Ketua DPD RI Bandingkan Kebatinan Penyusunan UUD 1945 dan Amendemen Saat Reformasi

Minggu, 30 Mei 2021 – 06:41 WIB
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti ketika memberikan kuliah umum di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, Sabtu (29/5/2021), dengan tema 'Amendemen Kelima: Sebagai Momentum Koreksi Perjalanan Bangsa'. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti membandingkan semangat dan suasana kebatinan saat membuat Undang-Undang Dasar 1945 dan saat dilakukan amendemen.

Hal itu disampaikan LaNyalla ketika mengisi kuliah umum di Universitas Islam Negeri Alauddin, Sabtu (29/5/2021), dengan tema 'Amendemen Kelima: Sebagai Momentum Koreksi Perjalanan Bangsa'.

BACA JUGA: Ketua DPD RI Dukung Rencana Amendemen UUD 1945, Begini Harapannya

“Para pendiri bangsa saat itu mengedepankan praktik pemerintahan ketimuran, di mana musyawarah mufakat sebagai tonggak utama. Praktik pemerintahan negara-negara barat ditolak. Tetapi justru kebalikannya dalam Amendemen Konstitusi tahun 2002, di mana demokrasi ala barat menjadi pilihan," ujar LaNyalla.

Menurut LaNyalla, saat amendemen dilakukan tahun 1999 hingga 2002, euforia reformasi masih sangat kental.

BACA JUGA: Dukung Program Kapten, Ketua DPD RI: Mari Nyalakan Indonesia Hebat

“Pasca tumbangnya Orde Baru, hampir semua rakyat, termasuk para tokoh dan mahasiswa sangat anti-produk yang berbau Orde Baru. Puncaknya adalah Amendemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, yang dilakukan hingga 4 kali,” katanya.

Dalam proses Amendemen UUD 1945 yang terjadi dalam kurun waktu 1999 hingga 2002 tersebut, kata LaNyalla, ada keterlibatan asing.

BACA JUGA: LaNyalla Tindaklanjuti Aspirasi Bupati Pangkep dan Guru Honorer

“Saya baca hal itu dari buku yang ditulis Valina Singka Subekti, berjudul ‘Menyusun Konstitusi Transisi’, yang terbit tahun 2007 lalu. Ada keterlibatan aktor-aktor asing dalam proses Amendemen tersebut," kata mantan Ketua Umum PSSI itu.

Buku itu menyebut pihak yang terlibat adalah United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Development (USAID), Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), International Foundation for Election System (IFES), dan National Democratic Institute (NDI) serta International Republican Institution (IRI).

"Dikatakan Valina Singka, mereka tidak hanya terlibat dalam masalah pendanaan. Tetapi juga konsep pemikiran dan hadir dalam rapat-rapat. Dari sini kita bisa menarik benang merah, bahwa suasana kebatinan saat pembahasan atau sidang-sidang BPUPKI oleh para pendiri bangsa, sudah sangat bertolak belakang dengan suasana kebatinan saat Amandemen dilakukan di tahun 2002 silam," katanya.

Oleh karena itu, jika sebelum Amendemen, Sila Keempat dari Pancasila tercermin jelas di Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, maka setelah Amendemen cerminan tersebut hilang.

MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR RI, sehingga tidak lagi menjadi mandataris atau bertanggung jawab kepada MPR.

“Padahal para pendiri bangsa ini memaknai Kedaulatan Rakyat dipegang oleh MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang terdiri anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan,” ucap dia.

Artinya MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi, menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Sehingga Presiden dipilih MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, wajib menjalankan putusan-putusan MPR dan harus menjalankan haluan negara menurut Garis-Garis Besar yang ditetapkan oleh MPR.

"Setelah Amendemen, MPR hanya melantik Presiden. Yang menetapkan; Komisi Pemilihan Umum. Lalu kepada siapa Presiden bertanggungjawab dan harus patuh? Jika jawabnya kepada rakyat secara langsung, bagaimana caranya? Ini menjadi PR kita semua,” tegasnya.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, yang menjadi narasumber dalam kuliah umum, amandemen ke-5 konstitusi sudah seharusnya dilakukan. Ia pun mengapresiasi DPD RI yang menginisiasi wacana tersebut.

“Saya senang DPD mau buka peran untuk keran yang selama ini tertutup. Tapi tantangannya adalah yang penting political approach. Tantangan ini harus dibaca betul karena saya tidak melihat parpol mau membuka akses. Anda bisa minta apa saja dari politisi, tapi jangan minta keikhlasan dari mereka,” paparnya.

Rektor Universitas Fajar Dr Mulyadi Hamid, yang mengikuti kuliah umum, menyatakan setuju dengan wacana amandemen. Hanya saja ia meminta agar amandemen dilakukan secara terbatas dan menghindari isu-isu mengenai masa jabatan 3 periode untuk presiden.

“Harus ada langkah tepat bagaimana menyiapkan metodologinya, substansi yang harus diperjuangkan. Karena kita sebagai masyarakat daerah sangat berharap ke wakil-wakil kita di DPD RI, sementara sekarang kewenangan DPD sangat terbatas,” ujarnya.(jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler