Ketimpangan Digital Jadi Tantangan Sektor Ekonomi Kreatif

Sabtu, 13 Januari 2024 – 06:25 WIB
Capres nomor urut 3 di Pilpres 2024 Ganjar Praowo bersama Gus Kiki, dan Mbak Yenny Wahid berziarah ke makam Gus Dur, Mbah Hasyim dan keluarga besar Pesantren Tebuireng. Foto: Keluarga Yenny Wahid

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan masih banyak tantangan yang dihadapi pelaku ekonomi kreatif di berbagai bidang.

“Ekonomi kreatif ini kan luas ya. Ada subsektor fashion, makan-minum (FnB), digital (apps), dan lainnya. Tentu tantangannya pun berbeda yang dihadapi masing-masing subsektor,” kata Nailul, Jumat (12/1/2024).

BACA JUGA: Indef Tanggapi Wacana Pemisahan Ekonomi Kreatif dari Kemenpar

Dia menyebut tantangan juga termasuk di sektor digitalisasi. Di tengah permintaan yang terus meningkat, namun sumber daya manusia masih terbatas.

“Juga ketimpangan digital, infrastruktur menjadi salah satu problemnya,” kata Nailul.

BACA JUGA: Young Lex Eksplorasi Potensi Ekonomi Kreatif Solo Bersama Peluru Tak Terkendali

Sebelumnya, Calon Presiden nomor 3 di Pilpres 3 Ganjar Pranowo mengatakan pengembangan ekonomi kreatif dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan perekonomian sekaligus lapangan pekerjaan dalam negeri.

Untuk itu, Ganjar menyebutkan salah satu dukungannya nanti ialah mempercepat penyediaan layanan internet cepat hingga ke wilayah terluar di Indonesia.

BACA JUGA: Generasi Perintis Menunggu Solusi Jitu Ganjar Menyelesaikan Keresahan Anak Muda

“Kami dapat fasilitasi dengan internet cepat agar anak-anak Indonesia yang berada di ujung Indonesia sana bisa juga mempunyai knowledge yang bagus,” ujarnya.

Pengetahuan mereka dapat ditampung, dikolaborasikan dalam sebuah ruang kreatif.

“Mereka punya knowledge yang bagus maka sebenarnya creative hub-nya tinggal disediakan. Kolaborasi di antara mereka sebenarnya memunculkan tokoh-tokoh baru," kata Ganjar.

Nailul menegaskan dengan digitalisasi, pasar terbuka melampaui batas wilayah. Namun, di Indonesia, masih ada batas ‘jaringan’.

Akses internet yang belum merata, membuat pasar berbasis digital terkonsentrasi di kota tier 1 dan tier ke 2 alias kota-kota besar.

“Meski secara market besar, tetapi pasarnya terkonsentrasi di kota tier 1 dan 2. Kota tier 3 dan 4 masih sangat terbuka. Namun, potensinya terbatas. Makanya perlu dukungan untuk bisa masuk ke kota tier 3 dan 4,” ungkap dia.

Dia menyebut kaitan antara ekonomi digital dan ekonomi kreatif sangat erat.

“Dengan demikian, kenaikan ekonomi digital akan mengerek ekonomi kreatif juga,” ujar Nailul.

Kemudian subsektor fashion dalam negeri menghadapi soalan persaingan.

“Persaingan dengan produk impor yang nilainya sangat besar sekali, terutama di era digital. Banyak dari pemain fashion yang mengeluhkan persaingan dengan produk impor. Padahal industri fashion tengah naik. Ini juga perlu dukungan dari pemerintah,” tegas Nailul.

Dari semua itu, Nailul menilai subsektor makanan dan minuman yang ‘free entry, free exit’, bisa jadi andalan.

Free Entry dan Free Exit artinya ada  kebebasan penjual untuk membuka atau menghentikan usaha mereka di dalam pasar.

“Masuk ke bisnis FnB sangat gampang. Namun, jika tidak mempunyai kualitas dan harga bersaing ya gampang exit juga.  Sektor ini mampu didorong terutama konsumsi masyarakat kita juga besar ditambah konsumsi leisure seperti beli makan di restoran atau kafe meningkat,” tutur Nailul.

Gempuran Impor

Peneliti CORE Indonesia (Center of Reform on Economics) Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah patutnya memikirkan masalah mendasar dalam industri kreatif. Perlu diatasi lebih dahulu masalah yang selama ini menghambat perkembangan industri kreatif.

“Sebenarnya pemerintah atau pemerintah yang baru nantinya perlu balik kepada masalah-masalah dasar yang menghambat perkembangan ekonomi kreatif di dalam negeri,” ujarnya.

Yusuf menyebut salah satu masalah mendasar adalah persaingan antara produk industri kreatif anak bangsa dengan produk dari luar negeri.

“Seperti misalnya masalah persaingan dengan komponen atau produksi ekonomi kreatif di luar negeri,” tambahnya.

Pemerintah juga patut memperhatikan gempuran budaya asing ke Indonesia. Selain itu, problem mendasar lain adalah apresiasi terhadap pelaku industri kreatif yang masih minim hingga akses pada pembiayaan.

“Masuknya budaya asing kemudian juga masih rendahnya apresiasi masyarakat terhadap profesi ekonomi kreatif. Masalah akses pasar dan pembiayaan hingga masalah adaptasi teknologi dan kelangkaan bahan baku," ujar Yusuf.

Yusuf menilai pemerintah baru hasil Pilpres 2024 diharapkan mampu mengatasi masalah mendasar tersebut alih-alih memisahkan lembaga Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

“Menurut saya justru beragam hal mendasar tersebut lebih penting untuk didiskusikan dibandingkan hanya fokus pada pemisahan institusi atau lembaga Badan Ekonomi Kreatif saja karena gabung atau tidaknya, tetap akan harus menyasar masalah-masalah fundamental tersebut,” pungkasnya.(fri/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler