Ketua Banggar DPR Dorong Perubahan Pola Subsidi BBM dan LPG

Sabtu, 27 Agustus 2022 – 05:46 WIB
Ketua Badan Anggaran DPR RI M.H. Said Abdullah. ANTARA/Dokumentasi Pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Banggar DPR RI MH Said Abdullah mengatakan harga minyak dunia mengalami kenaikan cukup tinggi tahun ini.

Oleh karena itu, menurut Said, Pemerintah telah menganggarkan subsidi energi yang sangat besar hingga mencapai Rp 502 triliun.

BACA JUGA: Harga BBM Pertalite Naik Supaya Subsidi Tepat Sasaran Bisa Diterima, tetapi Faktanya?

Dana tersebut, menurut Said, hanya habis digunakan untuk menyubsidi harga energi yang saat ini 80 persen subsidi LPG 3 Kg masyarakat mampu.

“Kenaikan harga pertalite juga mendorong migrasi keluarga mampu mengonsumsi pertalite, akibatnya kuota Pertalite yang disediakan pemerintah tidak mampu menahan lonjakan permintaan pertalite,” ujar Said dalam keterangan tertulis pada Sabtu (27/8).

BACA JUGA: Tolak Kenaikan BBM, Ratusan Mahasiswa Banjiri Kantor DPRD Riau

Said menjelaskan perkiraan pemerintah, pada Oktober nanti stok pertalite diperkirakan habis jika menyimulasikan dengan tren konsumsi sekarang ini.

Dia menilai subsidi solar juga tidak tepat sasaran karena gap harga solar subsidi dengan nonsubsidi sangat besar.

BACA JUGA: Direktur INDEF Merespons Rencana Pemerintah Menaikkan Harga BBM, Begini Catatannya

“Banyak terjadi penyelundupan solar subsidi,” kata Said.

Menurut Said, perubahan pola subsidi BBM dan LPG menjadi keniscayaan yang harus diubah oleh pemerintah.

Dana sebesar itu, kata dia, idealnya dapat digunakan untuk pembangunan di berbagai sektor yang dibutuhkan masyarakat kelas bawah dan kegiatan produktif.

Dia mencontohkan pendidikan, kesehatan, infrastruktur energi dan lain-lain.

Menurut Said, besaran anggaran subsidi BBM dapat digunakan untuk membangun ruas tol baru sepanjang 3.501 km dengan perkiraan investasi Rp 142,8 miliar per Km.

Jika disetarakan dengan anggaran pembangunan Sekolah Dasar (SD) 227.886 unit, diperkirakan butuh investasi Rp 2,19 miliar tiap SD. Bahkan jika kita konversikan anggaran subsidi BBM setara dengan 3.333 unit Rumah Sakit sekala menengah, dengan besaran investasi Rp 150 miliar per rumah sakit.

“Bahkan jika diperlukan untuk membangun Puskesmas, anggaran subsidi dan kompensasi BBM dapat digunakan untuk membangun 41.666 Puskesmas baru dengan biaya Rp 12 miliar per Puskesmas,” ujar Said.

Lebih lanjut, Said Abdullah menjelaskan kita masih menghadapi indeks prevalensi kerawanan pangan tinggi.

Realokasi anggaran subsidi energi bisa diarahkan untuk memperkuat program ketahanan pangan.

Sebab, kata dia, kita masih hanya swasembada beras, sementara komoditas pangan lainnya seperti daging, sayuran, gula, kedelai, dan lain-lain masih impor.

“Urusan kemandirian pangan sangat penting, sebab dengan ketergantungan pangan rawan untuk menghadapi berbagai resiko ekonomi, baik yang diterima oleh rakyat maupun fiskal kita,” ujar Said yang juga Ketua Bidang Ekonomi DPP PDI Perjuangan itu.

Menurut Said, sudah saatnya kita mendukung pengurangan subsidi energi dan direalokasi menjadi anggaran diperlukan masyarakat miskin seperti Bantuan Langsung Tunai, bantuan upah tenaga kerja, bantuan sosial produktif UMKM, fasilitas Kesehatan dan pendidikan agar dana APBN lebih dirasakan masyarakat.

“Artinya subsidi dialihkan dari si kaya ke si Miskin yang benar-benar membutuhkan,” ujar Said.

Menurut Said, kebijakan ini juga bisa meredam tekanan inflasi yang sangat rentan terhadap rumah tangga miskin.

Untuk mendorong barang-barang produksi, khususnya yang diproduksi oleh UMKM yang menopang barang konsumsi sehari hari rakyat, pengalihan dana subsidi dan kompensasi BBM.

Salah satunya dapat difokuskan kepada subsidi BBM untuk para pelaku UMKM yang teknisnya bisa diintegrasikan dengan keseluruhan program perlindungan sosial.

Said mengatakan relokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi dapat difokuskan untuk penguatan program konversi energi.

Dia menilai langkah ini sangat penting untuk ketergantungan kita pada suplai impor minyak bumi. Konversi kebijakan energi untuk mengarah kemandirian energi harus menjadi prioritas.

Hal ini bertujuan agar kejadian membengkaknya anggaran subsidi dan kompensasi BBM tidak terus terulang di masa mendatang.

“Jangan sampai kita jatuh pada lubang yang sama, padahal kita tahu lokasi lubang tersebut,” kata Said mengingatkan.

Menurut Said, latar kebijakan ini penting untuk diketahui masyarakat agar bisa mengerti, memahami, dan akhirnya meyakini bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi (solar dan pertalite) bukan semata urusan fiskal APBN.

“Namun, sekali lagi mengalihkan agar lebih tepat sasaran dan masyarakat bawah lebih berdaya secara ekonomi,” tegas Said.(fri/jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler