Ketua Dewan Pembina DPP PBN Mengomentari Polemik Pasal Penghinaan Presiden

Kamis, 10 Juni 2021 – 17:22 WIB
Ketua Dewan Pembina DPP PBN Rahmat Bastian (kiri). Foto: dokumen pribadi for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menyatakan secara tegas mengenai pentingnya mempertahankan pasal penghinaan presiden di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Yasonna mengatakan, kebebasan berpendapat tidak bisa diberikan tanpa batasan.

BACA JUGA: DPP PBN Desak Polri Segera Menangkap Jozeph Paul Zhang

"Enggak bisa, kebebasan itu sebebas-bebasnya bukan sebuah kebebasan, itu anarki," kata Yasonna saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/6).

Menurut Politikus PDIP itu, pada dasarnya kritik dari publik terhadap kebijakan pejabat adalah hal yang lumrah.

BACA JUGA: Rahmat Bastian: Perlu Intelijen Kuat untuk Menumpas KKB

Yasonna pun mengaku tidak masalah dikritik atas kebijakan sebagai menkumham.

Namun, kata dia, berbeda halnya ketika kritik berubah menjadi penghinaan. Apalagi, penghinaan dilayangkan secara pribadi terlepas dari jabatan yang diemban

BACA JUGA: Agung Bercerita soal Ulah Preman Bercelurit, Presiden Jokowi Langsung Menelepon Kapolri

Sebagian besar elemen masyarakat, kepemudaan, dan partai oposisi menilai, pasal penghinaan presiden akan menjadi pasal karet yang multitafsir.

Menanggapi polemik yang berkembang di masyarakat dalam beberapa hari terakhir ini, Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Peduli Bangsa Nusantara (DPP PBN) Rahmat Bastian meminta agar pasal tersebut dihilangkan demi prinsip kesetaraan kedudukan di muka hukum.

"Agar setiap pejabat publik lain seperti ketua MPR, ketua DPD, panglima TNI dan Jaksa Agung tidak meminta keistimewaan khusus terlindungi pasal penghinaan terhadap ketua MPR, ketua DPD, Panglima TNI, ataupun Jaksa Agung misalnya," kata Rahmat dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (10/6).

Rahmat mengatakan, presiden itu dipilih langsung rakyat. Lantas kenapa rakyatnya sendiri jadi tidak bebas mengkritik seorang mandataris jabatan Presiden, karena nanti takut dianggap menghina?

"RKUHP yang masih mengandung pasal-pasal bermasalah legalitas sejenis ini sebaiknya dihilangkan sama sekali terlebih dahulu," saran Rahmat.

Menurutnya, masih banyak pasal lain dalam KUHP yang lebih mendesak untuk dimasukkan sebagai materi revisi.

Di antaranya, pasal bela paksa, turut pelaku, perlindungan saksi, pemalsuan tanda tangan, keterangan palsu, rahasia jabatan, kedaluwarsa, penadah, dan lain sebagainya yang jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler