perempuanKualitas dan populeritas seorang caleg tak berhubungan dengan genderTapi karena kualitas kompotensi, penampilan di masyarakat, track record, moral, kepercayaan publik hingga ke masalah finansial dan sebagainya.

Buktinya, Megawati bisa menjadi Ketua Umum PDIP, dan bahkan pernah menjadi Wapres dan PresidenMasih ada Srimulyani yang menjadi Menteri Keuangan merangkap pelaksana Menteri PerekonomianMenteri Kesehatan dan Menteri Perdagangan pun adalah  perempuanBeberapa gubernur, bupati dan walikota juga perempuanDan segudang bukti yang bertaburan di negeri ini.

Dalam bahasa guyon, bahkan tak seorang pemimpin hingga ke jabatan dan profesi tertentu apapun yang menjalankan tugasnya dengan genderMelainkan semata karena kemampuan, skill, manajemen, keterampilan, hingga ke knowledge, motivasi, visi misi dan cita-citanya.

Tanpa bermaksud etnosentrisme, di beberapa daerah yang kulturnya sangat patriarki, sebutlah di tanah Batak, eksistensi kaum perempuan tak selalu berkutat dalam stereotype di dunia sumur, kasus dan dapurMereka tak hanya mengurus rumah, tapi juga ke sawah, bahkan membelah dan menggergaji kayu, hingga ikut unjukrasa ke instansi pemerintahan dan DPRDIronisnya, kadang ada saja kaum lelaki yang asyik main catur di lepau, menghabiskan waktu dengan percuma.

Tak heran jika pepatah Tiongkok mengatakan bahwa kaum perempuan menyangga separo langit,  suatu lakon yang sejajar dan setara belaka dengan kaum lelaki.

Teks dan lakon drama “Lisystrata” karya Aristophanes yang membeberkan “mogok seks” yang dilakukan penduduk perempuan Sparta dan Athena ketika kedua negeri itu mabuk berperang, adalah contoh betapa berdayanya kaum perempuanTerbukti perang berhenti tanpa reserve, dan pernah dipentaskan dengan bagus oleh Bengkel Teater Rendra berpuluh tahun silam di Jakarta.

Barangkali, patutlah direnungkan bahwa kesempatan untuk dipilih dengan suara terbanyak juga terbuka bagi caleg perempuanTak hendak menakut-nakuti bahkan jumlah pemilih perempuan pun lebih banyak dibanding pemilih lelakiToh, tidak selalu absolutnya pemilih perempuan akan memilih caleg perempuan, juga tidak mutlak pemilih lelaki memilih caleg lelakiJadi haraplah berkompetisi secara fair.

Mungkin, yang tetap mengganjal adalah perkara keterwakilan perempuan (dan lelaki) di parlemenApakah mereka harus hadir secara fisik atau secara aspirasi dan gagasan? Sebaiknya, memang dua-duanyaTetapi jika belum mungkin oleh berbagai faktor, yang paling prinsipil adalah keterwakilan secara gagasan dan apirasinya.

Parlemen yang diimajinasikan adalah  yang tak menelorkan UU dan kontrol sosial dengan kacamata patriarki atau matriarki belakaTetapi dengan kacamata manusia seutuhnya yang menyahuti aspirasi dan gagasan kemanusiaan tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, umur dan daerahSemua dapat tempat, semua harus dicatat.

Barangkali cara memandang persoalan lah yang mutlak diluruskanKetika pelaku koruptor, sebagai ilustrasi saja, dilakukan oleh pejabat lelaki tentu saja bukan karena dia priaMelainkan karena abused of powerKetika seorang bos perempuan menindas bawahannya yang lelaki, seperti lakon  aktris Demi Moore dalam sebuah film AS di masa lalu, bukan karena ia perempuan tetapi karena ia seorang bos yang berkuasa.

Mungkin, itu pula sebabnya UU Antipornografi (dan Pornoaksi?) sempat menjadi perdebatan publikSalah satu alasan penentangnya karena RUU itu disusun dengan pandangan yang patriarkis.

Menjadi wakil rakyat tak cuma sekedar meraih suara terbanyakMelainkan bagaimana meraih, menampung dan memperjuangkan kepentingan, gender, mayoritas-minoritas, aspek suku, religi, kelompok umur, pusat-daerah, kaya, golongan menengah dan miskin serta lainnya secara berimbang dan adilDalam perkara ini, jangan-jangan masih banyak caleg yang gagap dan gugup**

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perang Melawan Biawak di Gaza


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler