Malam itu seperti malam-malam lainnya di Bali — pusat wisata Pantai Kuta dipadati orang.

Para penduduk lokal dan asing, di antaranya banyak warga Australia, berjalan di Jalan Legian, meninggalkan restoran padat pengunjung menuju bar.

BACA JUGA: PKT Salurkan Bantuan untuk Korban Terorisme

Barisan mobil melaju, memberikan penumpang gambaran tentang kehidupan dunia malam Bali.

Hari itu adalah tanggal 12 Oktober 2002, dan kehidupan malam baru saja dimulai.

BACA JUGA: Bekas Polisi Bantai Puluhan Anak Kecil, Thailand Gencarkan Pemberantasan Narkoba

Peringatan: Artikel ini memuat informasi pengeboman Bali dan dampak yang ditimbulkannya di Pantai Kuta, termasuk deskripsi para korban yang luka maupun meninggal dunia.

Tidak ada yang menyangka bahwa beberapa jam setelahnya, sekitar pukul 23:00, sebuah bom akan meledak di Paddy's Irish Pub, sebuah pub yang cukup terkenal.

BACA JUGA: Benarkah Australia Sudah Terbebas dari Ancaman PMK Indonesia?

Atau tidak lama setelah itu, bom kedua yang lebih besar akan meledak di dalam van seberang jalan, tepat di luar Sari Club.

Atau bahwa bom ketiga akan meledak sekitar 45 detik kemudian dekat konsulat Amerika.

Dalam sejarah tutur ini, kita akan mendengar cerita warga Australia dan Bali yang selamat, mantan polisi dan yang masih bertugas di kepolisian Australia, seorang wartawan yang meliput kejadian ini dan seorang pakar terorisme.

Bersama, mereka merajut kembali cerita bom Bali, peristiwa yang menewaskan warga Australia terbanyak dalam sebuah aksi teror.

(Semua hasil wawancara telah dipersingkat dan diedit penyampaiannya supaya lebih jelas.)Kehidupan malam

Warga lokal dan turis, khususnya tim olah raga Australia yang merayakan akhir musim, pergi ke Pantai Kuta untuk menikmati kehangatan cuaca, keindahan pantai dan suasana pesta di sana.

ALAN ATKINSON, mantan wartawan ABC dan salah satu yang pertama tiba di tempat kejadian perkara: Waktu itu hari Sabtu malam. Suasananya sangat berwarna, ramai dan hangat di Kuta. Kami makan di klub malam, di dekat gang Poppies yang terkenal, lalu menyusuri pantai Kuta menuju hotel saat matahari terbenam.

ERIK DE HAART, penyintas dan anggota klub liga rugby Coogee Dolphins: Saya satu kamar dengan Shane Foley dan Gerard Yeo dan kita tiba di hotel sekitar jam 16:00. Kami berenang sebentar, siap-siap, pergi makan malam lalu berjalan menuju Sari Club.

GLEN MCEWAN, anggota kepolisian Australia yang ditempatkan di Indonesia tahun 2002: Saya terbang ke Bali siang hari itu untuk memeriksa masalah penyelundupan manusia sebagai bagian pekerjaan saya. Rekan saya Mick Keelty sudah sampai di Bali. Dua polisi lainnya baru sampai hari itu. Mick dan saya bertemu di sore menjelang malam.

Biasanya, kami pegi ke Paddy's Bar di sana … tapi dua polisi ini baru turun dari pesawat, jadi mereka tidak mau ke sana. Terlalu malas, menurut saya, tapi perasaan itu mungkin yang turut menyelamatkan hidup mereka.

Jadi kami [pergi ke] restoran dan bar yang berjarak sekitar 400 meter dari sana, di ujung Jalan Legian.

THIOLINA F MARAPAUNG, penyintas dan kepala Asosiasi Korban Pengeboman Bali, Isana Dewata Foundation: Kedua teman saya menyetir melewati Legian [jalan utama di Kuta] karena hari itu Sabtu malam dan [kami ingin melihat] Kuta di malam hari.

Waktu kami masuk ke jalan Legian, situasi lalu lintas sudah ramai dari awal, jadi mobil bergerak dengan sangat lambat.

ANDREW CSABI, warga Australia yang selamat: Pada pukul 22:30, kami memutuskan untuk pergi ke Sari Club. [Tempat itu] dipadati orang dan penjaga di pintu depan. Kondisi yang normal.

Saya bertemu dengan Jodie Cearns … saya tidak tahu dia sudah kembali dari Eropa. Kami tertawa dan berpelukan lalu saya bilang 'Saya mau membeli minuman lalu saya akan menyusul Anda di depan.' Saya tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak saat itu.

DEWA KETUT RUDITAWIDYA PUTRA (nama panggilannya Deci), warga Indonesia yang selamat: Kami terjebak macet [di dalam mobil] dan posisi kami tepat di depan pintu Sari Club. Banyak orang di jalan. Para turis sibuk berbincang.

ERIK: Seolah kami sedang bersiap menghadapi kekacauan, ketika kekacauan diciptakan untuk kami.Mati lampu

Dua bom meledak di Jalan Legian tidak lama setelah jam 23:00. Salah satunya diledakkan oleh pelaku bom bunuh diri di Paddy's Bar dan beberapa detik kemudian, bom lain meledak di dalam mobil di luar Sari Club.

DECI: Orang-orang bertepuk tangan karena mereka pikir sedang ada pesta di Paddy's. Tiba-tiba mati lampu. Gelap. Beberapa detik kemudian, sebuah ledakan yang hebat terdengar. Kala itu, saya linglung. Saya merasakan mobil terangkat dari tanah. Lalu saya pingsan.

ANDREW: Rasanya bagaikan sebuah tabung gas setinggi enam kaki meledak di sebelah Anda. Saya merasakan pukulan hebat di dada dan langsung pingsan.

Saya cuma bisa membayangkan terlempar beberapa meter karena ketika saya bangun, saya tidak merasa bahwa itu adalah posisi saya sebelum bom meledak. Semuanya terjadi dalam waktu satu detik. Tidak sampai malah.

Saya bisa mengingat bau khlorida dan napalm. Baunya sangat tidak sedap. Belum pernah saya menciumnya.

ERIK: Saya sedang berada dalam toko musik [menuju gang Poppies setelah mengantar teman] dan tiba-tiba ada bunyi aneh, disusul lampu remang-remang lalu mati.

Saya berlari keluar — sama dengan orang-orang di klub — yang ingin melihat apa yang terjadi. Saya kira itu suara tabung gas atau semacamnya yang meledak. Kita di Bali. Tidak akan terpikir ada teroris atau bom.

Lalu langit dipenuhi warna oranye terang, yang aneh karena semua lampu mati. Dan saya berpikir 'Oh, kelihatannya ini terjadi dekat Sari Club.''Titik Nol'

Kedua bom itu meledak di bangunan terdekat, membakar jalan, meninggalkan lubang satu meter di depan Sari Club.

GLEN: [Dari restoran] kami melihat seperti neraka dari kejauhan. Bergerak menuju Jalan Legian tapi … neraka itu sangat luas hingga kami pikir yang terbakar adalah hotel kami [dekat Pantai Kuta].

Kami memeriksa [hotel dahulu] lalu menuju tempat yang kami sebut 'Titik Nol'.

ERIK: Saya mulai berjalan di gang Poppies dan, waktu saya sudah mulai dekat dengan titiknya, terlihat banyak orang berlari, menghindari api.

Rombongan pertama hanya mengenakan atasan. Yang kedua terlihat berdarah dan bajunya hilang. Dan semakin saya dekat, pemandangannya semakin parah.

Saya memutar balik. Dan, di sisi kanan, Paddy's Bar terbakar api. Orang-orang keluar berjalan sempoyongan. Saya melihat ke kiri di mana Sari Club berada, dan situasinya kacau parah.

ANDREW: Saya tidak bisa memahami apa yang terjadi dalam kepala saya kecuali waktu saya bangun, saya sudah menghadap ke bawah.

Kaki kiri saya, tertekuk ke kanan dan kaki kanan saya, jarinya hilang. Jadi saya melakukan satu-satunya hal yang bisa saya lakukan yaitu menjauhi panas. Klub malam itu terbakar api.

GLEN: Ketika kami berlari di gang Poppies, ada orang yang berlari ke arah kami dan menjauh dari peristiwa yang menimpa mereka. Kami berbicara dengan mereka tidak lama setelah ledakan.

Lalu ketika kami masuk ke Jalan Legian, tepat di luar Paddy's Bar, ada ratusan orang … situasinya kacau. Kalau Anda bisa membayangkan neraka itu seperti apa, seperti ini bentuknya.

ERIK: Orang-orang berkeliaran, masih dalam kondisi shock.

Banyak yang berdarah, bajunya compang-camping terkena ledakan dan ada yang berusaha melompati tembok untuk keluar.

Hanya ada mayat terbaring di tanah … Banyak yang sempoyongan … saling menolong mereka yang sempoyongan juga.

ANDREW: Saya beberapa kali tidak sadarkan diri dan saya merangkak dan ingat para perempuan di dekat saya, terlihat seperti pohon yang terbakar, mereka terbakar. Saya berusaha melambaikan tangan, meminta tolong, tapi saya bahkan tidak tahu kalau saya merangkak ke arah yang benar.

Tapi insting saya, yang mendorong untuk coba bertahan, lalu saya mencoba merangkak sampai depan klub. Saya diberitahu saat itu mungkin posisinya enam atau tujuh [menit] setelah ledakan. Beberapa orang sudah keluar.

Lalu saya tidak sadarkan diri dan jatuh ke lubang di depan klub itu sampai tentara Anthony McKay menyelamatkan saya. Saya menyebut dia malaikat pertama saya malam itu.

ERIK: Saya masih dalam posisi sangat terkejut lalu ada seorang pria yang datang dan menitipkan seorang perempuan dan berkata 'jaga dia' lalu masuk kembali ke Sari Club.

Hal ini menyadarkan saya.

Saya melihat dua perempuan di pinggir jalan dan bilang: 'tolong jaga perempuan ini, saya tidak tahu dia siapa, tapi dia butuh pertolongan'. Dan saya berbalik mengikuti pria tersebut masuk ke Sari Club.Malaikat berjalan di 'neraka'

Banyak orang memuji aksi kepahlawanan orang asing pada 12 Oktober malam tersebut. Penduduk lokal maupun turis bekerja sama menyelamatkan korban pengeboman, menyingkirkan puing, menawarkan pertolongan dan menyediakan tumpangan ke rumah sakit.

ALAN: Saya dibangunkan oleh saudara saya di Sydney yang belum tidur. Ia menelepon dan mengatakan ada semacam ledakan [di Bali] dan memastikan kalau kami baik-baik saja. Jadi saya langsung ke luar rumah karena tahu saya harus mulai bekerja.

Saya membawa buku catatan, pulpen, HP dan air. Saya bilang ke keluarga kalau saya akan mengabari mereka lalu [pergi].

THIOLINA: Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Saya tidak bisa melihat, yang nampak hanya sebuah titik cahaya di kejauhan. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada wajah saya, badan saya, tapi saya berteriak meminta tolong. 'Tolong, tolong.' Saya berusaha membuka pintu kiri mobil, tapi tidak bisa. Saya terus mencoba.

DECI: Waktu saya bangun posisi saya sudah di bawah dasbor mobil. Lengan kiri saya nyangkut di pintu. Mobilnya terbakar. [Teman saya] Lina dan Gatot sudah tidak lagi di dalam mobil. Saya berusaha keluar ... tapi tidak bisa membuka pintu kiri. ... Pintu di kursi depan terbuka, jadi saya keluar dari sana.

Di luar semuanya api. Saya tidak bisa melihat, badan saya berlumuran darah. Saya berusaha tetap tenang dan mencari jalan keluar menghindari api.

GLEN: Jalan Legian itu satu arah. Jadi kendaraan darurat tidak bisa masuk ke sana. Satu-satunya cara untuk menolong korban adalah dengan mendudukan mereka di motor orang yang mau menolong.

ERIK: Saya menarik siapa pun yang saya bisa di depan saya untuk menolong mereka. Tidak tahu apakah itu laki-laki, perempuan, anak-anak, siapa pun. Saya tidak peduli mereka siapa, saya hanya melihat manusia yang butuh pertolongan. Dan saya melakukan apa yang saya bisa.

ANDREW: [Saya] diletakkan di seng dan empat orang menggotong saya di gang Poppies. Di perjalanan saya pernah bilang 'Saya butuh torniket, darah saya tidak berhenti.' Dan mereka memberikannya ... saya melihat kaki saya. Saya menyadari parahnya kondisi kaki saya dan tahu ini masalah besar.

Keluarga saya Katolik dan saya mulai berdoa. Mengucapkan doa untuk saya sendiri. Lalu ada perempuan yang mencatat identitas saya dan saya berkata 'Saya benar, kita bisa menolong orang lain.' Saya pikir saya akan meninggal saat itu.

THIOLINA: Tiba-tiba, saya merasakan sebuah tangan yang sangat besar mengeluarkan saya dari mobil. Saya tidak tahu bagaimana saya dikeluarkan, entah melalui pintu atau jendela. Tangan itu mengeluarkan dan membaringkan saya.

Saya tidak bisa melihat apa-apa, jadi saya cuma bisa meraba dengan tangan saya. Saya merasa ada di trotoar. Lalu, menurut orang-orang, saya lari dari lokasi kebakaran dan terus meminta tolong.

DECI: Ada seorang perempuan yang menolong saya, memanggil saya supaya dipanggilkan ambulans. Dia mendudukan saya, memberi air. Ia lalu mencarikan saya kendaraan untuk mengangkut ke rumah sakit.

THIOLINA: Tiba-tiba, saya bertemu seseorang yang menuntun saya ke mobilnya, saya tidak tahu ia siapa tapi ia menyuruh saya masuk mobil ... Ia menanyakan nama saya dalam bahasa Inggris. Saya memberikan padanya nomor ibu saya. Ibu saya tidak percaya saya di sana malam itu. Lalu pria ini membawa saya ke rumah sakit di Kuta.

ERIK: Pada satu titik saat saya masuk ke dalam klub, atapnya runtuh dan ada tiga perempuan yang terperangkap di ujung klub di atap yang terbakar. Dan mereka berteriak minta tolong.

Saya melihat mereka dan berpikir 'saya harus berjalan menyeberangi atap ini, yang panjangnya 20 kaki, dan terbakar.' Berat badan saya 120 kilogram. Saya pikir 'satu kali menyeberangi saja sudah bagus, bagaimana menyeberang tiga kali dengan membawa satu perempuan setiap kalinya.'

Jadi saya terpaksa meninggalkan perempuan itu dan membiarkan mereka meninggal. Otak saya mengatakan saya melakukan hal yang benar tapi hati saya terus mengatakan 'kamu pengecut' ... dan saya masih dihantui keputusan yang saya buat 20 tahun lalu ini.Situasi dalam 'zona perang'

Rumah Sakit Sanglah langsung kewalahan menangani korban yang datang. Beberapa di antaranya ada yang diterbangkan ke Australia untuk ditangani ahli luka bakar.

ALAN: Rumah sakit Sanglah seperti medan perang. Kamar-kamar penuh dengan pasien, para petugas bekerja lebih keras, orang-orang mengalami luka yang mengerikan, terbakar, dan beberapa bisa saja meninggal.

DECI: Sampai di sana [rumah sakit Sanglah] sudah sangat penuh, korban ada di mana-mana. Saya tidak langsung mendapat bantuan … Sampai akhirnya seorang perawat membawa kursi roda dan meminta saya untuk duduk lalu mendorong ke dalam. Begitu di dalam saya harus menunggu karena saking penuhnya. Saya ingat cuma bisa memegang tangan untuk menahan darah yang terus keluar.

... Begitu mereka mengangkat saya dari kursi roda, saya tidak ingat apa-apa. Saya bangun dan melihat ibu saya ada di sebelah dan bilang kalau saya tidak sadarkan diri selama tiga hari. Dan kondisi saya tidak baik.

ALAN: Di luar [rumah sakit], ambulans dan truk terus berdatangan, membawa lebih banyak korban. Anak-anak memanjat pohon dari sebelah untuk mengintip.

ANDREW: Saya ingat dibawa di belakang bak mobil dengan alas setrikaan. Mereka bilang saya akan dibawa ke rumah sakit Sanglah. Saya ingat mereka mencoba agar kami tetap tenang sambil mengecek luka. Amputasi pertama saya dilakukan di Bali, kaki kiri di atas mata kaki dan di kaki kanan bagian jarinya.

... Kemudian dibawa dengan tandu ke Denpasar untuk diterbangkan ke Darwin menggunakan pesawat Hercules.

THIOLINA: Setelah salah satu rumah sakit kepenuhan, sebuah ambulans membawa saya ke rumah sakit militer di Denpasar. Sampai di sana saya mendengar rumah sakit yang bising karena ada banyak orang. Ada yang menjerit matanya rusak hingga harus dioperasi malam itu juga. Saya dengar mereka kesulitan untuk mendapat infus. Saya dioperasi malam itu.

ALAN: [Di rumah sakit] saya bertanya siapa yang bertugas dan seorang dokter datang, terlihat capek tidak tidur semalaman, ia juga membawa papan yang besar sambil menunjukkan nama yang ada di daftar, kebanyakan nama-nama Australia dan alamatnya. Saya mulai menulisnya sambil gemetaran.

Saya bertanya apakah ia tahu berapa banyak yang akan meninggal, berharap dia tak tahu jawabannya. Tapi ia mengatakan 181 orang dan satu orang dari rumah sakit lain, jadi sejauh ini 182 orang.Mencoba mencari jawaban

Aksi teror bom dilakukan oleh kelompok Jemaah Islamiah (JI), sebuah grup bermarkas di Asia Tenggara yang terinspirasi dan memiliki kaitan dengan Al Qaeda. Kelompok militan ini diyakini sudah merencanakan pengeboman sejak 10 bulan sebelumnya dengan strategi baru mereka: menargetkan klub malam dan bar. 

SHANE HAMMING, pakar dari pusat data bom di Kepolisian Federal Australia yang dikirim ke Bali: Saya pertama kali mendengar pengeboman ini dari berita di hari Minggu. Tentunya sangat mengejutkan. Tayangan di televisi sangat dramatis dan menyedihkan.

SIDNEY JONES, pakar keamanan Asia Tenggara pendiri dan penasehat senior di Institute for Policy Analysis of Conflict, Jakarta: Saya merasa [pelaku serangan teror] bermaksud menciptakan ketakutan. Bukan untuk hal lainnya, tapi keinginan untuk menunjukkan kepada orang-orang Barat bahwa di mana pun mereka tidak aman.

NATHAN GREEN, penyelidik lokasi kejahatan di Kepolisian Federal Australia, yang berangkat ke Bali sepulangnya dari bulan madu: Ada dua penyelidikan yang dilakukan serentak. Penting untuk diingat bahwa tidak ada di antara lokasi-lokasi tersebut yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Kepolisian Federal Australia. Semuanya berada di wilayah yurisdiksi Kepolisian Republik Indonesia. 

Tapi kami melakukannya secara bersamaan, yakni, penyelidikan pembunuhan [dari] aksi teror bom yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia, dan di saat yang bersamaan mengidentifikasi 202 orang korban.

GLEN: Seiring waktu, kami memiliki polisi yang berbeda-beda dari 100 lebih polisi yang didatangkan dari Australia. Ada yang khusus forensik, penyidik, ada pula yang tugasnya menghubungi keluarga. Jadi semua unit datang untuk bekerja sama.

NATHAN: Ini peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam penegakan hukum Australia mana pun. Kebanyakan yurisdiksi lebih berpengalaman dengan korban yang sedikit saat penyelidikan, belum pernah ada yang harus melakukannya dalam skala besar seperti ini. Jadi kami merotasi orang untuk meningkatkan keterampilan, juga meminimalkan dampaknya terhadap tenaga kerja.

Pekerjaan yang cukup menantang. Saat itu saya masih muda, berusia 25 tahun. Sudah pernah berhadapan dengan orang mati, tapi tidak pernah dua sampai tiga di saat bersamaan. Jadi benar-benar lebih sulit dengan kehancuran akibat bom Bali.

GLEN: Awalnya ada orang-orang yang mencoba mengidentifikasi saudara atau teman mereka. Tapi untuk menjelaskan sulitnya mengidentifikasi membuat mereka juga harus berhadapan dengan emosi sendiri, tentu menjadi tugas yang cukup berat.

NATHAN: Saat dirotasi pertama kali, saya membantu penyelidikan sisi kejahatan. Kemudian tugas saya lebih ke mengidentifikasi korban.

Jadi saya bekerja dengan tim rekonsiliasi yang melihat ... data dan mencoba untuk mengidentifikasi wajah dan kepala, termasuk DNA dan sidik jari serta menggunakan metode forensik tradisional.

SHANE: Dari persepektif ledakan, kita melihat lokasi Sari Club dan Paddy's Bar.

Kita mengamati daerah sekitarnya, dari kejauhan, karena kuatnya ledakan sehingga ada tanda yang sangat memiliki karakteristik dari kerusakan.

Ini akan membantu untuk menentukan kategori ledakan.

[Misalnya], ledakan sangat kuat, ledakan militer, ledakan tingkat lebih rendah dengan bahan komersil, atau ledakan dengan bahan buatan rumahan.

Jadi kami percaya, dan hingga saat ini, dari 1.000 atau lebih kilogram, sekitar 500 kilogram yang sebenarnya diledakkan. Sisanya, menurut opini saya, terdegradasi. Karena itu kita lihat bola api begitu besar dan menyebabkan luka yang mengerikan.

NATHAN: Ini adalah peristiwa pengeboman terbesar yang pernah saya datangi, bahkan sampai saat ini. Sangat besar. Ada 202 orang yang mati sekaligus dalam satu lokasi, tentunya sangatlah menyedihkan.

SHANE: Ini bukan ledakan karena bahan komersial yang diproduksi di bawah protokol ketat, tapi juga bukan ledakan berkekuatan militer yang dibuat mengikuti protokol dan telah diuji coba.

Ini adalah ledakan buatan rumahan yang dicampur oleh orang-orang, yang sebenarnya tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mereka diberi perintah untuk mencampur komponen bahan ledakan dan mencoba sebaik mungkin. Tapi ternyata tidak sekuat yang mereka kira sebelumnya.

Dan ketika mereka mengikuti instruksi bagaimana membuat bom mobil, bagaimana meledakkannya, bagaimana menghubungkannya dan menyimpannya di mobil, cara pembuatannya tidaklah ideal, saya rasa. 

NATHAN: Mulai ketahuan caranya setelah meledak. Saya tidak terlibat dalam bagian itu. Tapi saya tahu banyak kolega saya terlibat dalam penyelidikan dan sejak itu keliling Indonesia untuk melihat dugaan pembuatan bom atau pabrik pembuatan bom.

SHANE: Semua informasi yang datang dari penyelidikan dan saksi mata, menjadi penting untuk mulai menyempurnakan hipotesis dan akhirnya menjadi jelas, pada kenyataannya ternyata bom bunuh diri. Ada orang di dalam mobil van dan orang yang membawanya masuk ke Paddy's Bar.

SIDNEY: Hampir semua yang terlibat dalam bom Bali 2002 terkait dengan Jemaah Islamiah [JI] yang bermarkas di Malaysia, bukan di Indonesia. Jemaah Islamiah adalah kelompok sempalan dari pemberontakan lama yang ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia.Berhadapan dengan perakit bom

Setelah mengumpulkan bukti desain bom, sekelompok penyelidik AFP dikirim ke penjara Kerobokan untuk mewawancara salah satu perakit bom tentang proses pembuatannya.

NATHAN: Saya ada di sana untuk merekam wawancaranya. Jadi saya di sana sebagai pengamat.

Tapi sebagai remaja berusia 25 tahun yang duduk setidaknya tiga atau empat kaki dari pelaku bom Bali, yang ada beberapa orang, tapi waktu itu hanya satu yang kami wawancara, mendengarkan mereka bercerita tentang perannya dalam kasus ini atau komentarnya terhadap perkiraan rancangan bom dan bagaimana cara kerjanya dengan biasa saja, adalah sebuah hal yang mencengangkan yang pernah saya alami.

Saya masih ingat jelas hari itu. Masih bisa menggambarkan titik saya berdiri di halaman penjara dan meja tempat pelaku pengeboman. Dan mereka cuma berinteraksi dan bahkan bercanda seperti layaknya warga Indonesia lain yang pernah saya temui. Mereka orang yang ramah dan tidak menakutkan.

Saya pribadi marah karena sebenarnya orang-orang yang dituduh pelaku ini telah melakukan tindakan kriminal keji. Tapi saya ingat mereka sangat seperti orang biasa.

Mereka tidak terlihat kejam, atau pun punya mata yang tajam seperti hiu. Mereka tersenyum, tertawa, layaknya orang biasa. Ini yang membuat saya, pada waktu itu, sulit menerima kenyataan ini.

Saya tidak tahu mengapa kita selalu berekspektasi bahwa mereka akan terlihat berbeda dengan manusia biasa. Tapi sebagai seseorang yang terlibat dalam peristiwa yang mengorbankan orang-orang tidak bersalah yang hanya berlibur dan menikmati waktu mereka, dan bagaimana pelaku ini terlihat seperti orang biasa yang saya temui di jalanan Bali, membuat saya sulit menerima kenyataan ini.

[Setelah pertemuan] saya ingat kami semua, tim forensik, tim penyidik, dan ahli pusat data bom yang ada di sana, kami diam-diam merasa bangga. Karena bagaimana kami mempertanyakan tentang rakitan itu kepada terduga dan perkiraan kami tentang bagaimana rakitan tersebut dibuat, hampir sempurna.

Jadi saya rasa ini adalah pemulihan nama baik dari proses penyidikan dan upaya intelijen yang sejauh itu mendekati kebenaran.

Dengan berusaha memahami bagaimana sirkuit dirancang, atau mekanisme pemicu yang digunakan, atau bahkan materi peledak yang digunakan bisa memberikan kami petunjuk ke proses latihan terduga dan siapa yang mengadakannya.

Dan informasi ini bisa menuntun pada siapa sebenarnya kelompok yang harus bertanggung jawab, dan kelompok teroris mana yang merakit bom ini.

SIDNEY: [Para teroris] bom Bali ini terinspirasi oleh dua hal. [Yang pertama] adalah fatwa Al-Qaeda tahun 1998, yang mungkin menginspirasi serangan 9/11, yang menyuruh semua umat Muslim untuk menyerang aliansi Kristen Zionisme, di mana dan bagaimana pun caranya.

Dan ini merupakan fatwa dari Al-Qaeda yang turut menginspirasi kejahatan dari kelompok di banyak tempat berbeda termasuk faksi JI yang dipimpin Hambali.

Faktor kedua yang menginspirasi bom Bali, yang sama pentingnya, adalah kejahatan komunal yang semakin banyak di Indonesia, misalnya di Ambon dan Poso pada tahun 1999 dan 2000 di mana ada umat Kristen dan Muslim bertengkar, serta umat Muslim meninggal di tangan umat Kristen.

Ini artinya umat Muslim yang terlibat dalam pertikaian di dua tempat ini, yang meliputi anggota JI, bisa memakai fatwa Al-Qaeda tahun 1998 dan bilang, 'ini terjadi juga di Indonesia, Muslim dari aliansi Kristen Zionisme dibunuh oleh kelompok besar ini.'

Konsep ini diterjemahkan dari konteks global ke lokal dan menjadi alasan, untuk pertama kalinya, JI terlibat dalam kejahatan di tanah Indonesia dalam cara yang tidak pernah dibayangkan atau dipakai sejak berdirinya JI hingga panasnya peristiwa kejahatan di Ambon tahun 1999.Dua puluh tahun kemudian

Di tahun 2008, tiga pria dihukum mati karena peran mereka dalam pengeboman di Bali. Tersangka lain yang terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya dibebani hukuman penjara seumur hidup, dengan beberapa sudah meninggal beberapa tahun sejak pengeboman tersebut.

SIDNEY: Kita tidak bisa memusnahkan kelompok teroris seluruhnya. Tetap akan ada sel yang kecil dan independen, beberapa yang tidak tahu apa-apa, namun tetap percaya bahwa mereka mempunyai sebuah misi.

ALAN: Saya hanya berharap mereka bisa melindungi hal istimewa dari Bali, bahwa pulau tersebut berbeda dengan tempat lainnya di Indonesia. Bali mempunyai tradisi keagamaan, tradisi yang berbeda [dan] orang-orangnya pun berbeda.

... Ada kehangatan orang Bali yang dihargai setiap orang yang menjumpai mereka.

ERIK: Tidak ada kata selesai. Menjadi penyintas bagi saya bagaikan hukuman seumur hidup ... Setiap kali sebuah keluarga berkumpul, tetap ada kekosongan dari anak atau suami mereka ... dan selama 20 tahun terakhir, banyak sekali yang terjadi ... Jadi sulit rasanya untuk 'move on'. Sulit melupakan semua ini.

DECI: Keluarga dan teman-teman saya tidak meninggalkan saya dan mereka selalu membantu saya dengan segala kekurangan, terutama di awal peristiwa, waktu saya menutup diri dari dunia. Saya tidak pernah mau diwawancara wartawan.

Ini adalah pertama kalinya [saya menjalani] wawancara. Yang berarti saya mulai berani untuk bercerita.

ANDREW: Di Darwin, dengan dukungan keluarga, teman, sukarelawan, pebisnis, saya juga tertantang untuk menunjukkan keberanian dan mencoba. Saya sudah melakukan sesi konseling di sana dan tentu masuk akal kalau dibilang apa yang terjadi pada saya adalah suatu hal tragis, namun ini juga adalah sesuatu yang bisa saya bangun. Jadi hal-hal ini yang terus saya bawa.

Lucunya adalah bagaimana saya selalu mengatakan tindakan positif akan mengundang hasil yang positif juga, dan ini terjadi pada saya. Saya mulai menjadi lebih sehat, bugar. Saya menerima rehabilitasi di Darwin, selama delapan minggu, menjadi orang Australia terakhir yang keluar dari rumah sakit itu.

... Saya tidak punya rasa benci atau pun amarah. Tidak bisa saya biarkan rasa ini ada di hidup saya, karena waktu saya menyimpannya, saya tidak menyembuhkan diri. Jadi dari awal saya putuskan untuk tidak membuka diri terhadap pikiran untuk balas dendam atau pun rasa benci. Dan saya sama sekali tidak rasis.

... Saya sangat peka terhadap sekitar, rasanya berbeda setiap kali ada di bandara dan tidak juga merasa aman di angkutan umum. Tapi saya sedang berusaha mendapatkan kehidupan lama saya kembali. Saya sudah mendapatkannya. Dan saya bisa menikmati hidup dan menghargai setiap menitnya.

THIOLINA: Saya menyimpan sebuah pecahan kaca yang dokter ambil dari mata saya. Setiap kali saya membuka lemari, saya akan menangis. Saya ceritakan ini semua ke psikolog.

Saya menyimpan semuanya, semua artikel. Awalnya saya pikir adalah hal yang baik untuk menyimpan semua dokumen ini sebagai bukti sejarah hidup.

Tapi [psikolog] saya menyarankan untuk membuang semuanya, segala hal buruk dalam hidup saya supaya saya bisa hidup dengan lebih sehat. Jadi saya buang pecahan kaca tersebut di Pantai Kuta dan semua artikel yang dikirim teman saya sudah saya bakar. Begitu juga dengan foto-fotonya. Saya bakar semua.

Dan syukurlah, apa yang dikatakan psikolog saya benar. Saya merasa lebih sehat. Dan yang luar biasa adalah saya tidak lagi takut pada macet.

ERIK: Satu hal yang menonjol bagi saya adalah bagaimana banyak orang, banyak warga Australia yang bergerak hari itu, bahkan malam itu. Bisa dilihat dari foto-foto orang sedang berjalan sempoyongan namun tetap berusaha mengangkut orang-orang.

Ada orang di rumah sakit, mereka membelikan air dan memberikannya pada yang membutuhkan, dan membersihkan luka para korban.

Dokter Billy McNeil bahkan berdiri selama 72 jam untuk menolong orang dan memperhatikan luka para korban agar mereka tetap hidup.

Para perempuan yang melayani di rumah sakit karena banyak orang Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris atau bahasa lain ... Mungkin akan bagus sekali kalau orang-orang ini diberi penghargaan atas kontribusi luar biasa mereka malam itu dan keesokan harinya.Kredit

Reporter:  dan 

Fotografer: Phil Hemingway

Editor:

Penerjemah: Natasya Salim dan Erwin Renaldi

Foto tambahan diambil dari Reuters, AP dan Facebook

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gadis Kecil Ini Akhirnya Punya Telinga Baru yang Dicetak dengan Model Telinga Ibunya

Berita Terkait